Gila..Utang BUMN Capai 874.1 Trilyun, Kebayar Ngak



 

Utang luar negeri (ULN) Badan Usaha Milik Negeri (BUMN) RI pada kuartal kedua tahun ini masih mencatatkan pertumbuhan yang signifikan meski ekonomi domestik tengah didera pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Di Juni 2020 total ULN BUMN Indonesia mencapai US$ 58,6 miliar (Rp 874,1 triliun) atau naik 22,9% (yoy) dibanding posisi Juni tahun lalu yang mencapai US$ 47,7 miliar. Kenaikan ULN BUMN RI ini bahkan lebih tinggi dari kenaikan ULN industrinya maupun total ULN swasta. 

Sementara bank-bank BUMN mencatatkan kenaikan ULN sebesar 6,6% (yoy) sementara di sektor perbankan sendiri total ULN mengalami penurunan 2,8% (yoy).

Lebih fantastis lagi, kenaikan ULN lembaga non-keuangan BUMN bahkan mencapai dobel digit yaitu sebesar 29,5% (yoy) ketika posisi ULN swasta non lembaga keuangan hanya naik 11,4% (yoy).

Dengan begitu posisi ULN BUMN Indonesia pada Juni 2020 naik 22,9% (yoy). Pada saat yang sama posisi ULN swasta naik 8,2% (yoy).

Tingginya ULN BUMN ini tentunya membuat kinerja keuangan korporasi menjadi sangat sensitif terhadap pergerakan atau volatilitas kurs nilai tukar. Lihat saja PLN misalnya yang 65% dari pinjamannya dalam bentuk valas, nilai kerugian akibat kurs yang dicatatkan pada kuartal pertama mencapai Rp 52 triliun akibat depresiasi rupiah.

Seperti diketahui bersama, pasar keuangan baik global maupun domestik digoyang isu pandemi global Covid-19. Outflow besar-besaran dari pasar keuangan domestik membuat rupiah tertekan. Kinerja rupiah pun terbilang buruk di kuartal pertama dengan mencatatkan depresiasi 17,44% di hadapan dolar AS.

Mengacu pada data BI, beberapa sektor dengan pangsa ULN terbesar, yakni mencapai 77,3% dari total ULN swasta, adalah sektor jasa keuangan & asuransi, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas & udara dingin (LGA), sektor pertambangan & penggalian, dan sektor industri pengolahan.

Korporasi dengan ULN tinggi pada sektor LGA terutama menggunakan jumlah ULN yang cukup besar sebagai sumber pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur strategis seperti pembangkit tenaga listrik, pengeboran dan pembuatan jaringan gas.

Sementara itu, bagi korporasi di sektor pertambangan, peningkatan ULN digunakan oleh korporasi besar untuk membiayai pembelian aset serta akuisisi tambang baru.

Industri-industri tersebut selain memiliki pangsa ULN yang besar juga mengalami tekanan yang hebat akibat pandemi Covid-19. Meski masih tumbuh 0,95% (yoy) hingga Juni 2020, konsumsi listrik untuk segmen industri dan komersil drop hingga 7% (yoy). 

Di sektor pertambangan sendiri, penurunan harga-harga komoditas terutama harga batu bara juga membuat perusahaan-perusahaan tambang mengalami penurunan kinerja keuangan baik dari sisi top line maupun bottom line.

Berdasarkan laporan Kajian Stabilitas Keuangan yang dirilis April lalu, volatilitas dan tren penurunan harga komoditas meningkatkan risiko kemampuan membayar korporasi terutama untuk sektor tambang dan juga pertanian.

Selain meningkatkan risiko nilai tukar, tekanan global juga meningkatkan risiko likuiditas korporasi dengan ULN tinggi. Dampak global lebih dirasakan korporasi yang memiliki ULN tinggi dengan kewajiban valas lebih besar dari aset valasnya (posisi Net Foreign Liabilities), serta tidak memiliki sumber pendapatan valas (berorientasi impor).

Berdasarkan hasil pemetaan BI terhadap nilai aset dan kewajiban valas dari 250 korporasi dengan ULN tertinggi didapatkan bahwa sebanyak 43 korporasi dengan pangsa ULN sebesar 22,7% memiliki neto kewajiban valas serta tidak memiliki sumber pendapatan valas.

Tekanan ekonomi global dan kondisi perekonomian domestik yang cenderung menurun tentunya bakal mengganggu kemampuan bayar korporasi pada kelompok ini.

"Namun demikian, dari korporasi yang memiliki neto kewajiban valas serta tidak memiliki pendapatan valas hanya sebagian kecil yang tidak memenuhi rasio lindung nilai (atau lindung nilai <25% dari eksposur valas 3 bulan) dan tidak memenuhi rasio likuiditas valasnya" tulis BI.

Sektor-sektor yang paling terdampak dari pembatasan mobilitas untuk menekan merebaknya pandemi Covid-19 adalah pariwisata, transportasi dan perhotelan. Namun seiring dengan makin merebaknya wabah, semua sektor pun terdampak.

Jika berkaca pada laporan keuangan kuartal pertama tahun ini, maka sektor perdagangan, properti hingga pertambangan membukukan kinerja keuangan yang mengecewakan.

Fokus pemerintah saat ini adalah penanganan wabah sehingga proyek-proyek strategis nasional seperti infrastruktur menjadi kurang mendapat fokus. Alhasil kinerja keuangan BUMN karya yang banyak menggarap proyek strategis tersebut terancam turun. Apalagi BUMN Karya terkenal dengan tingkat utang yang tinggi.

Saat wabah Covid-19 belum begitu merebak saja, kinerja keuangan duo emiten BUMN karya yakni PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT) sudah anjlok signifikan.

Realita pahit harus diterima oleh duo BUMN karya tersebut yang juga tingkat utangnya tergolong tinggi. Kinerja keuangan yang memburuk serta prospek ke depan yang terancam membuat lembaga pemeringkat utang global Moody's memangkas rating WIKA dan Fitch memangkas rating utang WSKT.

Moody's menurunkan rating WIKA dari Ba3 menjadi Ba2 dan menurunkan pandangankedepan perusahaan ini dari stabil menjadi negatif. Fitch Ratings memangkas peringkat surat utang jangka panjang emiten konstruksi BUMN, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dari sebelumnya A-(idn) menjadi BBB (idn).

Moody's tak hanya memangkas rating utang WIKA saja tetapi juga dua BUMN lain yaitu PT Jasa Marga Tbk (JSMR), PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II).

Moody's juga menurunkan rating Jasa Marga dari Baa2 menjadi Baa3 dan outlook perusahaan tetap negatif. Outlook negatif yang diberikan Moody's juga dikarenakan oleh resiko kredit yang terus menghantui Jasa Marga dampak dari merebaknya virus corona.

Moody's berekspektasi terjadinya kontraksi di tingkat lalu lintas terutama di tol milik Jasa Marga akan menurunkan tingkat arus kas JSMR pada tahun 2020. Hal ini sudah tampak dari pendapatan JSMR yang turun -45,3% (yoy) pada kuartal I-2020.

Tak ketinggalan Moody's juga menurunkan rating PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) dari Baa2 menjadi Baa3, akan tetapi menurut Moody's outlook perusahaan ini tetaplah stabil kedepanya.

Menurut Moody's sektor pelabuhan juga terkena efek kejut virus corona, dimana total volum kargo yang dikirim dan diterima turun karena tingkat perdagangan global juga turun akibat terkontraksinya kondisi makro ekonomi global.

Terlepas dari pemangkasan credit rating itu, tak bisa dipungkiri masalah kompleks memang membelit BUMN RI. Masalah utang juga dirasakan oleh emiten baja Tanah Air PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) yang pada akhirnya harus melakukan restrukturisasi utang terbesar di Indonesia dengan nilai US$ 2,2 miliar.

Beberapa BUMN lain yang juga mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajibannya seperti Perumnas yang sempat tak mampu memenuhi kewajibannya membayar MTN senilai Rp 200 miliar akhir April lalu.

Kemudian ada lagi perusahaan maskapai penerbangan Garuda Indonesia yang kesusahaan membayar SUKUK Global senilai US$ 500 juta mengingat hanya memiliki kas senilai US$ 299 juta hingga akhir tahun lalu.

Banyaknya BUMN yang terlilit utang serta ruang fiskal yang terbatas membuat pemerintah akan lebih selektif dalam memilih BUMN mana yang akan diselamatkan (bailout) ketika terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Faktor ini lah yang memicu Moody's memangkas rating beberapa BUMN.

Dalam lima tahun periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat, ambisi pembangunan infrastruktur yang masif dengan melibatkan BUMN banyak yang dibiayai dengan utang.

Jika mengacu pada neraca, tingkat net debt to EBITDA BUMN RI terus tumbuh. Pada 2019 saja posisinya sudah mencapai lebih dari 4x. Artinya leverage yang digunakan sudah tergolong sangat tinggi.

Jelas ini merupakan masalah yang sangat serius. Hal yang ditakutkan adalah ketika masalah likuiditas BUMN berubah menjadi masalah solvabilita.


Sumber CNBC Indonesia

0/Post a Comment/Comments

Terima Kasih

Lebih baru Lebih lama