ERFI FIRMANSYAH AHLI BAHASA UNJ : TIDAK LAZIM KATA NEW NORMAL ATAU NEW ABNORMAL?


By Erfi Firmansyah


Berdasarkan informasi dari CNN Indonesia (17 Juni 2020), Indonesia merupakan negara dengan kasus infeksi virus Corona terbesar di Asia Tenggara dengan 41.431 orang terinfeksi Covid-19, selanjutnya Singapura 41.216 kasus, dan diikuti Filipina 26.781 kasus. Per hari Rabu, 17 Juni 2020, Indonesia mengalami penambahan 1.031 orang kasus baru positif Covid-19.

Dengan demikian, grafik penyebaran Covid-19 di Indonesia masih masuk kategori tinggi. Grafik tersebut belum menunjukkan indikasi penurunan. Untuk masuk kategori new normal di suatu negara, maka grafik penyebaran virus Coronanya mestilah menunjukkan penurunan yang signifikan. Ketika suatu negara sedang dilakukan lockdown atau PSBB dan belum mengalami penurunan penyebaran, maka belum layak diberlakukan new normal. Dengan kata lain, kondisi tersebut masuk kategori new abnormal.

Setelah pemberlakuan Lockdown atau PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar) lazimnya ada pemberlakuan new normal. Hal ini berlaku di luar negeri maupun di dalam negeri. Dari segi kebahasaan, padanan frasa new normal dalam bahasa Indonesia menjadi dilematis. Berbagai pihak menggunakan padanan yang berbeda terkait new normal.

Badan Bahasa Kemdikbud menyarankan frasa 'kenormalan baru' untuk padanan new normal. Hanya saja, kata 'kenormalan' ternyata tidak berterima dalam KBBI V yang diterbitkan oleh Badan Bahasa Kemdikbud.

Memang ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa kata atau lema yang belum ada dalam KBBI, selagi itu ilmiah, maka Kata itu dapat diterima sebagai kata formal bahasa Indonesia. Kata tersebut selanjutnya diusulkan untuk dimasukkan dalam KBBI dalam edisi berikutnya. Terhadap pendapat tersebut, menurut hemat penulis, justru bertentangan dengan prinsip yang menyatakan bahwa KBBI merupakan pedoman kita dalam berbahasa Indonesia secara formal. Bukankah prosedur penetapan suatu kata menjadi lema dalam KBBI sudah melalui prosedur ilmiah yang ketat. 

Berikut ini prosedur memasukkan kata dalam KBBI. Kata yang diusulkan ditampung di meja redaktur KBBI Badan Bahasa, lalu diolah oleh tim validator dengan mempertimbangkan aspek keunikan, enak didengar (eufonik), sesuai kaidah pembentukan kata, tidak berkonotasi negatif, dan kerap digunakan pemakai bahasa Indonesia. Selanjutnya, kata tersebut dikonsultasikan dengan para pakar bahasa dan ahli terkait. Proses berikutnya, kata tersebut dibahas dalam forum ilmiah pembaruan pedoman Bahasa Indonesia.  Barulah kemudian ditetapkan sebagai edisi terbaru KBBI (m.liputan6.com. 10 Maret 2018, “Kolom Bahasa: Syarat-syarat kata masuk KBBI”).

Dengan demikian, kata yang belum masuk dalam KBBI sebaiknya tidak dulu digunakan dalam bahasa formal bahasa Indonesia. Kalaupun akan tetap digunakan, posisi kata tersebut dikategorikan sebagai kata tidak baku. Dengan begitu, kata 'kenormalan' dalam frasa 'kenormalan baru' masuk kategori kata tidak baku. Hal ini berbeda dengan kata 'tatanan' dalam frasa 'tatanan baru', kata ini masuk dalam kategori kata baku.

Sebagaimana dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Melayu, new normal tidak dapat serta merta diterjemahkan menjadi 'normal baharu' karena kata 'norma' merupakan adjektiva dan 'baharu' juga adjektiva. Frasa tersebut seharusnya nomina + adjektiva, bukan adjektiva + adjektiva, karena adjektiva berfungsi menerangkan nomina (menurut Zuhairi Rafein dosen Bahasa Melayu salah satu perguruan tinggi di Malaysia).

 Melihat kaidah tersebut, Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia menggunakan frasa 'kebiasaan baru' (nomina + adjektiva) sebagai padanan new normal. Hanya saja, frasa 'kebiasaan baru' tidak mewakili maksud berkaitan dengan aturan/ norma (norm) sebagaimana dimaksudkan oleh WHO bahwa new normal berkaitan dengan kebiasaan baru sekaligus termasuk di dalamnya norma baru dalam tatanan bermasyarakat pasca lockdown.

Padanan new normal juga diusulkan oleh beberapa pencinta bahasa Indonesia. Tentu saja hal ini perlu diapresiasi oleh akademisi dan para pengamat bahasa Indonesia. Salah seorang pencinta bahasa Indonesia (misalnya IL), melalui media sosial  Twitter, mengusulkan padanan kata new normal dengan 'kelaziman baru'. Terkait usulan itu, nampaknya juga masih dilematis, karena kondisi yang dirujuk terkait frasa new normal tersebut adalah kondisi yang  tidak lazim atau tidak seperti biasanya.

Padanan frasa new normal, juga disikapi berpeda oleh awak televisi.  Penyelia bahasa Indonesia di media televisi juga nampaknya masih gamang dengan pengunaan padanan frasa new normal. Penyiar tvOne menggunakan frasa 'tatanan normal baru' pada 27 dan 28 Mei 2020. Frasa tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Akan tetapi, pada 16 dan 17 Juni 2020 awak tvOne menggunakan padanan ‘normal baru’. Penggunaan frasa 'normal baru' ini tidak lazim dalam tata bahasa Bahasa Indonesia, karena memadukan adjektiva dengan adjektiva yang seharusnya nomina + adjektiva.

Dalam kasus ini, saya sependapat dengan pemikiran Pak Abdul Chaer (penulis buku Seputar Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003) yang menyatakan bahwa sebaiknya tidak digunakan kata 'normal' atau 'lazim' karena sesungguhnya yang akan dijelaskan adalah tentang kondisi yang tidak normal atau kondisi yang tidak seperti biasanya ketika pandemi berlangsung, baik grafik penyebaran virusnya sedang naik atau sedang mengalami penurunan.

Dengan demikian Frasa 'kelaziman baru' juga kurang tepat sebagai padanan new normal karena kondisi yang dimaksudkan merujuk pada kondisi yang tidak lazim atau tidak seperti biasanya. Kebiasaan baru di tengah masa pandemi, seperti memakai masker di luar rumah, selalu mencuci tangan atau sediaan pembersih tangan, dan selalu menjaga jarak minimal satu meter ketika berada di keramaian, hal-hal itu merupakan kebiasaan baru yang tidak lazim atau tidak seperti biasanya.

Dengan demikian, menurut hemat penulis, menggunakan padanan ‘tatanan baru’ lebih tepat sebagai padanan kata new normal. Penggunaan frasa 'tatanan baru' dimaksudkan adalah suatu tata kehidupan baru yang mengharuskan masyarakat untuk menjalankan pola hidup baru dengan sering mencuci tangan atau menggunakan sediaan pembersih tangan/ hand sanitizer, memakai masker jika bepergian di luar rumah, dan senantiasa menjaga jarak minimal satu meter dengan orang lain ketika di tempat keramaian. Dengan begitu, menggunakan frasa 'tatanan baru' untuk padanan kata 'new normal' dan 'norma baru' sekaligus untuk padanan frasa 'new normal' tersebut lebih berterima dan sesuai. Hal ini dikarenakan memang WHO menggunakan frasa 'new norm' untuk merujuk kepada tata aturan baru bermasyarakat di tengah pandemi dan menggunakan frasa 'new normal' untuk merujuk pada kondisi ketidaknormalan sosial-ekonomi yang harus dialami masyarakat ketika pandemi Covid-19 berlangsung. Kondisi berlangsungnya pandemi tersebut mulai mengalami masa penurunan grafik penyebaran. Sementara itu, wabah virus Corona masih tetap ada dan belum ditemukan obat atau vaksinnya.


Jakarta, 18 Juni 2020
Erfi Firmansyah
Pengamat Bahasa/ Koorprodi Sastra Indonesia, FBS, UNJ/ Pendapat pribadi

0/Post a Comment/Comments

Terima Kasih

Lebih baru Lebih lama