2019 TRAGEDI ROHINGYA DAN "DIAMNYA" ASEAN
Oleh : Yanuar Iwan.
Perdamaian hanya bisa terwujud apabila hak asasi manusia dihargai ( Dalai Lama )
Gambia negara kecil di Asia Barat pada 11 Nopember 2019 mengajukan gugatan resmi terhadap Myanmar ke Mahkamah Internasional di Den Haag ( Belanda ) dalam gugatan setebal 46 halaman, Gambia menuntut Myanmar telah melanggar Konvensi Hukum Internasional 1948 tentang kejahatan genosida atau lebih dikenal dengan konvensi genosida, Myanmar diduga telah melakukan pembersihan etnis secara sistematis, masif, dan terstruktur dalam bentuk penghancuran dan pembakaran desa-desa Rohingya di Rakhine, pengusiran, penganiayaan, pembunuhan dan pemerkosaan terhadap etnis Rohingya.
Gambia negara yang luasnya tidak lebih dari Jawa Barat secara geografis berjauhan dengan wilayah Asia Tenggara telah membuka mata dunia khususnya terhadap negara-negara anggota ASEAN, bahwa penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia lebih penting dan utama daripada kepentingan politik, ekonomi dan perdagangan.
Ketua tim pencari fakta PBB untuk masalah Rohingya, Marzuki Darusman seperti dilansir CNN Indonesia menyatakan bahwa tim penilai ASEAN yang ditugaskan untuk menelaah krisis Rohingya tidak menghasilkan apa-apa. Padahal tim itu dibentuk oleh ASEAN _Coordinating Centre For Humanitarian Assistance On Disaster Management_ ( AHA Centre ) pada bulan Juni 2019.
ASEAN sudah sangat lambat menangani krisis Rohingya, ASEAN mungkin belum memahami konsekuensi akhir dan membiarkan masalah ini terus berlanjut. Kata Marzuki dalam jumpa pers dikantor perwakilan PBB di Jakarta, Senin 5 Agustus 2019 ( CNN Indonesia ).
ASEAN tersandera oleh prinsip non intervensi didalam Deklarasi Bangkok, Agustus 1967. Dan kemudian diperkuat dengan perjanjian persahabatan dan kerjasama _Treaty of Amity and Cooperation_ ditandatangani pada pertemuan puncak ASEAN pertama di Bali tahun 1976. Hal ini menjadi dasar sikap negara-negara anggota ASEAN didalam menghadapi permasalahan global, sikap tersebut antara lain :
1. Saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan integritas wilayah semua bangsa.
2. Setiap negara berhak memelihara keberadaannya dari campur tangan, subversi, kekuasaan dari kekuatan luar.
3. Tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain.
4. Menyelesaikan perbedaan pendapat dan pertikaian dengan jalan damai.
5. Menolak ancaman penggunaan kekerasan.
Perkembangan HAM diera globalisasi beserta tantangan dan hambatan yang dihadapinya sangat membutuhkan adanya evaluasi terutama sikap non intervensi dalam organisasi ASEAN, diera globalisasi yang serba terbuka suatu negara yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan akan terancam kehilangan kedaulatannya, Myanmar tengah menjalani proses persidangan diMahkamah Internasional, PBB sudah mengirimkan komisi pencari fakta masalah Rohingya ke Myanmar. Tiongkok menghadapi gelombang protes internasional mengenai muslim Uighur.
ASEAN seharusnya bisa lebih berani dan proaktif untuk minimal memberikan sanksi kepada Myanmar dengan tujuan untuk menghentikan kekerasan terhadap etnis Rohingya dan mendorong proses peradilan terhadap para pelakunya. Sebab tindak kekerasan terhadap etnis Rohingya masih terjadi hingga kini.
Dibutuhkan restrukturisasi dan revitalisasi peranan ASEAN diera globalisasi khususnya didalam menghadapi masalah-masalah HAM dan terorisme, stabilitas politik, keamanan, dan perlindungan terhadap HAM sangat layak dikedepankan dengan cara proaktif sehingga kemajuan dan stabilitas ekonomi kawasan bisa meningkat, harus ada keberanian dan terobosan baru untuk merevisi pasal-pasal didalam Deklarasi Bangkok dan Kesepakatan Bali 1976 yang dibuat pada saat perang dingin sedang menguat, kini perang dingin sudah tidak ada, beberapa kesepakatan sudah tidak sesuai lagi diera globalisasi dibutuhkan perubahan mendesak terhadap organisasi ASEAN sebab jika tidak ASEAN hanya menjadi "macan ompong " dibelantara globalisasi.