Proxy War dan Kasus Narkoba Nunung Srimulat.



Oleh Helmi Adam

Indonesia adalah surga bisnis narkoba, dengan potensi pasar yang besar. Bayangkan pecandu narkoba di indonesia saat ini, mencapai 4-4.5 juta, dan 25 Persen-nya pelajar atau generasi milenial. Inilah adalah pasar yang menarik. Karena pecandu merupakan langganan tetap, dan pasti menggunakan narkoba. Dan setiap hari ada yang 50 oarang meninggal akibat narkoba, sedangkan pecandu tiap hari juga bertambah  2 kali lipat dari yang meninggal dunia. Artinya oertumbuhan narkoba sangat mengkhawatirkan. Menurut data BNN, ada 230 ton shabu sudah beredar dalam 1 tahun ini, dan 119 ton ganja pertahunya di pakai para pecandu. 

Harga shabu di cina per kilo hanya 2 juta dan masuk ke Indonesia jadi 2 millar. Bayangkan, bisnis shabu merupakan bisnis beresiko tinggi dengan keuntungan yang luar biasa. Pantas saja orang dari negri tiongkok rela dihukum mati di indonesia demi keuntungan yang berlipat lipat. Artinya ada uang yang beradar di pasar gelap shabu mencapai 480 Trilyun, dan jika ditambah ganja, kokain, dan ekstasi bisa mencapai 1000 trilyun uang yang beredar. Artinya hampir setengah APBN. inilah yang tidak pernah masuk dalam hitungan pertumbuhan ekonomi. Hal ini bias menjelaskan bagaimana keadaan ekonomi yang sulit, tapi orang masih dapat banyak penghasilan, terutama yang masuk dalam bisnis narkoba. Sayangnya kita tidak sedang membahas ekonomi black market. Kita akan membahas dampaknya bagi generasi milenial kita. Kalau kita hitung 25 persen dari 4 juta, maka pecandu generasi milenial kita  mencapai 1,25 juta. Dengan pertumbuhan 5 persen setahun maka tahun 2020 mencapai 1,5 Juta orang pecandu. Menurut data 2018 jumlah pelajar di seluruh Indonesia mencapai 25 juta jiwa lebih. 

Jadi pengaruh narkoba sampai saat ini, sangat signifikan jika diprosentasekan mencapai 6 persen. Yang paling mengkhawatirkan jika ini dilakukan dalam rangka proxy war, sama seperti perang candu di Tiongkok kala itu. Jika ini merupakan proxy war, juga bisa kita pahami, mengingat Indonesia bagian dari Indocina dalam pandangan Tiongkok. Oleh karena itu penyelundupan narkoba nilainya ratusan ton, yang masuk dari negri Tiongkok, menjadi masuk akal dalam rangka melemahkan generasi muda kita. Tapi mudah mudahan ini tidak terjadi.

Solusinya harus ada nasionalisme dari aparat penegak hokum, untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa. Karena kalau bukan kita siapa lagi, yang bisa mengingatkan, kalau bukan sekarang, kapan lagi, jangan sampai nasi menjadi bubur. Hanya tukang bubur yang sengaja nasinya dijadikan bubur, tapi bagi abngsa Indonesia,  tidak boleh ada. Untuk itu penegakkan hukum yang tegas, harus dilakukan kepada pengguna maupun kepada Bandar, agar tidak ada orang yang berani coba coba menjadi pecandu. Jika hanya rehabilitasi saja, sedangkan pecandunya bebas, hanya akan buang-buang waktu, dan biaya bagi Negara.

Belajar dari kasus Roy Marten, Fariz Rustam Munaf dan Gogon yang 2 kali tertangkap menggunakan narkoba, hal ini menunjukkan kelemahan system hokum kita bagi pecandu. Karena pecandu bisa menularkan keteman temanya…saatnya bertindak tegas untuk kasus lainnya termasuk kasus Nunung Srimulat..

Penulis adalah Sutradara.

0/Post a Comment/Comments

Terima Kasih

Lebih baru Lebih lama