Oleh Helmi Adam
Clayton Christensen, guru besar Harvard University memperkirakan bahwa
50% perguruan tinggi dan universitas akan tutup atau bangkrut pada dekade
kedepan. Christensen membuat prediksi yang lebih terukur dalam New York Times
pada 2013: “sejumlah perguruan tinggi dan universitas yang berjuang — 25 persen
terbawah dari setiap tingkatan, kami perkirakan — akan menghilang atau
bergabung dalam 10 hingga 15 tahun mendatang. "
Beberapa media pendidikan tinggi menggunakan prediksi tersebut untuk menggambarkan bagaimana peran Era
Inovasi Disruption dalam menciptakan
pilihan pendidikan tinggi yang lebih terjangkau, mudah diakses dan nyaman bagi
orang-orang yang seharusnya tidak memiliki pilihan pendidikan. Padahal disruption inovatio hanyalah bagian awalnya saja dari era abudance atau
keberlimpahan.
Banyak perguruan tinggi dan universitas tidak dapat menghasilkan
pendapatan yang cukup untuk menutupi biaya operasional mereka. Hal ini bisa
dilihat di AS, saat ini perguruan tinggi memberiakan diskon kuliah sampai 49,9% , hal ini menunjukkan ada masalah
keuangan di sana, Hitungan National Association of College dan University
Business Officer, bahwa siswa membayar kira-kira hanya setengah dari apa yang
harus dibayarkan ke perguruan. Padhal Tingkat diskon kuliah di atas 35%
menempatkan perguruan tinggi di zona bahaya, terutama ketika itu sangat
tergantung pada biaya kuliah. Banyak institusi memiliki tingkat diskon jauh di
atas itu sekarang. Yang membuat keadaan lebih buruk lagi adalah tekanan alami dalam
pendidikan tinggi yaitu meningkatnya biaya operasional pendidikan tinggi.
Di AS, setidaknya 25% dari perguruan tinggi
swasta sekarang mengalami defisit. Pada perguruan tinggi negeri, lebih parah
lagi karena pengeluaran telah melampaui
pendapatan selama tiga tahun terakhir.
Moody's telah meneliti perguruan tinggi yang besar, hasilnya ; 500 atau
lebih yang mengeluarkan utang melalui pasar publik.
Selain itu, ada masalah demografi yaitu, menurunya anak berusia 18
tahun. Dan di perkirakan tahun 2026 akan adaapenurunan drastisdi wilayah
tertentu. Sementara itu kompetisi untuk menarik siswa, kuliah disebuah perguruan
tinggi dan universitas akan semakin ketat. Banyak perguruan tinggi memberika
daya tarik dengan melakukan copy paste asal saja, untuk menarik orang masuk ke
perguruan tinggi mereka, seperti dengan memperbanyak fakultas, memperbanyak fasilitas mewah, memperbanyak
posisi administrative, yang semuanya menambah
biaya. Semua itu justru akan semakin
menekan model bisnis perguruan tinggi tersebut, karena mereka sudah berusaha
untuk mendatangkan pemasukan yang cukup dari biaya kuliah, dana pemerintah, pengembalian
dana abadi dan sumbangan. Bagi lembaga-lembaga yang sebagian besar tergantung
pada uang sekolah. Apalgi Perguruan tinggi yang memiliki dana abadi kecil,
mereka akan berada dalam masalah besar.
Akibatnya Perguruan Tinggi tidak dapat pendapatan yang
cukup, karena mengalami penurunan
pendaftaran, sementara biaya tetap besar
, biaya pemeliharaan gedung dan lain lainya, yang akhirnya menempatkan mereka
dalam kesulitan akibat tidak mampu
menyesuaikan diri di era digital. Christensen melihat guncangan pertama
dalam era digital dimulai dari
pembelajaran online. Banyak mahasiswa dapat materi belajar melalui online sehingga
ketika masuk kelas, mengalami kekacauan jika ada perbedaan antara yang dipelajari
dengan yang didapat dari pengalaman
pembelajaran online. Kemuadin munculnya kampus online di AS sejak 2010, yang pendaftaran
pembelajaran terus meningkat. Hampir 20%
siswa sekarang terdaftar di sebagian besar program online. Dan banyak siswa
mendaftar dalam program online yang tidak terakreditasi, serta program bootcamp
blended-learning last-mile.
Apa yang akan terjadi?
Richard Vedder, seorang ekonom
yang mempelajari pendidikan tinggi, menulis: Bagi saya masalahnya bukan,
"apakah perguruan tinggi akan dipaksa tutup?" Melainkan berapa banyak
yang akan ditutup dan selama jangka waktu berapa. Apakah akan 500? 2000? Apakah
sebagian besar akan terjadi dalam lima tahun ke depan, atau 10 tahun atau
lebih? Saya tidak yakin tentang detailnya, tetapi garis besar perubahan yang
akan datang tampak cukup jelas. "
Prediksinya saya Di Indonesia aka
nada bnayk kampus berguguran jika tidak menyiapkan pembelajaran online. Mungkin
prediksi saya terlau prematur, tetapi
arah menuju kesana sedang berlangsung. Karena pada akhirnya akan ada penutupan, merger atau akuisisi, dan
kebangkrutan. Untuk itulah perguruan tinggi atau universitas harus merestrukturisasi
dirinya sendiri. Di Indonesia potensi sebagai Negara kepulauan dengan sitem 4G
yang sudah hamper merata, pembelajaran online akan menajid alterntif yang bagus
kedepanya.
Di AS Penutupan di antara
perguruan tinggi nirlaba negeri dan swasta empat tahun rata-rata lima per tahun
dari 2004-14, sementara merger rata-rata dua hingga tiga, menurut penelitian Moody. Moody memperkirakan pada 2015 bahwa
tingkat penutupan dari 2.300 institusi akan berlipat tiga pada 2017, dan
tingkat merger akan berlipat ganda. Dengan asumsi itu benar, dan mengatakan
bahwa angka tersebut bertahan selama 15 tahun, itu akan mengambil sekitar 13%
dari lembaga pendidikan tinggi yang ada di AS.
Sedangkan menurut Education Dive,
20 perguruan tinggi swasta, nirlaba ditutup dari 2016–17 hingga 2017–18.
Begitupun universitas negeri tidak akan kebal, karena sudah 20 perguruan tinggi
ditutup dalam periode waktu yang sama.
University of Georgia melakukan konsolidasi kampus selama beberapa tahun ini. Universitas
Wisconsin mengkonsolidasikan 13 perguruan tinggi dalam dua tahun menjadi tujuh
perguruan tingg. Konsolidasi lainnya terjadi di Alabama, dan telah ada
percakapan konsolidasi di Connecticut, Louisiana dan Pennsylvania. Menurut
Education Dive, dari 40 merger yang terjadi antara 2010 dan 2017, hanya
setengahnya yang melibatkan setidaknya satu perguruan tinggi negeri. Dan 36
perguruan tinggi negeri telah ditutup atau dikonsolidasikan sejak 2017. Jadi minat gabung ke kampus onlene ?
hubungi kampus online no HP +628111314050
Penulis Adalah Pendiri Kampus Online Indonesia..