Tulisan Ari Gumintang Alief
Ketika Budaya Bertentangan dengan Agama
Dulu almarhum KH Zainudin MZ rahimahullah pernah menyampaikan satu wejangan yang cukup fenomenal. "Kalau kita mau ngukur kayu, mestinya kayulah yang dipotong untuk menyesuaikan dengan meteran. Jangan sampai dibalik!"
Satu nasehat yang disampaikan dengan diksi yang sederhana namun mengandung penahaman filosofi cukup mendalam. Dalam konteks lebih luas, berdasar kaidah ini, kita bisa berucap, "Apabila tontonan bertentangan dengan tuntunan, maka tontonanlah yang mesti menyesuaikan diri dengan tuntunan. Jangan dibalik!"
Begitu pula tatkala budaya bertentangan dengan agama, maka budayalah yang menyesuaikan diri dengan agama. Jangan dibalik!
Mengapa bisa demikian? Karena jelas, posisi agama lebih tinggi dari budaya dengan beberapa alasan:
1. Agama merupakan aturan yang datangnya dari Allah (ini saya bicara dalam konteks sebagai seorang muslim, ya?) sementara budaya merupakan hasil olah "budi dan daya" manusia.
2. Agama berlaku bagi umat penganutnya di seluruh dunia, lintasgender, ras, suku, bangsa, dan rumpun. Sementara budaya, hanya merupakan produk lokal sehingga antardaerah nilai dan implementasi budaya itu tidak sama.
3. Konsekuensi dari pelanggaran terhadap ajaran agama memberikan dampak pada kehidupan di alam berikutnya setelah kehidupan alam dunia ini yakni: alam barzakh dan akhirat. Sementara pelanggaran terhadap nilai budaya, efeknya sekadar pada kehidupan dunia.
Alhasil tatkala kita meninggal kelak, yang akan ditanyakan kepada kita ialah tiga hal: Man Rabbuka? Man Nabiyuka? Maa Dinuka? Atau "Siapa Tuhanmu? Siapa Nabimu? Apa agamamu?" Kita tidak akan ditanya tentang "Apa sukumu? Apa bahasa daerahmu? Apa saja budayamu?"
Sekali lagi, ini berlaku bagi yang beriman akan adanya akhirat. Bagi yang nggak beriman, masa bodoh, ya terserahlah. Toh, baik yang beriman dan yang tidak, kelak kita sama-sama akan meninggalkan alam fana ini. Pastinya, kita yang telah dianugerahi akal, pikiran, dan hati, mesti mempertanggungjawabkan segala perbuatan dan tindak tanduk kita di hadapan-Nya.
Lantas implementasi tentang kaidah "jika budaya bertentangan dengan agama, maka budayalah yang mesti menyesuaikan diri" itu bagaimana? Gampangnya, jika budaya tersebut merupakan satu hal yang bertentangan dengan agama secara mutlak, dan tidak mungkin bisa disesuaikan, ya budaya macam begini mesti ditinggalkan. Misal: budaya sabung ayam, budaya judi, budaya mabuk-mabukan.
Namun bila budaya itu masih bisa diakulturasikan dengan agama, ya konten dari budaya itulah yang mesti menyesuaikan diri. Contoh: budaya sastra yang tadinya bebas nilai maka mesti menyesuaikan diri dengan nilai-nilai agama. Sehingga karya sastra yang bernuansa cabul diganti dengan karya yang menyiratkan pengajaran tentang kebaikan.
Demikian, semoga yang sedikit ini bisa dipahami dan bermanfaat.
*Betawipunyegaye