Oleh Helmi Adam
Realisasi APBN 2019 hingga akhir Mei, tercatat defisit hingga Rp 127,5 triliun atau 0,79% dari produk domestik bruto (PDB). Pendapatan negara yang cuma tumbuh single digit menjadi faktor penyebabnya.Karena hingga Mei 2019 tercatat pendapatan sebesar Rp 728,5 triliun dan belanja Rp 855,9 triliun. Pertanyaanya mengapa terjadinya kelesuan penerimaan negara? Akankah terjadi resesi ?
Kita ketahui menurut data Kemenkeu PPN dan PPNbM (Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah) tumbuh negatif, sedangkan Impor kita mengalami tekanan, karena Lemahnya produksi industri dalam negeri. Untuk itu perlu menjadi perhatian serius oleh pemerintah. Sebagai indikator pelemahan produksi bisa dilihat dari penerimaan pajak industri.
PPh (Pajak Penghasilan) migas mengalami kenaikan positif 3,7%, tetapi sialnya bukan karena kenaikan volume produksi migas kita, akan tetapi lebih dikarenakan depresiasi rupiah. Jika kita lihat dari sisi industri, hal ini menunjukkan, harusnya kita berhati-hati karena semua sektor mengalami pelemahan pertumbuhan perpajakannya. Bisa jadi sebagai tanda tanda krisis seperti yang dialami amerika tahun 1935. Karena inflasi tinggi sedangkan produksi menurun penyerapannya, daya beli lemah. Hal ini ditambah tidak ada lagi even besar yang akan mendorong pertumbuhan konsumsi, seperti ramadhan dan Pemilu.
Namun di sisi pajak orang pribadi, PPh pasal 21 tumbuh cukup tinggi, yaitu 22,5%. Hal ini menunjunjukkan ekonomi agak Mixed, sementara sektor usaha mengalami tekanan tetapi pekerja dan orang pribadi masih cukup kuat membayar pajak. Namunseberapa kuat mereka membayar pajak dengan ekonomi yang tumbuhnya cendrung stug. Oleh karena itu kita kami harus hati-hati melihat prospek ekonomi RI kedepan, karena adanya kecendrungan deficit akan melebar terus. Di tambah konsumsi dalam negri terus turun, padahal konsumsi dalam negri penyumbang tertinggi pertumbuhan ekonomi hingga 56 %.
Hal inilah yang membuat Menkeu Sri Mulyani agak gusar dan meminta kita berhati hati menghadapi perekonomian indonesia kedepan. Walupun kita masih melihat pertumbuhan positif dari sisi pendapatan hingga Mei 2019 yaitu sebesar Rp 728,5 triliun (tumbuh 6,2%) namun belanja negara lebih besar lagi sebesar Rp. 855, 9 trilyun. Hal ini menyebabkan defsit membesar., dan pemerintah menutupnya dengan utang baru.
Ditengah keadaan seperti ini, justru ada wacana untuk melakukan pemotongan anggaran. Dan mentri keuangan beberapa kali melakukan rapat kerja dengan DPR untuk memotong Anggaran. Padahal pemotongan anggaran menyebabkan makin lesunya perekonomian, karena mengurangi belanja public artinya mengurangi belanja rakyat. Sehingga mengurangi pertumbuhan. Bukankah target pertumbuhan di 5,3 sampai 5,6 persen, bagaimana bisa tercapai, jika permintaan di kurangi, bukan Keynes menyuruh kita belanja untuk menggerakkan ekonomi yang akan mengalami resesi ?
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Ekonomi Universiats Borobudur Jakarta.