Inilah Ajaran Sesat Syech Siti Jenar Versi Wali Songo ?


Syekh Siti Jenar atau Syech Lemah Abang  memiliki nama asli Raden Abdul Jalil, Hasan Ali. Ia adalah seorang  sufi dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa, khususnya di Kabupaten Jepara yang cukup kontroversial di masanya.

Asal usul dan sebab kematian Syekh Siti Jenar tidak diketahui dengan pasti karena ada banyak versi mengenai dirinya. Demikian juga dengan  lokasi makam tempat, ia dimakamkan untuk terakhir kalinya, ada yang menyebutkan  di Jepara, dan ada yang bilang di Cirebon.

Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling dikenal yaitu Manunggaling Kawula Gusti (penjawaan dari Wahdatul wujud). Ajaran ini membuat dirinya dianggap sesat karena dianggap keliru dalam menafsirkan agama Islam. Sementara pengikutnya  menganggap, ia sebagai seorang yang  memperoleh hakikat ajaran Islam. Ajarannya terdapat dalam  Pupuh, yang berisi tentang  budi pekerti.

Ia mengembangkan ajaran hakikat dan ma’rifat, sementara wali songo masih mengajarkan Tauhid Sehingga dianggap mengancam  perkembangan Islam  di Jawa selepas runtuhnya Majapahit.

Perbedaan praktik sufi Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariat yang dilakukan oleh Walisongo, sedangkan syech Siti jenar bnyak kepenagruh oleh jara hindu jawa, karena ia sempat belajar tentang ajaran Jawa. Hal inilah yang menyebabkan Siti Jenar memilki banyak murid dan pengikut yang beberapa di antaranya cukup berpengaruh.

Menurut KH. Shahibul Faraji Ar-Rabbani, nama asli Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ‘Ali Al Husaini (masih memiliki garis keturunan Nabi Muhammad Saw) dan setelah dewasa mendapat gelar Syekh Abdul Jalil atau Raden Abdul Jalil. Pada saat berdakwah di Caruban (sebelah tenggara Cirebon), ia mendapat julukan lain yaitu Syekh Lemah Abang, Syaikh Lemah Brit. 

Julukan “Syekh” berasal dari bahasa arab شيخ adalah sebuah gelar bagi seorang ahli atau pemimpin atau tetua dalam lingkup muslim. Sedangkn “Siti” dalam bahasa jawa berarti tanah, namun ada yang berpendapat kata Siti berasal dari kata Sayyidi/Sidi (yang artinya Junjunganku), dan “Jenar” dalam bahasa Indonesia berarti merah, dalam bahasa Jawa berari Kuning Kemerahan. Namun ada pula yang berpendapat kata Jenar dari bahasa arab “Jinnar” yang ditafsirkan “ilmu yang dimilikinya selalu membara seperti api. Namun ada pula yang menghubungkan kata Jenar (dalam kehidupan masyarakat jawa, kata Jenar disebutkan untuk sebuah binatang Cacing dengan ukuran sangat besar), Atau kata "jenar" yang berarti cacing gara gara perubahan yang dilakukan siti jenar menjadi cacing, sehingga kata cacing diambil dari kata jenar.

Gelar atau julukan ini muncul karena kedudukannya sebagai seorang sunan yang waktu itu tinggal di Kadipaten Jepara Jawa Tengah.

Pohon Keluarga Syech Siti Jenar

Diyakini pula bahwa Siti Jenar masih keturunan Rasulullah Saw. Berikut adalah silsilah Syekh Siti Jenar yang bersambung seterusnya hingga Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW.

  1. Nabi Muhammad SAW, berputeri
  2. Sayidah Fatimah az-Zahra menikah dengan Ali bin Abi Thalib, berputera
  3. Imam Husain r.a, berputera
  4. Ali Zainal Abidin, berputera
  5. Muhammad al-Baqir, berputera
  6. Imam Ja’far ash-Shadiq, berputera
  7. Ali al-Uraidhi, berputera
  8. Muhammad al-Naqib, berputera
  9. Isa al-Rumi, berputera
  10. Ahmad al-Muhajir, berputera
  11. Ubaidillah, berputera
  12. Alawi, berputera
  13. Muhammad, berputera
  14. Alawi, berputera
  15. Ali Khali’ Qosam, berputera
  16. Muhammad Shahib Mirbath, berputera
  17. Sayid Alwi, berputera
  18. Sayid Abdul Malik, berputera
  19. Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan), berputera
  20. Sayid Abdul Kadir, berputera
  21. Maulana Isa, berputera
  22. Syekh Datuk Soleh, berputera
  23. Syekh Siti Jenar (Sayyid Hasan ‘Ali Al Husaini)

Manugaling Kawula Gusti

Ajaran nya yang menjadi polemik adalah   konsep hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, dan tempat berlakunya syariat tersebut. Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya kematian, justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi.

Dampak dari ajaran ini adalah membuat orang malas  berusaha, karena hidup hanya menunggu mati. Hal ini menjadikan manusia kurang produktif. Padahal saat itu, dibutuhkan orang-orang yang suka bekerja keras untuk membangun peradaban Islam yang disokong oleh kerajaan Demak. Oleh karena itu  Sunan Kali Jogo melihat ajaran Siti Jenar ini sangat berbahaya terhadap kemajuan dakwah Islam

Para pendukung Syekh Siti Jenar mengatakan, ia tidak pernah  anggap dirinya sebagai Tuhan. Ajaran ini bukan bercampurnya Dzat Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan sifat-sifat Tuhan yang memancar pada diri manusia ketika sudah melakukan proses wusul.

Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan sifat-sifat Tuhan dikala manusia sudah melakukan proses fana’ tersebut (Manunggaling Kawula Gusti). Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an ini yang menimbulkan polemik, yaitu bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan.

Latar Belakang Pendidikan

Naskah Negara Kretabhumi Sargha III Pupuh 77, menyebutkan bahwa Raden Abdul Jalil ketika dewasa pergi menuntut ilmu ke Persia dan tinggal di Baghdad selama 17 tahun. Ia berguru kepada mullah Syiah Muntadhar dan menguasai  ilmu pengetahuan agama. Sedangkan menurut kalangan penganut tarekat Akmaliyah, orang Syiah Muntadhar itu bernama Abdul Malik Al-Baghdadi dan kelak menjadi mertua Syekh Siti Jenar. Dikisahkan, selama menuntut ilmu di Baghdad, ia lebih banyak mendalami ilmu tasawuf sehingga Abdul Jalil sangat mendalam penguasaannya atas ilmu tersebut.

Ketertarikannya pada ilmu tasawuf membuatnya mendapat silsilah Tarekat Akmaliyah pada Syaikh Ahmad al Baghdadi yang jalur hingga kepada Abu Bakar as-Shiddiq ra. Selain menganut Tarekat Akmaliyah, Abdul Jalil juga menganut tarekat Syathariyah yang diperoleh dari saudara sepupunya Syekh Datuk Kahfi.

Perjalanan menguasai berbagai disiplin keilmuan  di atas fenomena pengetahuan intuitif diformulasikan oleh Syekh Siti Jenar  sedemikian rupa dengan ilmu filsafat dan manthiq (logika). Oleh karena itu Syekh Siti Jenar beranggapan bahwa pengetahuan makrifat yang bersifat irasional tidak harus dijabarkan dengan sistem isyarat dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara masuk akal.

Petualangan

Walaupun Syekh Siti Jenar memiliki andil dalam menyebarkan agama Islam pasca runtuhnya Majapahit oleh  Raden Patah, Raja Demak, namun  bukan bararti dia bebas dari hukuman, oleh para wali. Akibat ajaran kontroversialnya tentang Manunggaling Kawula Gusti yang dianggap sesat itulah Siti Jenar akhirnya harus berhadapan dengan hukum mati.

Para wali dan sejumlah tokoh Islam kala itu menggelar pertemuan di Istana Argapura, Giri (Gresik). Hadir saat itu diantaranya Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Ampel, Tan Go Wat alias Syekh Bentong, Pangeran Palembang, Panembahan Madura dan juga Syekh Siti Jenar. Saat itu masing-masing dari mereka itu menyampaikan pemahaman dan pengetahuan mereka tentang agama. Tetapi saat  Syekh Siti Jenar, menyampaikannya ajaranya justru membuat seluruh wali sontak tercengang. 

Siti Jenar :

“Menyembah Allah dengan bersujud beserta ruku’nya, pada dasarnya sama dengan Allah, baik yang menyembah maupun yang disembah. Dengan demikian, hambalah yang berkuasa dan yang menghukum pun hamba juga,”

Beberapa wali langsung meminta Syekh Siti Jenar untuk bertobat karena telah menyamakan dirinya dengan Tuhan. Namun Siti Jenar tetap pada pendiriannya dan bahkan ia secara tegas menjawab,

“Biar jauh tapi benar, sementara yang dekat belum tentu benar.”

Karena ucapannya itu, Sunan Giri  menghukum Syeh Siti Jenar agar ajaran yang dinilai sesat dan telah melanggar syariat itu tak tersebar. Di samping itu belum waktunya mengajarkan ilmu hakikat untuk orang-orang yang baru masuk Islam sehingga para Wali khawatir nantinya umat malah akan menjadi sesat.

Kemudian para wali mengadakan pertemuan kedua untuk membahas hukuman kepada Syekh Siti Jenar. Dalam kesempatan itu Siti Jenar malah semakin berani, saat ditanya Syekh Maulana dan  dengan lantang ia menjawab,

"Ya, Allah nama hamba, tidak ada Allah selain Siti Jenar, sirna Siti Jenar, maka Allah yang ada.”

Akhirnya Syekh Siti Jenar  dihukum mati. Tentang bagaimana ia dieksekusi tidak diketahui secara pasti, karena ada banyak versi tentang kematian nya.Ada yang menyebut Syekh Siti Jenar tewas di tangan Sunan Kalijaga dalam suatu duel pertarungan. Namun ada pula dalam beberapa literatur yang mengatakan jika hidup Siti Jenar berakhir dengan cara dipenggal kepala bersama tiga orang pengikutnya.

Pendapat lain nya  tmengungkapkan tentang ambisi Syekh Siti Jenar yang ingin menguasai Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Demak. Sehingga, dengan mempertimbangkan pemikirannya yang dinilai melenceng dari syariat Islam, ditambah kemungkinan kudeta yang dilakukan, akhirnya Siti Jenar pun ditangkap pasukan Kerajaan Cirebon dan Demak.

Perintah penangkapan dikeluarkan Sunan Gunung Jati yang memimpin Kerajaan Cirebon dan Wali Songo lainnya. Siti Jenar ditangkap di Cirebon Girang (sekarang Kecamatan Talun, Cirebon). Proses peradilan agung selanjutnya dilaksanakan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa (dekat Keraton Kasepuhan Cirebon). Dalam peradilan itu, Sunan Gunung Jati bertindak sebagai Hakim dan Sunan Kudus bertindak sebagai Jaksa. Meski demikian, Siti Jenar tetap pada pemikirannya. Dengan pertimbangan ajaran sesat serta ambisi atas kekuasaan, dia pun dijatuhi hukuman mati. Sanksi yang diberikan berupa penikaman keris ke tubuh Syekh Siti Jenar.

Namun dalam cerita wali ada pula yang menyebutkan jika tiga hari sepeninggal Siti Jenar, Sunan Giri melihat jasadnya masih utuh. Ia mendengar suara Syekh Siti Jenar memberinya salam kemudian menghilang. Menurut manuskrip Caruban Nagari karya Pangeran Wangsakerta yang ditulis pada 1970, walau dianggap sesat namun para pengikut Siti Jenar tetap menganggap Manunggaling Kawula Gusti tidak menyimpang. Menurut mereka, Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan.

Dalam ajaran Siti Jenar, Manunggaling Kawula Gusti bermakna di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan. Hal ini sesuai dengan ayat Al Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia.

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat : Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS Shad 71-72).

Hal inilah yang mengunadang polemik hingga saat ini, karena menyamakan ruh yang ditiupkan tuhan ke manusia sebagai bagian dari ruh tuhan bukan ciptaan tuhan. Hal inilah yang dianggap menyesatkan karena adanaya sinkretiisme agama.

**Tulisan ini adalah Tugas Mata kuliah Islamologi Di Jurusan Pendidikan Sejarah  IKIP Jakarta Tahun 1990, Terima kasih kepada Almarhum Prof. Sidi Ibrahim Dosen Islamologi


0/Post a Comment/Comments

Terima Kasih

Lebih baru Lebih lama