Oleh Helmi Adam
Sentimen domestik masih menjadi pemberat pasar keuangan Tanah Air. Setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia pada April mencatat defisit US$ 2,5 miliar. Ini menjadi defisit paling dalam sepanjang sejarah Indonesia. Rupiah langsung rontok minggu ini, dan bisa menguat tipis diakhir perdagangan minggu ini, karena intervensi BI. Namun pernyataan Gubernur BI Perry Warjiyo untuk mempertahankan suku bunga acuan di angka 6%, sesuai dengan ekspektasi pasar. tapi pernyataan dalam jumpa pers yang membuat investor Was was, Yaitu ;
"Defisit transaksi berjalan 2019 diperkirakan lebih rendah dari 2018, yaitu dalam kisaran 2,5-3% dari PDB (Produk Domestik Bruto). Meskipun tidak serendah perkiraan semula,".
Dengan defisit neraca perdagangan mencetak rekor terdalam dalam sejarah Indonesia dari kemerdekaan hingga saat ini, Menyebabkan BI mengelaurkan pernyataan tersebut. Ditambah kinerja ekspor Indonesia terancam dengan kembali berkibarnya perang dagang AS dengan Cina. Akibatnya pelaku pasar khawatir dengan nasib rupiah. Sebab defisit transaksi berjalan yang masih tinggi menandakan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa akan seret sehingga fondasi rupiah menjadi lemah, dan aset-aset berbasis mata uang rupiah mengalami tekanan jual. Jum at tanggal 16 mei 2019 , investor asing membukukan jual bersih Rp 687 miliar di pasar saham.
Namun ada kabar positifnya adalah kemungkinan Cina dan AS mengakhiri perang dagangnya, tapi tetap buruk buat kinerja rupiah. Karena dollar akan menguat, hal ini dikarenakan ekonomi AS mengalami penguatan pertumbuhan dari mulai berkurangnya pengangguran haingga daya beli yang kuat. Hal ini bisa di lihat dari pertumbuhan ritel yang mencapai 6,6 persen. Artinya pertumbuhan ekonomi AS meyakinkan karena kita ketahui ekonomi AS di topang 70 persen dari konsumsi dalam negrinya.
Apalagi berita konflik di Timur tengah, yang menyebabkan seretnya pasokan minyak akan semakin menekan rupiah. Hal ini di karenakan impor migas kita yang akan naik terus selama menjelang lebaran hingga usai lebaran. Hal ini menyebabkan terkurasnya cadangan devisa akibat dari makin melebarnya deficit neraca perdagangan. Di tambah dengan issue politik, tentang people power dan terorisme, tentu akan semakin memukul rupiah.
Pertanyaannya apakah intervensi BI efektif ? baik di pasar valuta maupun pasar keuangan dan juga di pasar NDF. Karena ujungnya akan menekan suku bunga SUN yang sudah mencapai diatas 8 persen dan ini akan membebani ekonomi kita kedepan…lalu apakah langkah yang dilakukan BI ketika pasar keuangan dibuka pada hari senin ? kita tunggu saja..
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Univertas Borobudur Jakarta.