Pajak Menekan Rakyat, Bagaimana dengan Konglomerat ?




Oleh Helmi Adam

Hampir setiap 5 tahun yang lalu, Joko Widodo-Jusuf Kalla menjanjikan reformasi perpajakan menyeluruh dari mulai masalah regulasi, dan kelembagaan, hingga administrasi. Dengan Target penerimaan pajak super tinggi diangka 21 Persen. Namun sayangnya,  sampai detik ini hanya sebatas janji.  Alih alih akan menaikkan penerimaanm jsutru yang terjadi adalah  Shortfall (kekurangan penerimaan) dalam 5 tahun terakhir, karena  tax ratio bukannya meningkat justru menurun. Tercatat dalam data BPS adri  13,7% menjadi 11,5% pada akhir tahun 2018.Memasuki tahun 2019. Pada lima tahun berikutnya Jokowi akhirnya memasang target tax ratio hanya 12,2% untuk tahun 2019.


Tax ratio Indonesia tergolong rendah di dunia, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Penurunan tax ratio Indonesia sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2009, kalau datanya ditarik lebih jauh lagi, tax ratio Indonesia pernah mencapai rekor tertinggi yaitu pada jaman pemerintahan Suharto tahun 1981 mencapai 21,9% dari PDB, dan saat masih booming harga minyak, sehingga pembangunan infrastruktur dilakukan karena mengguankan APBN berimabng. Jadi ketika tabungan banyak, pembanguan banyak terjadi.namun sayangnya  setelah itu mengalami penurunan terus.

Penurunan rasio pajak terjadi karena :

1.    Kepatuhan wajib pajak yang rendah
Otoritas pajak menargetkan tingkat kepatuhan pajak formal tahun ini sebesar 80%, yang diukur berdasarkan jumlah penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan badan dan orang pribadi untuk tahun pajak 2018. realisasinya baru 61,7%, merujuk pada data 11,03 juta SPT yang dilaporkan Wajib Pajak orang pribadi maupun badan per 1 April 2019.

2.    Basis pajak yang lemah,
Kebenaran data SPT yang dilaporkan Wajib Pajak saja, Masih bisa di pertanyakan.  Belum lagi jika dibandingkan dengan jumlah subjek pajak Indonesia sebesar 265 juta jiwa, dan 26,71 juta perusahaan non pertanian, menurut data BPS, tahun 2016, menunjukkan jauh dari kata ideal. Hal ini bisa diukur dari total populasi 265 juta penduduk, dibandingkan dengan jumlah Wajib Pajak terdaftar, dengan yang patuh melaporkan SPT, masih terlalu kecil. Karena rendahnya kepatuhan Wajib Pajak selaras dengan rendahnya basis pajak Indonesia. untuk meningkatkan dan memperluas basis pajak.

3.    Celah hukum yang membuka ruang penghindaran pajak,
Celah hokum yang biasanya, dilakukan oleh kosultan pajak, seperti sewa barang yang harusnya kena pajak,di rubah jadi barang milik sendiri yang bebas pajak. Dan biaya biaya lainya yang emmiliki celah hokum untuk penguranagn pajak, dimanfaatkan  oleh petugas pajak seperti kasus Gayus Tambunan.
Program tax amnesty yang dimulai pada tahun 2016 setidaknya menjadi awal baru reformasi perpajakan, meski hasil akhirnya belum sesuai dengan yang digembar-gemborkan pemerintah. Karena malah dimanfaatkan denagn baik oleh pengemplang pajak. Dan justru meluaki rasa keadilan.karena sedikitnya Rp 4.855 triliun harta yang selama ini tidak pernah dilaporkan wajib pajak masuk ke dalam sistem DJP dan terjaring 48.000 Wajib Pajak baru.


4.    Sistem dan administrasi perpajakan yang ketinggalan zaman.
Saat ini pemerintah dapat memperluas basis dalam  memajaki objek di luar negeri, dengan Pertukaran informasi keuangan secara otomatis melalui AEOI, yang melibatkan hampir 100 negara, namun sayangnya belum dimanfaatkan dengan baik. Untuk itu pemerintah harus mampu mengelola dan mengonversi data-data Wajib Pajak  menjadi tambahan penerimaan yang baru. Karena sangat penting memiliki kesiapan sistem administrasi, dan informasi perpajakan, dalam menghadapi tantangan disrupsi dan demografi yang semakin meningkat.


5.    SDM otoritas pajak yang sangat terbatas.
Target penerimaan pajak yang tidak pernah tercapai sejak tahun 2008 bisa menjadi salah satu indikatornya. Hal ini bukan hanya soal kemampuan sumber daya manusia dalam memungut pajak, melainkan jumlah SDM yang sangat terbatas. Untuk itu seharusnya dilakukan reformasi struktural dan pemberian otoritas pajak dengan memisahkan DJP dari Kementerian Keuangan menjadi Badan Penerimaan Negara.

Tantangan Kedepan

fenomena revolusi industri 4.0, dengan perkembangan industri digital yang begitu massif, akan menjadi tantangan serius, bagi otoritas pajak ke depan. Era Digitalization tak hanya mengubah pola perilaku manusia, tetapi mengubah cara dan prilaku bisnis secara fundamental. Hal ini bisa kita lihat dari perkembangan e-commerce, jasa keuangan berbasis teknologi (fintech), dan munculnya ribuan start up baru, sebagai transformasi bisnis dari konvensional ke digital. Hal ini tentu akan berdampak terhadap perpajakan dan penerimaan negara non pajak.
Perkembangan teknologi bukan hanya membuka peluang ekonomi yang semakin besar, akan tetapi memunculkan potensi pajak yang cukup signifikan untuk menambah kas negara. Oleh karena itu  otoritas pajak harus selangkah lebih maju atau bahkan dua-tiga langkah di depan Wajib Pajak. Menekan pajak rakyat bukanlah jalan keluar, apalagi mengurangi pajak barang mewah para konglomerat. Pertumbuhan bisa dicapai dengan menumbuhkan daya beli rakyat, bukan memperluas pajak rakyat kecil, karena hasilnya pasti kecil. 

Era digital akan menambah "pekerjaan rumah" bago kantor pajak dalam mengoptimalkan penggalian pajak di sektor-sektor usaha yang selama ini sulit terdeteksi  seperti underground economy dan non-taxable. Untuk itu diperlukan inovasi lebih lanjut agar pajak tidak hanya menyentuh aktivitas ekonomi konvensional akan tetapi  dapat menjangkau transaksi ekonomi di ruang digital.

Yang terpenting diketahui, menaikkan tax ratio secara serampangan juga bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi, karena  akan mengurangi potensi ekonomi yang selama ini dikelola sektor private. Jangan sampai jadi boomerang padahal tujuanya  meningkatkan penerimaan pajak, tetapi justru sebaliknya: ekonomi melambat dan setoran pajak tersendat. Yang jelas semua butuh perencanaan yang matang bukan sekedar memenuhi janji politik atupun meningkatkan pendapatan, tetapi juga memberikan dampak pertumbuhan yang signifikan.

Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Ekonomi Universitas Borobudur Jakarta

1/Post a Comment/Comments

Terima Kasih

BULAN CAHAYA mengatakan…
Mantab Pak. Benar itu...
Lebih baru Lebih lama