Kontroversi pernyataan Kepala BPIP muncul disaat Negara sedang menghadapi banyaknya permasalahan besar yang belum mampu diselesaikan, seperti: Kasus Harun Masiku, Skandal Korupsi Jiwasraya, serta Penanggulangan dan Pencegahan Coronavirus.
Hal ini memancing opini bahwa kontroversi yang diciptakan oleh BPIP merupakan sebuah kesengajaan demi meredam tensi publik dalam menyuarakan isu-isu penting yang belum mampu ditanggapi oleh Pemerintah.
Pernyataan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi yang menyebut Agama Musuh Terbesar Pancasila, telah memantik reaksi luas publik.
Berbagai tuntutan diserukan publik, diantaranya pembubaran BPIP yang dinilai sebagai lembaga yang kontraproduktif, meresahkan publik, menghabiskan duit rakyat.
Terkait tuntutan publik tersebut, Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Tengku Zulkarnain menggelar jajak pendapat (polling) di media sosial.
Publik diminta pendapatnya dengan pertanyaan sederhana: Setujukah anda BPIP dibubarkan...?
Dalam polling yang diikuti 14.399 responden, sebanyak 93 persen menyatakan SETUJU BPIP dibubarkan. Hanya 7 persen yang tidak setuju.
Prof. Suteki Bongkar Siapa Kepala BPIP Sebenarnya*
Indonesia terpapar Idiologi Marxisme, Leninisme dan Komunisme (baca: PKI) Pejelasan Prof. Dr. Suteki sangat mudah dicerna
1. Kepala BPIP berbicara secara sadar bukan dalam tekanan.
2. Pernyataan bahwa agama merupakan *Musuh terbesar* dari pancasila terutama Islam. Dinyatakan oleh Prof. Yudian Wahyudi merupakan kalimat leksikal, tidak multitafsir.
3. Peryataan Agama sebagai musuh terbesar Pancasila merupakan ungkapan yang patut diduga terkena pasal 156 dan 156a, *bukan delik aduan*, Berarti Polisi harus segera memeriksa dan menangkap yang bersangkutan. Karena diduga telah melakukan penodaan agama.
4. Permintaan maaf dan klarifikasi tidak membatalkan dugaan melanggar pasal 156 dan 156a tersebut. Artinya Polisi segera tangkap Yudian.
5. Masyarakat Indonesia yang telah mengakui sebagai bangsa beragama harus bersikap proaktif merespon Mas Yudian, supaya yang bersangkutan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
Meski Telah Klarifikasi, Kepala BPIP Tetap Bisa Dijerat Dua Pasal Ini
Indonesia adalah negara Hukum, Hukum wajib ditegakkan dan tidak Pandang bulu, baik Rakyat Jelata, juga Pejabat Negara, karena Kedaulatan Negara berada pada Rakyat, bukan Pejabat Negara.
Klarifikasi tak membuat Prof Yudian Wahyudi bebas dari ancaman penjara. Selain delik penistaan agama, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu bisa dijerat delik ujaran kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA karena menyebut agama musuh terbesar Pancasila.
"Pernyataan klarifikasi dan/atau penjelasan atas pernyataan sebelumnya, kedudukannya tidak dapat dinilai sebagai bentuk lepas tanggung jawab. Dikarenakan yang bersangkutan adalah orang yang cakap hukum atau subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban kecuali anak kecil atau orang yang lepas akal pikirannya," kata praktisi hukum Chandra Purna Irawan melalui pesan elektornik, seperti dilansir katta.id, Minggu (16/2/2020).
Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI ini mengatakan, sebagai seorang guru besar, Yudian pasti sadar akan makna dan maksud pernyataan itu (opzet als oogmerk). Selain itu, Yudian diduga sadar wartawan, sadar kamera dan sadar akan dipublikasikan oleh media akan pernyataannya tersebut (opzet met zekerheidsbewustzijn).
"Pernyataan pertama mengandung penegasan dan lebih dapat dipercaya karena memuat ungkapan kata "sejujurnya....". Sehingga dapat dipahami pernyataan awallah yang dikuatkan ketimbang pernyataan klarifikasi yang menyusul kemudian," tegas Chandra.
Sekjen LBH Pelita Umat itu menerangkan bahwa apabila pernyataan klarifikasi dapat menghilangkan tanggungjawab hukum, alangkah "indahnya" hukum yang berlaku di Indonesia. Dengan begitu, apabila ada rakyat yang mengkritik kebijakan dan pernyataan Pemerintah, kemudian diproses hukum dengan tuduhan ujaran kebencian dan perbuatan melawan penguasa, cukup dengan klarifikasi maka selesai dan terlepas dari proses hukum.
"Oleh karenanya untuk menjamin kepastian dan kedudukan yang sama dimuka hukum, dugaan delik penodaan agama dan penyebaran kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA ini wajib diproses secara hukum. Selanjutnya, biarlah hakim yang mengadili dan mengambil keputusan yang seadil-adilnya," demikian kata Chandra Purna Irawan.
Delik penodaan agama diatur Pasal 156(a) KUHP. Dalam pasal ini disebutkan pelaku bisa dipidana penjara selama-lamanya lima tahun. Selain delik penodaan agama, menurut Chandra, Kepala BPIP Yudian Wahyudi juga dapat dijerat delik ujaran kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA sebagaimana Pasal 28 ayat (2) UU ITE dengan ancamana pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Sumber Portal Islam
Sumber Portal Islam