Kasus Gagal Bayar TVRI Oleh Helmi Yahya, Bisa Seperti Asabri atau Jiwasraya ?



Layaknya manusia, biasanya yang lebih tua dan berpengalaman akan bisa lebih bijaksana dan lebih pintar dalam melakukan kerjasama dengan yang lebih muda. Tetapi logika pemikiran seperti ini kelihatannya tidak berlaku dalam kasus kerjasama TVRI dengan PT Global Media Visual (GMV), yang menggunakan merk MOLA TV dalam pemasarannya.

Mengutip Wikipedia, situs web MOLA TV diluncurkan pertama kali pada tanggal 2 Juni 2019, kemudian 17 Juli 2019 mulai meluncurkan siaran TV percobaan, dan 2 Agustus 2019 meluncurkan siaran resmi melalui aplikasi. Sedangkan perusahaannya (PT GMV), berdiri 12 April 2018, baru dua tahun. Secara usia memang relatif muda, dibandingkan dengan TVRI yang sudah berdiri sejak 24 Agustus 1962, alias sudah berusia 58 tahun.

GMV dimiliki oleh Djarum Media, bagian dari Djarum Group yang membawahi banyak bidang usaha dan dikelola oleh keluarga Hartono sebagai keturunan dari pendiri Djarum, almarhum Oei Wie Gwan. Selain berbisnis di bidang rokok kretek dan mesin, kini Djarum Group juga memiliki usaha di bidang perbankan (BCA), elektronika (Polytron), rumah produksi (Visinema Pictures), perkebunan (HPI Agro), perdagangan daring (Blibli.com), agen perjalanan daring (Tiket.com), makanan dan minuman (Savoria dan Yuzu), kopi (Delizio Caffino), property (BOT Hotel Indonesia & Grand Indonesia) dan tentu saja Djarum Media (Mola TV dan Super Soccer TV).

Kontrak GMV-TVRI

Melalui surat perjanjian bernomor 06/SP/I.1/TVRI/2019 tanggal 19 Juni 2019, dimulailah kerjasama antara TVRI dengan Mola TV sebagai pemegang hak siar Liga Inggris untuk wilayah Indonesia dan Timor Leste. Sebagai sebuah tontonan, tentu saja pertandingan sepak bola di Liga Inggris akan menjadi sebuah tontonan yang menarik, bahkan bisa disebut sebagai Killer Program atau Monster Program yang wajib dimiliki oleh semua stasiun televisi.

Diharapkan TVRI bisa merebut kembali minat para penonton televisi yang selama ini lebih memilih menonton tayangan TV swasta. Sampai disini tidak ada yang salah sama sekali dari upaya Direksi TVRI dan mantan Dirutnya dalam melakukan perbaikan tayangan TVRI. Namun jangan lupa ada banyak hal lain yang belum diketahui publik terkait perjanjian kerjasama ini, dan hal inilah yang kemudian menjadi api dalam sekam yang memporakporandakan kepercayaan Dewan Pengawas TVRI, yang diketuai oleh Arif Hidayat Thamrin terhadap Direksi TVRI, yang diketuai oleh Helmy Yahya sebagai Dirut (mantan).

Dalam Rapat Dengar Pendapat antara Komisi 1 DPR dengan Dewan Pengawas, Direksi, Karyawan dan mantan Dirut TVRI beberapa waktu berselang, kita mengetahui Bersama bahwa Dewan Pengawas menyatakan bahwa pada saat tayangan Liga Inggris mulai ditayangkan di TVRI di bulan Agustus 2019, mereka tidak pernah mengetahui isi kontrak perjanjian antara TVRI dengan Mola TV, walau Dewan Pengawas sudah meminta salinan surat perjanjian tersebut berkali-kali, secara lisan maupun tulisan. Mungkin ini penyebab ada banyak sekali surat yang dikirimkan Dewan Pengawas ke mantan Dirut TVRI dan kemudian dikeluhkan oleh mantan Dirut sebagai sangat mengganggu kerjanya.

Berikut ini adalah sebagian isi dari surat perjanjian tersebut yang sedikit demi sedikit mulai terbuka dan memberi penjelasan alasan di balik pemecatan Helmy Yahya sebagai Dirut TVRI, dan bukan tidak mungkin berlanjut ke Direksi lain yang terlibat dalam konspirasi besar yang berpotensi merugikan TVRI.

Sebelumnya dinyatakan oleh mantan Dirut TVRI bahwa acara ini berupa hibah, yaitu pemberian dengan sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain, menurut KBBI. Namun surat perjanjiannya dengan jelas menyatakan biaya yang dibebankan ke TVRI adalah USD 9.000.000 (sembilan juta dollar amerika serikat), dan seluruh pajak yang timbul akibat perjanjian ini ditanggung oleh TVRI sebagai calon penerima sub license.

Kalau nilai tukar yang digunakan adalah Rp 13.000/USD, maka TVRI harus membayar sebesar Rp. 113.000.000.000 (serratus tigabelas milyar rupiah) plus pajak. Jadi jelas bahwa ini bukan program hibah, dan Dewan Pengawas TVRI awalnya tidak mengetahui nilai ini akan dibebankan ke TVRI, padahal sejak akhir 2018 TVRI sudah memiliki hutang kepada pegawai TVRI dalam bentuk honorarium (SKK) yang tertunda, dan hutang kepada beberapa vendor lain.

Beban USD 9.000.00 tersebut akan ditagih ke TVRI dalam 6 (enam) tahap pembayaran sebagai berikut:

15 November 2019, sebesar USD 1.500.000
15 Maret 2020, sebesar USD 1.500.000
15 September 2020, sebesar USD 1.500.000
15 Maret 2021, sebesar USD 1.500.000
15 September 2021, sebesar USD 1.500.000
15 Maret 2022, sebesar USD 1.500.000

Sebagai kompensasi perjanjian kerja tersebut, MOLA TV akan beriklan di TVRI senilai Rp. 11.700.000.000 sebelas milyar tujuh ratus juta rupiah).

Lantas siapa sebenarnya yang diuntungkan dengan perjanjian kerja seperti ini, apakah TVRI yang duntungkan, atau MOLA TV, atau keduanya sama-sama untung? Atau bisa juga muncul pertanyaan liar, selain TVRI dan MOLA TV, adakah pihak lain yang mengambil untung dalam perjanjian ini?
TVRI sebagai stasiun televisi tertua di republik ini memiliki 29 stasiun daerah yang menyiarkan acaranya ke seluruh pelosok NKRI.


Kalau anda berpikir bahwa nilai-nilai nasionalisme, persatuan, kesatuan dan wawasan kebangsaan sebagai sesuatu penting untuk ditanamkan kepada generasi muda, maka pertanyaan ini akan menjadi sangat mudah untuk dijawab.

Dari surat perjanjian di atas, mungkin di benak anda sudah muncul beberapa pertanyaan mendasar, seperti misalnya, sebagai profesional di bidang penyiaran, diasumsikan Direksi sudah melakukan kajian-kajian sesuai nilai-nilai dan tupoksi TVRI, yang akan menjadi dasar dalam menentukan tayangan seperti apa dan di jam berapa yang akan menjadi Monster Program TVRI, bagaimana proses yang berujung pada kesimpulan bahwa tayangan Liga Inggris-lah yang terpilih sebagai Monster Program.

Pertanyaan yang wajar diajukan oleh Dewan Pengawas bisa berupa, bagaimana Term of Reference (TOR) yang digunakan sebagai rujukan para vendor, bagaimana proses pengadaannya, apakah penunjukkan langsung, lelang terbatas atau lelang terbuka, berapa harga wajar sebuah Monster Program, bagaimana proses negosiasi untuk mencapai harga tersebut, bagaimana hak iklan TVRI dari perjanjian tersebut, bagaimana mekanismenya, apakah logo MOLA TV perlu ditayangkan di layer TVRI, dan seterusnya. 

Kalau Dewan Pengawas tidak mempertanyakan hal-hal seperti di atas, kita sebagai pembayar pajak perlu mempertanyakan peran dan kompetensi Dewan Pengawas TVRI. Namun bila Dewan Pengawas sudah menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu untuk memastikan bahwa pilihan Direksi sudah sesuai dengan nilai-nilai dan tupoksi TVRI, maka bisa dikatakan Dewan Pengawas sudah melakukan fungsi pengawasannya. Dengan memperhatikan keterangan Dewan Pengawas dalam RDP dengan Komisi 1 DPR RI dan pernyataan Dewan Pengawas dalam press releasenya terkait pemberhentian Dirut, terungkap bahwa proses ini tidak berjalan seperti seharusnya karena Direksi tidak memberi penjelasan yang cukup atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Dewan Pengawas TVRI.

Informasi yang muncul ternyata cukup mengagetkan, saat Direksi melakukan perikatan perjanjian dengan MOLA TV pada 19 Juni 2019, Dewan Pengawas TVRI ternyata sama sekali tidak mengetahui kejadian tersebut, sehingga mereka bersurat kepada Dirut meminta penjelasan tentang perjanjian tersebut pada tanggal 9 Juli 2019. Akhirnya pada 17 Juli 2019, Dewan Pengawas bertemu dengan Direksi untuk meminta penjelasan lengkap dari Direksi. Berdasarkan rapat tersebut, melalui surat Dewan Pengawas tanggal 18 Juli 2019, Dewan Pengawas meminta Direksi untuk melakukan upaya tindak lanjut sekaligus memberikan teguran terkait perjanjian dengan MOLA TV, sebagai berikut

1) Dewan Pengawas meminta Direksi untuk melaksanakan tertib administrasi atas perubahan pola acara dan anggaran TVRI sehubungan dengan penayangan Liga Inggris;

2) Dalam kaitan kerjasama dengan MOLA TV, Dirut TVRI tidak mengajukan surat persetujuan tertulis ke Dewan Pengawas, dan tidak pernah melakukan kajian sebagai dasar penentuan program acara, tidak memasukkan program berbiaya besar dalam rencana anggaran, dan tidak membuat TOR dalam proses pengadaannya. Sampai disini mulai terlihat titik terang mengapa Helmy Yahya diberhentikan sebagai Dirut TVRI.

Menindaklanjuti surat perjanjian di atas, pada tanggal 31 Oktober 2019, Mola TV sudah mengajukan penagihan ke TVRI sebesar Rp. 27 Milyar, dengan batas waktu pembayaran pada tanggal 15 November 2019. Namun sampai tanggal 31 Desember 2019, TVRI belum mampu melakukan pembayaran tagihan, dengan kata lain TVRI gagal bayar. Hal ini mengakibatkan munculnya hutang baru yang akan membebani anggaran di tahun 2020, dan anda mestinya juga tidak lagi kaget bila ada biaya yang muncul atas keterlambatan pembayaran hutang ini. Sampai tanggal diterbitkannya tulisan ini, TVRI ternyata juga belum mampu membayar tagihan pertama ini, jangan lupa akan ada tagihan kedua dengan nilai sama yang akan muncul di tanggal 15 Maret 2020 dan 15 September 2020. Artinya ada tiga tagihan yang masing-sebesar USD 1,5 juta, total menjadi USD 4,5 juta yang harus dibayar di tahun 2020.

Dalam konperensi persnya, Helmy Yahya mengatakan bahwa hutang itu akan dibayar melalui mekanisme PNBP (Penghasilan Negara Bukan Pajak), tentu saja sebagai auditor senior yang didukung oleh 2 auditor senior asal BPKP di dalam tim Direksi, yaitu Direktur Keuangan, Isnan Rahmanto dan Direktur Umum, Tumpak Pasaribu, pernyataan ini pasti sudah dipikirkan masak-masak, bukan cuma asal ngomong.

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menanggapi pernyataan tersebut, apa benar PNBP bisa digunakan untuk membayar hutang? Bila memang dibolehkan, berapa besar dana dari PNBP yang akan dihasilkan TVRI di 2020 yang akan digunakan untuk membayar tagihan MOLA TV, bagaimana bila capaian PNBP 2020 tidak sesuai target yang direncanakan, bagaimana menutup lubang hutang yang telah terjadi, minta kenaikan anggaran lewat APBN?

Apa bedanya dengan kasus BPJS Kesehatan? Benar bahwa pemimpin harus berani mengambil resiko, namun apakah institusi yang dimodali secara langsung dari APBN dengan mayortias pegawai berstatus PNS mampu untuk mengambil resiko seperti ini. Siapa yang akan menanggung kerugian bila TVRI dinyatakan gagal bayar hutang, apakah Helmy Yahya sebagai pribadi, apakah Dewan Pengawas, atau Anggota Komisi 1 DPR RI yang sudah memilih Dewan Pengawas. Jangan-jangan TVRI berpotensi menjadi kisah serupa Jiwasraya dan Asabri, pengambilan resiko tanpa pengawasan. Bisa untung bisa juga buntung!

0/Post a Comment/Comments

Terima Kasih

Lebih baru Lebih lama