Oleh Helmi Adam
Dua sentimen yang menyebabkan
investor memilih bermain aman dan menghindari pasar keuangan Asia yaitu;
Pertama adalah perang dagang
AS-India. Tanggal 5 Juni, AS mengenakan fasilitas Sistem Preferensi Umum dari India. Fasilitas ini menyebabkan produk buatan India, bebas bea masuk ke
AS. Sementara dihargai mencapai US $ 5,6 miliar, oleh karena itu Trump
akhirnya, meniadakan bebas bea masuk untuk produk tersebut. Kontan saja India
berang tidak menerima alasan AS yang mengatakan membela kepentingan dalam
negeri. India membalas dengan menerapkan bea masuk untuk 28 produk seperti
kacang almon, kenari, dan apel yang berlaku mulai minggu ini.
Kebijakan Negeri Bollywood ini,
berakibat pada sektor pertanian AS. Pasalnya, data Departemen Pertanian AS
menyebutkan India merupakan importir kacang almon terbesar dengan nilai US $
543 juta. Jumlah ini lebih dari separuh dari total ekspor kacang almon AS.
Perang dagang AS-Cina belum jelas juntrungannya, kini ada lagi perang dagang
AS-India. Maka ketika perang perdagangan terus berlanjut, bahkan skalanya
semakin meluas, maka hampir bisa dipastikan perlambatan ekonomi global akan
menjadi tantangan.
Kedua, adalah masalah di Timur
Tengah yang sedang memanas pekan ini, karena adanya serangan terhadap dua kapal
kargo di Selat Hormuz. Serangan yang dicurigai dari torpedo iran yang membuat
AS dan sekutunya berang. Meski Trump sudah menuduh iran pelakunya, hal ini
terungkap dalam wawancara dengan Fox News, "Iran yang melakukan. Kamu tahu
mereka pelakunya," tegas Trump. Tensi geopolitik Timur Tengah yang
meningkat membuat Arab Saudi meningkatkan kewaspadaanya, dengan meningkatkan
pengamanan pada jalur distribusi minyak dari segala bentuk pertahanan.
Pernyataan tegas memutar
mahkota arab Saudi, "Kerajaan tidak ingin ada perang di wilayah ini. Namun
tidak akan ragu untuk mengatasi segala masalah terhadap rakyat, kedaulatan, dan
kepentingan nasional," jelas Mohammed bin Salman yang dikutip dari
Reuters. Jika Timur Tengah memanas, maka akan berdampak terhadap harga minyak
dunia. Maklum, sebagian besar pasokan minyak di pasar dunia berasal dari
kawasan Timur Tengah. Hal ini menciptakan persepsi pasokan akan seret, maka
harga minyak dunia berpeluang naik. Bergantung pada hari ini, pukul 08:19 WIB,
harga minyak jenis brent dan light sweet meningkatkan kenaikan sebesar 0,29%
dan 0,23%. Harga minyak akan menjadi sentimen negatif bagi rupiah. Karena
naiknya harga minyak akan membuat biaya minyak semakin tinggi, sehingga
meningkatkan defisit perdagangan, yang akhirnya menambah defisit transakasi
berjalan. Sementara transaksi berjalan penting untuk menentukan nilai tukar,
karena mencerminkan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa yang masuk ke kas
negara. Jika transaksi berjalan defisit dalam, maka rupiah akan rentan
mengalami penurunan.
Apalagi kinerja ekpor kita dapat
tekanan dari philipina, yang mengenakan bea masuk 30 persen terhadap impor keramik
Indonesia. Dan nampaknya trend neomerkantilime yang dipelepori Cina berkembang
ke Negara Asean. Akibatnya akan terjadi perang dagang juga di Asean, pertanyaannya
justru, Apakah Presiden Indonesia punya nyali untuk melindungi kepentingan indonesia,
dengan menggunakan neomerkantilisme terhadap produk produk asing, seperti baja,
semen dan lainya ? wallahualam bishawab.
Penulis adalah Mahasiswa Program Doctoral
Ilmu Ekonomi Universitas Borobudur Jakarta
.