Menurut Spice (2007) pelacur tidak ada kaitannya dengan keragaman etnis, sejarah pribadi, tingkat pendidikan, dan pengalaman hidup para wanita. Sedangkan Main (2012) melihat bahwa para perempuan yang terlibat prostitusi di jalanan, lebih karena pekerjaan seks yang paling mudah, walaupun menerima upah rendah. Lebih jauh, Reid (2011) dan Miller (1993) menemukan bahwa perempuan yang menjadi “pelacur jalanan” disebabkan pernah menegalami pelecehan dan kekerasan yang lebih berat daripada perempuan yang terlibat prostitusi di club club. Temuan Miller (1993), menerangakan motivasi ekonomi yang kuat mendasari sebagian besar mereka yang terlibat dalam pekerjaan seks, dan khususnya prostitusi jalanan. Mereka terpaksa, dan keterusan walaupun berisiko dengan kesehatan, serta keselamatan pribadinya.
Meskipun terdapat banyak risiko dalam pelacuran di jalanan, Lucas (2005) melaporkan bahwa perempuan dalam sampelnya, bahwa keterlibatan mereka dalam pelacuran adalah hasil dari pilihan mereka sendiri. Mereka menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi di luar lingkungan pelacuran, Karena adapatasi membutuhkan uang. Belcher dan Herr (2005) lebih jauh menemukan, bahwa perempuan yang terlibat dalam pelacuran seringkali terfokus pada imbalan jangka pendek. Mereka memiliki motivasi pada kepuasan yang lebih langsung, seperti uang. Mereka juag mengakui kadang mendapat manfaat jangka pendek, dengan membiarkan dirinya dikendalikan oleh faktor kepuasan ekstrinsik, langsung, yang membuatnya terkadang terjebak didalamnya dan tidak dapat keluar dari gaya hidup seperti itu.
Hasil ini sejalan dengan temuan Williamson dan Folaron (2003) bahwa, ketika perempuan terlibat dalam pelacuran, mereka menjadi semakin terikat dengan gaya hidup semacam itu. Selain itu, Williamson dan Folaron menemukan bahwa adanya jaringan sosial dalam lingkaran hidup mereka, yang terkait dengan pelacuran untuk memotivasi, dan mendorong perempuan untuk melanjutkan gaya hidup pelacuran mereka.
Jadi ada efek bahaya dari keterlibatan dalam gaya hidup pelacuran, seperti yang diungkapkan beberapa peneliti (mis., Cimino, 2012; Sanders, 2007) telah menemukan begitu rumitnya secara psikologis maupun fisik untuk keluar dari pelacuran. Baker, Dalla dan Williamson (2010) meneliti empat model proses perubahan kognitif dan perilaku, dua di antaranya secara khusus berkaitan dengan keluar dari pelacuran, dengan mengusulkan model integratif mereka sendiri. Model enam tahap keluar dari pelacuran, mengacu pada kekuatan teori yang dievaluasi dengan upaya untuk memperbaiki kelemahannay, yaitu : (1) Immersion, (2) Awareness, (3) Deliberate Preparation, (4) initial exit, (5) reentry, (6) final exit. Perumusan tahap-tahap ini memberi para peneliti kerangka kerja yang membantu untuk memahami pentingnya penelitian tentang perempuan yang terlibat dalam pelacuran.
Karena survei gagal menyerap "deskripsi tebal" (Damianakis & Woodford, 2012) atau kualitas informasi yang dikumpulkan dari sampel pelacur, saya menganggap metodologi kualitatif paling tepat untuk penelitian ini. Pendekatan observasi partisipan mengandung risiko keselamatan yang tidak dapat diterima oleh para peneliti, serta masalah logistik dan etika yang jelas. Oleh karena itu saya mengambil paradigma fenomenologis, dengan pendekatan kualitatif sebagai penelitian yang menurut saya paling bijaksana untuk menerangakn penelitai kecil ini.
Perempuan dalam penelitian kecil ini, saya menemukan tiga aspek dinamika psikologis ketika mengaitkan konstruk pribadi mereka tentang pelacuran.
Pertama, Lima orang yang diwawancarai menjelaskan ketidaksukaan atas tindakan yang melibatkan pelacuran. Hal yang menarik adalah yang Kedua, ternyata gaya hidup prostitusi berkembang menjadi kecanduan psikologis. Ketiga kelimanya berharap bisa mengubah gaya hidup mereka di masa depan, tetapi mereka membutuhkan intervensi, dan bantuan psikologis tentang jamianan hidup di masa depan.
Pandangan berbahaya tentang pelacuran
Lima wanita dalam penelitian ini berbagi banyak kisah yang menjadikan mereka korban kekerasan dan perkosaan selama terlibat dalam perilaku prostitusi. Sebagian 3 dari 5 orang menggambarkan pengalaman pelecehan fisik, kekerasan seksual, atau keduanya. Sementara detail cerita masing-masing perempuan bervariasi.
Dewi (Bukan Nama Asli) Saya telah mengalami banyak luka. Contohnya, bekas luka yang ada di daguku [menunjuk ke dagunya]. Ketika saya meminta uang saya terlebih dahulu, saya ditampar, dan dipaksa masuk ke apartemen. Saya tidak bisa makan selama berminggu-minggu karena pernah diancam gara gara saya tidak mau cium bibir. Saya pikir saya akan mati jika ketemu denganya.
Bagi 2 dari 3 yang mengalami kekerasan dalam penelitian ini, mengalami kekerasan fisik disertai dengan kekerasan seksual. Kekerasan seksual ini mungkin memiliki efek yang merugikan baik secara emosional maupun fisik. Perempuan tidak hanya harus menanggung penghinaan awal karena dilecehkan secara seksual, tetapi mereka juga dapat tertular penyakit menular seksual, kadang-kadang tanpa kesempatan menggunakan perlindungan untuk mencegah hal ini terjadi.
Pelacuran sangat berbahaya.
Terutama karena ada pria, dan wanita di luar sana, yang memiliki HIV, tetapi masih melakukan hubungan seks. Selain itu, Meli (Bukan Nama Asli) mengalami kekerasan fisik dan seksual dengsn memaksa untuk berhubungan intim dengan menggunakan kekerasan. Saya telah diperkosa beberapa kali, beberapa kali. Saya suadah pernah berhubangan intim dalam todongan pistol, oleh dau oaring sakit jiwa menurut saya, dan saya tidak menyangka. Mereka juga pernah mengalami serangan dan ancaman melalaui daring pada beberapa akunnya.
Selainitu, 2 dari 3 perempuan mencatat bahwa bahaya yang dialaminya, karena tidak hanya melukai mereka secara fisik, tetapi rasa sakit secara emosional. Banyak yang menyatakan bagaimana perlakuan negatif orang lain, terhadap mereka seperti yang di kemukakan oleh Dewi, misalnya, mengakui kerusakan yang dideritanya karena harga dirinya, dan rasa malunya ketika diketahui oleh temanya. 4 tahun yang lalu.
Kecanduan gaya hidup pelacuran
Meskipun menunjukkan penghinaan terhadap prostitusi tingkat jalanan, hampir semua peserta menggambarkan perasaan seolah-olah mereka kecanduan gaya hidup prostitusi. Namun, ketika menggunakan istilah ini, mereka melakukannya dalam penggunaan kata yang umum, bukan dalam arti pengalaman kejiwaan psikologis atau ketergantungan psikologis. Jelas, temuan ini tampaknya paradoksal, karena para wanita menunjukkan tidak menyukai perilaku pelacuran dan penghinaan yang dihasilkannya untuk hidup mereka. Prinsip paradoks yang tampak ini mungkin benar bagi setiap "pecandu" yang pada akhirnya tidak menyukai efek kecanduan pada diri mereka dan gaya hidup mereka. Dalam konteks ini, para peserta menyatakan perasaan agak "ketagihan" untuk terlibat dalam kegiatan gaya hidup yang tampaknya mereka benci. Dua sub-tema khusus muncul terkait dengan kecanduan psikologis perempuan pada gaya hidup pelacuran. Pertama, wanita umumnya dilaporkan terlibat dengan gaya hidup yang serba cepat dan tidak sehat. Amanda, misalnya, membagikan sentimen sebagian besar peserta dalam hal ini:
Benci pelacuran, tapi suka gaya hidupnya.
Saya merasa jauh dengan keluarga besar saya di luar sana. Saya memiliki keluarga, tetapi saya tidak bergaul denganya secara intens karena gaya hidup yang saya pilih, walaupun terkadang saya membenci gaya hidup sya yang borju. saya cape, aku ingin keluar dari gaya hidap saya, tetapi saya takut banyak kehilangan, saya jadi seperti kecanduan gaya hidup yang saya jalani ini. Jadi, kalau ada orang berpikir, hanya narkoba penyebab kecanduan, itu salah besar. Saya contoh kecanduan gaya hidup.
Kelima wanita itu, mengatakan sangat menikmati “hura hura”, dan fleksibilitas waktu, dalam gaya hidupnya, yang berkontribusi terhadap apa yang mereka anggap, sebagai kecanduan gaya hidup secara psikologis. Kelimanya sepakat untuk menikmati pekerjaanya yang bebas, tidak terikat waktu, di mana mereka inginkan, memilih “penggunanya” sendiri. Kombinasi dari konstruksi yang dirasakan ini membuat kelima perempuan ini memandang prostitusi, sebagai sesuatu yang menyenangkan, dan kesibukan yang dirasakan sebagai bagian dari kegiatannya. Akibatnya mereka tidak berhasil meninggalkan gaya hidup. Rani (Bukan Nama asli), misalnya, menyenangi setiap hembusan nafasnya ketika berhubungan secara rutin sebagai akibat dari gaya hidupnya.
Enak banget gila. Ada Sensasi, Hanya aja, gue nggak tahu, kapan ini gue bisa mengakhirinya.mungkin karaen kelamaan hidup sendiri ya, dan sampai saat ini gue baik-baik aja. Jadi enjoy aja..
Namun, mereka tidak menggambarkan dirinya sebagai orang yang kecanduan seksual. Karena reka pernah berhenti prostitusi untuk periode waktu tertentu, tapi kembali lagi karena mereka menyanangi gaya hidup yang mereka jalani. Ketika mereka berhenti mereka jadi bête, dan seperti stress. Pertanyaanya apakah mereka memenuhi kriteria medis kecanduan ?
Pertanyaan berikutnya perlukah mereka bimbingan rohani ? Jawabanya mereka perlu.