Oleh Helmi Adam
Ping An Insurance merupakan perusahaan terbesar kedua di
cina, kalau dihitung berdasarkan pendapatan preminya. Saat ini Ping An sedang
menginacar Financial Technology atau Fintech, di Asia tenggara.
Hal ini karena Ping An melihat pasar potensial di Asia Tenggara
cukup besar dimana banyak UMKM yang membutuhkan modal cepat. Oleh karena itu
Ping An membuka anak perusahaan dan mendaftarkannya di Singapura, pada bulan
maret 2018, dengan nama One Connect Financial Technologi. Sayangnya Ping An tidak
membuka di Jakarta. Padahal pasar yang sasarnya adalah Indonesia.
Sehingga Investasi Ping An tidak banyak menguntungkan buat
Indonesia, tapi justru yang menikmati adalah Singapura. Oleh karena itu harus
ada ketegasan dari OJK, tentang ijin Fintech Ping An, yang beroperasi di Indonesia.
Pasalnya, sangat sulit dilacak jika menggunakan transaksi online.
Apalagi potensi pasar Indonesia bisa digarap habis, oleh
Ping An, karena Ping An bisa memfasilitasi kreditornya dengan layanan sofware
untuk bisnis para kreditornya. Tidak sampai disitu Ping An juga membantu pemasaran
produk UMKM yang menjadi krediturnya, sehingga bisa menguntungkan keduanya.
Selain itu Ping An juga akan menyediakan sarana untuk
pelanggan UMKM dengan teknologi one conection, sehingga memudahkan pelanggan
mendapatkan, dan melakukan komunikasi dengan
UMKM maupun Ping An.
Fintech OneConect sudah mulai operasi di indonesia dari
bulan Februari, tepatnya tangag 20
febauari 2019. Jumlah uang yang diinvestasikan sebesar 104 milyar rupiah saja.
Tapi aset ini, bisa bertambah besar dengan guliran utang dan bunganya yang terus
berjalan. Istilhnya “kebo yang kerja sapi yang dapat nama. Gimana tidak ?, yang minjem UMKM yang mendapatkan keuntungan
banyak adalah Oneconnect.
One connect sendiri
belum memiliki Industri financial technology
(FINTECH) mulai menjamur di Indonesia. Kehadiran industri baru ini trejaid
akibat dari kemjuan teknologi. Selain itu disebabkan oleh sulitnya bank bisa
memfasilitasi pinjaman di seluruh inodnesia, padahal aturanya belum jelas.
Kehadiran Fintech bisa menggerus peran bank bank konvensional, terutama BPR
yang tpaling depan terkena dampaknya,
Namun di balik kehadiran fintech seolah
olah sebagai solusi, padahal kehadiranya lebih mirip dengan rentenir gaya baru.
Hal ini bisa di lihat dari banyak yang mengeluhkan penetapan bunga fintech
khususnya di peer to peer (P2P) lending yang terlampau mahal. Bayangkan saja
bunganya bisa mencapai 1 persen satu hari, apakah tidak “Edan” ?
Sebagai contoh adalah ; perusahaan Rupiah
plus yang menawarkan pinjaman dengan plafon Rp 800 ribu dan Rp 1,5 juta dengan
tenor sampai 14 hari. Adapun total bunga yang diterapkan mencapai 1% per hari.
Perinciannya bunga 0,05% per hari, asesmen risiko 0,2% per hari, mitigasi
risiko 0,25% per hari, imbal hasil 0,15% per hari, penagihan 0,2% per hari, dan
risiko hukum 0,15% per hari. Bayangkan jika kiat minjam untuk 100 hari atau 3
bulan lebih, maka kita harus mencicil sebesar du kali yang kita hutang. Yang
lebih parahnya, tidak dijelaskan berapa denda yang diterapkan apabila mengalami
keterlambatan. Melalui perincian bunga tersebut pula, maka total bunga, dan
pokok yang harus dibayarkan, setelah jatuh tempo 14 hari mencapai Rp 912
ribu-1,71 juta. Benar benar seperti rintenir gaya baru.
Tapi kita belum tahu penerapan bunga yang
dilakukan oleh One connect, apakah sama dengan yang lain atau tidak. Mudah mudahan
sangat membantu rakyat kecil, dan membantu
UMKM buka mencelakakan nya Apalagi menjeratnya.
Itulah Bedanya Society 5.0 dengan
Revolusi 4.0 . Fintech di gunakan untuk memberikan nilai tambah pada manusianya
bukan malah mengeploitasi manusianya,,,,