Oleh Helmi
Adam
Saya
ditanya teman wartawan tentang kemungkinan krisis ekonomi, menginagat pernyataan
Sri Mulyani, “Bahwa kita harus Hati hati”, tentu saja pernyataan itu sangat
serius, mengingat Sri Mulayani adalah mentri terbaik menurut berita yang saya baca.
lalu sayapun mencoab berfikir dan menjawab peratnayaan tersebut. “mungkin saja
terjadi”, Kemudian dia minta jawaban lebih ilmiah lagi, akhirnya saya lakukan
riset kecil dengan study pustaka yang ada, dan kemudian saya tuangkan dalam tulisan ini :
Kebijakan
Suku bunga rendah yang dilakukan setelah resesi neraca keuangan, yaitu resesi
yang terjadi ketika utang swasta tinggi dan krisis keuangan yang meluas. Seperti kasus, Depresi Hebat tahun 1930-an, kehancuran
keuangan Jepang tahun 1990-an dan, Tahun 2008 terjadi Global Financial Crisis
(GFC). Belum tentu efektif meningkatkan pertumbuhan.
Karena
efektivitas kebijakan moneter bervariasi di berbagai fase resesi keuangan. Pada fase awal, kebijakan moneter
ekspansif dapat sangat efektif dalam menangkal lonjakan ketidakpastian serta resiko
dari ekor krisis keuangan dan ekonomi, tapi merugikan pertumbuhan dimasa depan
( Mishkin ; 2009). Setelah fase resesi, permintaan dan penawaran yang terus
menerus menurun dapat membebani
perekonomian dan dapat mematikan stimulus moneter (baca Borio ; 2014). Headwind
(adalah
faktor-faktor ekonomi, baik yang datangnya dari luar (eksternal) maupun dari
dalam (internal), yang mampu menghalangi atau bahkan menyeret mundur
perekonomian suatu negara.) merupakan
warisan dari boom keuangan sebelumnya, biasanya ditandai dengan ekspansi kredit
yang tidak berkelanjutan, kenaikan harga asset, dan akumulasi modal (setidaknya
di beberapa sektor) karena terlalu agresif dan beresiko.
Ada
beberapa alasan mengapa terjadi headwinds , Yaitu ;
Pertama,
Debt overhang yang dapat melemahkan permintaan relative, terhadap pendapatan
dan mengurangi kekayaan bersih. Peminjam seperti Indonesia, yang sebelumnya melebih-lebihkan
prospek pendapatannya, cenderung
menurunkan pengeluaran untuk memotong beban hutang dan mengembalikan
kekayaan mereka melalui tabungan yang lebih tinggi (Mian dan Sufi ; 2015 ; da
Drehmann and Juselius ; 2015). Memberikan prioritas pada keseimbangan perbaikan
surat utang, dan pengeluaran berjalan cenderung meredam agar dampaknya lebih
rendah (misalnya Koo ; 2009 dan Di Maggio et al 2015).
Kedua,
sektor keuangan yang terganggu dengan membatasi pasokan kredit. Kerugian pinjaman
menyebabkan terjadi pelemahan kapitalisasi lembaga keuangan dan membuatnya mereka
mengalami kesulitan. Oleh karena itu
Lembaga keuangan akan meningkatkan modalnya, sehingga melemahkan kapasitas pinjaman
(misalnya Holmstrom dan Tirole 1997, Diamond and Rajan ; 2011). Hal Ini akan
mengurangi masuknya stimulus untuk menjaga inflasi atau kestabilan nilai tukar
yang disebut juga dengan mekanisme transmisi moneter, ketika bank memiliki
modal yang kurang (misalnya Gambacorta dan Mistrulli ; 2004 dan Jimenez et al 2012).
Tapi kondisi ini juga bisa terjadi sebaliknya, yaitu terjadi tekanan keuangan
atau resesi yang dalam, ketika pemberi pinjaman berada di bawah tekanan pasar
atau regulator untuk mengkompensasi kerugian modal (Albertazzi et al ;2016).
Ketiga,
resesi Keuangan, terutama terjadi saat krisis berlangsung, yaitu : Terjadinya kepercayaan diri yang rendah dan meningkatnya
ketidakpastian prospek ekonomi (Mian dan Sufi ; 2015). Hal ini menyebabkan perubahan pengambil
keputusan dari agresif beresiko menjadi mengurangi pengeluaran sehingga kurang responsif terhadap stimulus. Hal Itu dilakukan
untuk penghematan dan pencegahan
(Skinner 1988, Deaton ; 1991, Dynan ; 1993) serta membuat kebijakan untuk mengurangi hambatan dalam investasi (misalnya Bernanke ;
1983, Dixit ;1992, Dixit dan Pindyck ; 1994).
Jika
sebuah perusahaan mengalami situasi seperti ini, mungkin juga akan mengambil keuntungan
dari bunga rendah untuk membiayai merger dan akuisisi dan, bahkan membeli
kembali saham atau membayar dividen yang lebih tinggi daripada melakukan
investasi modal. Menghindari risiko yang lebih tinggi dapat mengurangi dampak penurunan nilai aset
dan pinjaman, sehingga efektivitas penurunan nilai perusahaan dapat diatasi
dengan menurunkan sisi penawaran ekonomi
Sementara
dari sisi pinjaman rumah tangga direspon dengan cara meningkatkan nilai agunan perumahan
akibat dampak dari pelonggaran moneter. Karena rumah tangga biasanya menggunakan
nilai ekuitas rumahnya yang naik harganya. Hal ini dilakukan Untuk menurunkan rasio utang terhadap ekuitas,
sebelum mereka melakukan pinjaman lagi.
Masalahnya
dapat diperburuk jika kelayakan kredit berada di bawah tekanan: secara historis, Krisis
fiskal sering terjadi karena krisis keuangan (mis. Jordà et al ; 2016). Ini
sebagian karena booming keuangan cenderung menyanjung akun fiskal dan mendorong
lubang besar keuangan publik, karena kebutuhan untuk menangani tekanan sektor
perbankan (mis. Reinhart dan Rogoff ; 2009, Borio et al ;2016. Bloom et al ;2007, Aastveit
et al 2013). Secara teoritis bahwa ketidakpastian yang lebih tinggi tidak hanya
mengurangi investasi, tetapi juga menurunkan responsifitas investasi terhadap guncangan
permintaan, khususnya untuk impuls moneter. Kondisi awal dapat kita lihat harga
aset dan utang yang terlalu tinggi, pengambilan risiko yang berlebihan, akan
cenderung melemahkan pengambilan risiko
kebijakan moneter, yaitu berdampak pada pengeluaran yang dihasilkan dari
pengaruh suku bunga dan persepsi risiko (lihat Borio dan Zhu ; 2012, Adrian dan Shin 2010 untuk deskripsi saluran
dan misalnya Buch et al ; 2014, Gambacorta ; 2009, Peersman dan Wagner ; 2015,
Cecchetti et al ; 2017 untuk bukti empiris).
Mengingat
tantangan hari ini, yaitu ; adanya kemungkinan pengambilan risiko yang lebih tinggi karena
didorong oleh bunga rendah, yang memberikan dampak pada sistem keuangan
(pengambilan risiko keuangan), tetapi memberikan sedikit pengeluaran.
Pertumbuhan
produktivitas, terutama ke sektor-sektor seperti konstruksi (Borio et al ;
2015b). Akibatnya justru akan merugikan bagi pertumbuhan produktivitas dan akan
mengantar dalam krisis keuangan. Ekspansi
yang berlebihan dari sektor-sektor Infrastruktur, yang sensitif terhadap suku bunga, kemudian harus menyusut selama kontraksi.
Realokasi keuangan pada gilirannya akan merambat ke sektor perbankan yang mengalami kesulitan
juga. Yang lainnya pun akan sama, dan pada akhirnya akan terjadi apa yang disebut
dengan headwinds.
Bank
yang mengalami kerugian akan mempertahankan peminjam yang lebih lemah untuk berpura pura atau disebut juga dengan
peminjam zombie, karena sudah mati, tapi dihidupkan lagi, untuk mempertahankan
laporan keuangan dan mengurangi atau menambah biaya kredit agar dinilai sehat.
Kekuatan
akan daya tahan negara yang seperti diatas, akan tergantung pada karakteristik
spesifik negaranya. Karena berkaitan juga, dengan struktur kontrak utang mereka,
apakah berdampak pada tekanan deleveraging. Misalnya, semakin tinggi utang jangka
pendek, maka semakin besar dampakmya pada biaya pembayaran utang dan arus kas pengeluaran.
Sedangkan utang jangka panjang biasanya ada opsi refinancing, sehingga dapat
membantu memotong nilai sekarang neto dari utang mereka, meskipun sifat jangka
panjang jatuh temponya tetap.
Dari
gambaran riset kecil diatas, kita tentunya dapat melihat ada kemiripan situasi
dengan apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Dimana hutang menumpuk, Pembanguna
Infrastruktur agresif dan tiba tiba mandek, bunga utang tinggi. Hal yang menarik
indikatornya lainya, mendukung kearah resesi seperti terjadinya stagflasi,
dimana pertumbuhan stag di angka 5 persen, sedangkan inflasi naik, PHK ramai,
retail berguguran, daya beli menurun, pendapatan pajak menurun,bahkan kas kita hanya
sanggup menggaji sampai 3 bulan kedepan kata Menkeu.
Mungkinkah akan terjadi crisis di tahun 2020 atau diakhir
2019 ? wallahualam..
Penulis adalah Mahasiswa Program Ilmu Ekonomi Universitas
Borobudur Jakarta.