Oleh : Yanuar Iwan.
Mereka yang menghalangi revolusi damai berarti membuka peluang pecahnya revolusi dengan kekerasan ( John. F. Kennedy )
Unjuk rasa menentang RUU Ekstradisi di Hongkong makin meningkat dan masif, unjuk rasa yang dimulai sejak Maret 2019 telah mengakibatkan besarnya eskalasi konflik dan tindak kekerasan antara aparat keamanan dan demonstran yang rata-rata mahasiswa dan pemuda, pekerja, guru dan dosen dari kaum menengah Hong Kong, mereka di dukung penuh oleh sebagian penduduk yang menolak RUU Ekstradisi, jika RUU itu di sahkan menjadi UU maka pemerintah Cina daratan bisa dengan leluasa menangkap siapapun yang di duga melakukan tindak kriminal dan pelanggaran hukum lainnya untuk kemudian di adili di Beijing.
Persoalannya sebagian besar kaum menengah Hong Kong yang di lambangkan dengan gerakkan demonstrasi pemuda dan mahasiswa sudah tidak lagi percaya kepada pemerintahan komunis China. "Warga Hong Kong, tidak percaya kepada pemerintahan komunis China". Kata Long Chen, salah seorang demonstran ( CNN World, 12- 6 - 2019 ).
Tahun 2012 terjadi demonstrasi besar untuk memprotes rencana masuknya materi kurikulum pro RRC ke sekolah - sekolah di Hong Kong.Di tahun 2014 terjadi demonstrasi besar menentang regulasi pemilu mengenai keterlibatan Beijing di dalam pemilihan Kepala Eksekutif daerah otonom Hong Kong.
Konsep "Satu negara dua sistem" yang di populerkan pemimpin China Deng Xiao Ping menjelang kembalinya Hong Kong ke China 1 Juli 1997 ternyata jauh panggang dari api, Hong Kong sudah terlalu nyaman dan aman di bawah pengaruh Inggris, di mulai sejak Perang Candu ( 1839 - 1842 ) Inggris berhasil mengalahkan China dan di susul dengan Perjanjian Perdamaian Nanking ( 1842 ) salah satu butir kesepakatan adalah Inggris mendapatkan Hong Kong dan kemudian di perkuat Konvensi Ekstensi Wilayah Hong Kong 1898, status Inggris menjadi penyewa pada China selama 99 tahun.
Waktu satu abad kurang satu tahun cukup bagi Inggris untuk membangun wajah Hong Kong menjadi pelabuhan kelas dunia, motor penggerak kapitalisme dan liberalisme, pusat jasa, keuangan, dan perdagangan strategis di Asia, Hong Kong menjadi semakin kuat secara ekonomi karena banyaknya pelarian politik dari kelas menengah yang anti komunis datang dan berasal dari China daratan sebagai dampak dari kekalahan kaum nasionalis dari kaum komunis dalam perang saudara di China paska Perang Dunia II.
Hong Kong di jadikan tempat pelarian politik dari generasi awal kaum nasionalis keadaannya menjadi mirip dengan Taiwan. Didalam proses perkembangan selanjutnya Hong Kong dan Taiwan menjadi macan Asia yang besar secara ekonomi dan infrastruktur fisik dengan corak liberal kapitalis yang kokoh.
Pada 1 Juli 1997 Hong Kong di serahkan kembali oleh Inggris kepada China di jadikan daerah otonom dan berhak mengatur rumah tangganya sendiri sampai dengan 50 tahun ke depan itu artinya baru pada tahun 2047 Hong Kong bisa sepenuhnya di kuasai pemerintah China daratan.
Ketidak percayaan terhadap pemerintah Beijing, kekhawatiran dan ketakutan terhadap rezim komunis akibat trauma sejarah masa lalu, salah satunya adalah "Peristiwa berdarah Tiananmen pada 1989, isue - isue pelanggaran HAM yang sering di hubungkan dengan pemerintah China mempersulit hubungan dan komunikasi antara kaum menengah Hong Kong dengan pemerintah China, Demonstrasi besar tahun 2012, 2014, dan 2019 yang seluruhnya beraroma menentang campur tangan dan pengaruh Beijing di Hong Kong, akankah demonstrasi akan berlanjut terus ataukah akan ada dialog yang jelas Hong Kong akan tetap menjadi "anak ajaib yang sulit di kendalikan" sebelum atau sesudah 2047.
Penulis pemerhati masalah internasional, tinggal di Cipanas