Oleh Prof. Dr. Muchlis R Luddin
Malam ini, ketika
orang-orang merayakan lebaran, saya masih saja teringat kepada Yuval Noah
Harari (2018). Ia melansir begitu banyak catatan tentang masa depan kehidupan
diabad ke-21. Masa depan kita semua. Tetapi, senyampang itu, masih banyak
diantara kita yang masih belum “ngeh, sadar, waspada”, dan kemudian bersiap
diri untuk menghadapi kecenderungan perubahan-perubahan (pola) kehidupan yang
akan datang kehadapan kita. Mungkin ada baiknya, saya merevieu dan
mendiskusikan kembali (secara singkat) beberapa isu pokok yang menjadi catatan
Harari. Isu pokok itu sepatutnya kita perhatikan, agar praktik kehidupan kita
cerdas dan memberi harapan baru.
Menurut Harari,
manusia itu berpikir dan bertindak berdasarkan cerita-cerita ketimbang atas
dasar fakta-fakta. Setiap orang, setiap kelompok, dan setiap bangsa memiliki
cerita, hikayat, kisah dan mitosnya masing-masing. Tetapi, memasuki abad ke-21,
cerita, hikayat, kisah, dan mitos itu diubah oleh kekuatan-kekuatan besar
narasi baru yang memprediksi (dan mempengaruhi) masa depan. Narasi baru yang
mengklaim akan mendominasi kehidupan pada abad ke-21. Narasi-narasi itu adalah
“the facist story, the communist story, and the liberal story”.
Di dalam
perjalanannya, sejak tahun 1940 sampai dengan 1980, dunia telah menjadi
“lapangan perang-perangan” antara dua kekuatan cerita atau narasi (besar),
yakni pertarungan antara komunisme dan liberalisme. Fasisme, yang tadinya
merupakan salah satu narasi besar, mengalami kekalahan dan menjadi cerita atau
narasi yang tak menarik. Di dalam “peperangan itu”, kemudian komunisme
mengalami kekalahan, kolaps. “Liberal story” tetap bertahan. Cerita dan narasi
liberal inilah, yang kemudian, mengendalikan praktik kehidupan kita sampai
sekarang. Narasi liberalisme seolah-olah (yang) menuntun cara kerja kita. Ia
memberi petunjuk arah dan tujuan yang harus kita capai. Itu sebabnya,
dimana-mana kita menyaksikan bahwa liberalisme mengendalikan sisi-sisi
kehidupan umat manusia. Manusia, hampir disemua bagian dunia ini, merayakan apa
yang disebut sebagai “the value and power of liberty”.
Orang-orang diseluruh
dunia merayakan kebebasan. Orang memprotes jika ada sebuah pemerintahan yang
masih bersifat opresif. Hak-hak kemanusiaan manusia diperjuangkan semaksimal
mungkin. Setiap orang menyatakan dirinya memiliki hak-hak politik, mempunyai
kesempatan ekonomi yang sama, dan memiliki kebebasan pribadi yang tak bisa
dibelenggu oleh orang lain, sekalipun oleh (pemerintahan) negara.
Tetapi, perayaan
kebebasan tersebut tak sepenuhnya dapat diperoleh dengan sekaligus. Ia harus
diperjuangkan secara bertahap. Gerakan-gerakan individual dan kelompok di dalam
memperjuangkan hak-hak kemanusiaan, kadang kala, harus berhadapan dengan sebuah
rezim yang ingin mengatur tahapan-tahapan tersebut. Akhirnya, perjuangan itu,
dari awalnya bernuansa demokratis, beralih dan bergeser kepada cara-cara
diktator. Cara-cara yang acapkali “membenarkan tindakan” yang bersifat brutal.
Narasi besar
liberalisme, sekarang ini, sedang mengalami tantangan. Hampir banyak kelompok
masyarakat, negara yang masih memperjuangkan tirani. Umumnya, tiranisme itu
ditopang oleh kuatnya serangan kemiskinan, kekerasaan, dan praktik
tekanan-tekanan yang ada di sebuah Masyarakat (negara).
Pada mulanya, “Liberal
story” menjanjikan untuk menyelesaikan masalah tersebut di atas. Ia memberi
harapan untuk membebaskan tirani-tirani. Memberdayakan masyarakat, memproteksi
masyarakat agar dapat memperoleh hak-hak asazinya. Liberalisme berusaha
memproduksi sistem ekonomi politik yang menjanjikan kebebasan, kemakmuran,
kekayaan individual, dan perdamaian.
Tetapi, sejak tahun
1990, ketika negara-negara mengikuti narasi besar liberalisme, dan narasi
liberalisme itu menjadi mantra global, masyarakat dunia justru mengalami
disilusi. Masyarakat mengalami kekecewaan terhadap praktik-praktik kehidupan
yang dilandasi oleh cerita liberalisme. Para kampium liberalisme di London, New
York, Berlin, mengalami penolakan masal dari masyarakatnya sendiri. Penolakan
justru bersumber dari proteksionisme mereka sendiri. Para kampiun liberalisme
itu dengan gegap gempita melansir nasionalisme identitas. Mereka resisten
terhadap imigran. Mereka ingin membangun dinding-dinding pembatas. Mereka
mendahulukan identitas (nasional) mereka sendiri. Mereka menganggap “the other”
bukan menjadi bagian dari masyarakatnya. Mereka tak lagi ingin memperlakukan
manusia untuk memenuhi hak-hak asazinya. Mereka membatasi media. Mereka membuat
aturan-aturan main yang membatasi manusia untuk memperjuangkan kebebasannya.
Mereka justru mengubah dan menurunkan (status narasi besar) “liberal democracy
to dictactorships”.
Itulah yang sekarang
sedang terjadi di dalam praktik kehidupan umat manusia. Para kampiun
liberalisme telah mempelopori pergeseran narasi besar tersebut. Atau bahkan
terjadi pergeseran narasi dari liberalisme murni, neo-liberalisme, kepada
“dictactorship of liberal democracy”. Demokrasi (yang) dilansir dengan
mengadopsi cara-cara (praktik) diktaktor untuk melaksanakan kebebesan, hak-hak
azasi manusia, perdamaian.
Pola inilah yang
sekarang ini sedang berlangsung. Pola inilah yang sedang bekerja
melakukan rekayasa terhadap praktik kehidupan masyarakat. Ia bergerak dan
bertindak “to enggineer and manufactur (our) life”. Ia merancang pikiran.
Mempengaruhi cara berpikir kita. Ia “membunuh cara berpikir kita”, kemudian
menata kembali cara berpikir baru, dengan cerita baru, dengan narasi baru,
dengan mitos baru, dengan hikayat baru, dengan kisah baru, dimana demokrasi
bisa dilakukan lewat cara-cara diktator. Demokrasi bisa dilakukan lewat politik
identitas. Demokrasi bisa dilaksanakan lewat membangun nasionalisme identitas.
Kampanye dengan slogan seperti ini berkembang dimana-mana: Kita dahulu, orang
lain kemudian. Bangsa kita dahulu, bangsa lain nanti saja. Golongan kita
dahulu, golongan lain kemudian.
Pola praktik kehidupan
seperti di atas, kemudian berkembang oleh dukungan masif dari teknologi
informasi. Teknologi informasi dan bioteknologi memberi orang kekuatan atau
bahkan kekuasaan untuk memanipulasi praktik kehidupan di dalam masyarakat. Mereka
membentuk kembali cara berpikir baru. Membenarkan yang tadinya dianggap keliru.
Mengubah cara berpikir dan sistem mental kita. Mereka memporak-porandakan
persepsi tentang praktik kehidupan masa depan kita. Mereka ingin merekayasa dan
merancang kembali tentang bangunan masa depan kita, dengan narasi baru, dengan
cerita baru, dengan mitos baru.
Memang, jika kita
perhatikan “liberal story”, sekarang ini, sedang menghadapi krisis kepercayaan.
Apalagi sejak munculnya kekuatan baru yang disponsori oleh China. China
melansir apa yang dikenal sebagai “the state capitalism”. Itu sebabnya,
pertarungan narasi besar tak lagi dikuasai oleh liberalisme, tetapi ada pesaing
baru, yaitu Beijing. Beijing amat gencar mengintrodusir cerita baru, kisah
baru, berupa “social-democratic welfare states combined democracy and human
right”.
Dalam narasi barunya,
China bertumpu kepada dua hal pokok, yaitu Pendidikan dan kesehatan. Di dua hal
pokok ini, negera terlibat langsung untuk mengatur, bahkan melakukan
proteksi-proteksi. China membolehkan kebebasan di dalam pelayanan untuk
kesejahteraan, seperti praktik ekonomi (pasar), tetapi untuk pendidikan dan
kesehatan—terutama bagi anak-anak—negara harus melakukan pelayanan langsung.
Pelayanan ini tak boleh dibebaskan kepada mekanisme pasar.
Itulah praktik
kehidupan. Praktik kehidupan yang menghasilkan kisah baru, narasi baru. Setiap
narasi memiliki nilai-nilainya sendiri. Ia juga memiliki budayanya sendiri. Ia
juga membangun dan merekayasa cara berpikirnya sendiri. Tinggallah kita
memperhatikan narasi besar (baru) mana yang akan mengendalikan praktik
kehidupan bersama kita. Narasi besar baru mana yang akan mendominasi kehidupan
kita.
Atau kita masih
percaya kepada praktik demokrasi seperti yang sedang kita lakukan sekarang ini.
Demokrasi yang didasarkan kepada prinsip pemikiran Abraham Lincoln: “You can
fool all the people some of the time, and some of the people all the time, but
you cannot fool all the people all the time” (Yoval Noah Harari, 2018). Atau
kita lebih baik membangun narasi, atau kisah, atau cerita baru sendiri
berdasarkan prinsip-prinsip kehidupan bersama kita, sehingga kita tak menjadi
korban dari pertarungan antar kisah. Semoga kehidupan masa depan kita akan
lebih baik, lebih sejahtera dan lebih adil, tentu saja dengan narasinya
sendiri. (Bekasi, 7 Juni 2019. MRL)
Penulis Adalah Guru
Besar Sosiologi Universitas Negri Jakarta