Politik Dua Kaki di Era Digital, Politisi atau Kontituen ?





Oleh Helmi Adam.

Politik dua kaki, atau juga suka disebut, politik dua muka. Kalau dalam ajaran Islam, bisa dikatakan “Politik Munafik”. Mungkin kalau digunakan istilah Politik Munafik, semua politisi  tidak berani menggunakan politik dua kaki. Istilah politik dua kaki, sebenarnya hanya cocok dilakukan oleh perusahaan atau seoarng pebisnis di era digital. Karena di era digital semua terbuka dan transparan. Semua orang orang bisa mengontrol perilaku politisi, melalui jejak digital. Maka tidak aneh, jika ada ketidakkonsistenan seorang politisi akan dibully abis.

Dalam sejarah Indonesia politik dua kaki pernah dilakukan ketika menghadapi penjajahan Jepang, Akibatnya sutan syahrir ribut dengan sukarno yang mencoba bermain dua kaki. Begitupun pada jaman reformasi, partai golkar pernah memainkan politik duka kaki dengan piawai. Sehingga paska reformais patai Golkar menjadi pemenang pemilu saat itu. Namun saat ini kembali ramai orang membicarakan Politik dua kaki Partai Demokrat, denagn mebairkan caleg calegnya di ebriakn kebebasan mendukung paslon 01 atau 02. Bhakan kepala daerah dan DPDnya pun diberikan kebebasan untuk mendukung 01 atau 02. Pertanyaanya efektifkah bermain dua kaki di era digital ?

Era digital menyebabkan masyarakat gampang mengakses informasi, apalagi generasi Y, dan Z yang merupakan pengguna setia media social. Mereka ini adalah pembaut perubahan dalam pardigma politik. Artinya mereka tidak bsia lagi di bohongi oleh pencitraan, lebih lebih kebohongan. Adagium “kebohongan yang berulang ulang akan menjadi kebenaran”, sudah mati. Adagium baru adalah “ kebohongan berulang ulang Akan memuakkan”. Mengapa saya berpendapat seperti ini. Karena hasil research kecil kualitatif dengan 4 orang generasi Z, 6 orang generasi Y, yang   saya lakukan selama silahturami lebaran. Hasilnya  menunjukan bahwa ;

1.    Mereka tidak menyukai kepura-puraan dalam berpolitik, tapi mereka menyukai kepura-puraan dalam berpacaraan. (100 %)
2.    Mereka menyukai sikap konsisten dalam politik dan pacaran. (80 %)
3.    Mereka tidak suka orang munafik dalam berpolitik, tapi dalam berpacaran masih oke juga katanya. (90 %)
4.    Mereka tahu politik dari media social (100%) (8 orang Instagram,Line, WA, Gmail, Dan 2 Orang selain menggunakan 4 Flatform tresbut juag menggukan FB dan Twitter.)
5.     Mereka suka orang yang menepati janjinya dalam politik kecuali pacaran,boleh bole aja sesuai kondisi. (100 %) terdiri dari 7 orang harus menepati janji tiga orang boleh kalau pacaran)

Yang menarik mereka mendefinisikan politik dua kaki sebagai suatu perbuatan munafik. Oleh karena itulah saya membuat istilah “politik munafik” dari awal tulisan ini. Saya mencoba menggali lebih jauh kebelakang, tentang Sukarno dan Syahrir yang berbeda dalam perjuangan. Semua sama jawabanya beda kondisinya, mereka semua menjawab hampir sama. Yaitu : Dulu itu jaman Jepang dan musuhnya jelas, sekarang tidak ada perang.

Dari penelitian kecil tersebut tampak bahwa politik dua kaki sudah tidak bisa relevan pada era digital. Bahkan boleh dikatakan bahwa kemungkinan penurunan kursi yang dimiliki partai demokrat dikarenakan politik dua kaki yang dilakukan. Karena ketika di tanya partai apakah yang mereka pilih, semua menjawab rahasia, tapi ketika saya tanyakan apakah akan memilih partai yang bermain dua kaki. mereka menjawab tidak akan. Dan ketika saya tanya mereka tahukah partai yang bermain dua kaki, mereka jawab tahu . kemudian ketika saya kejar partai apa ?, mereka tertawa, dan mengatakan rahasia. Karena mereka menganggap saya terlalu “kepo”,dan lama lama saya bisa tahu pilihan partai yang mereka pilih. Akhirnya saya berhenti di pertanyaan terkahir tersebut.

Dari penelitian kecil dan sederhana tersebut dapat disimpulkan bahwa Konsistensi sikap politik sangat diminati, dan penting untuk partai politik kedepan untuk konsisten. Di era digital Politisi harus bisa mengukur prilaku sikap kedepan, agar tidak ditinggal konstituenya. Karena money politik akan hilang pada akhirnya, justru politisi bisa ditipu oleh konstuenya jika terus menggunakan paradigma lama dalam berpolitik. Karena kedepan bukan politisi yang bermain dua kaki, bisa jadi malah konstituenya yang bermain dua kaki…

Penulis Adalah Direktur Syafaat foundation Indonesia

0/Post a Comment/Comments

Terima Kasih

Lebih baru Lebih lama