Hampir
lima tahun pemerintahan Jokowi - JK, banyak hal yang harus dievaluasi. Yang terpenting
adalah kinerja ekonominya. Tentu sja yang paling banayk di kritik saat ini adalah
kementrian keuangan ketika di pimpin oleh Sri Mulyani, yang merupakan mentri keuangan
terbaik dunia. Lalu bagaimana kinerja Sri Mulyani di periode Jokowi - JK
sebagai menteri keuangan?
Jika kita ingin melakukan evaluasi tentang kinerja keuangan, maka yang Pertama kita bahas adalah penerimaan negara. Karena fungsi utama Kementerian Keuangan adalah mengumpulkan penerimaan, baik yang berupa pajak maupun non-pajak, dan menggunakan-nya seefektif mungkin untuk kesejahteraan Rakyat Indonesia.
Sri Mulyani menjadi menteri keuangan pada bulan Juli 2016, artinya dipertengahan tahun berjalan. Jadi yang kita bisa evaluasi adalah tahun anggaran 2017 dan 2018. Tahun 2015 dan 2016, saat Menteri Keuangan dipegang oleh Bambang Brodjonegoro, realisasi prosentase penerimaan Negara dari target yang ditetapkan, tercatat sebesar 85,6% (2015), dan 87,1% (2018).untuk prosentase realisasi belanja Negara dari target masing-masing sebesar 91,1% dan 89,5%. Sedangkan pada era Sri Mulyani terjadi peningkatan penerimaan negara,yaitu pada tahun 2017, 96%, dan tahun 2018, 102,6% dari target yang ditetapkan. Untuk prosentase realisasi belanja negara melonjak menjadi sebesar 94,1% (2017), dan 99,7% (2018). Jika kita melihat sekilas, Sri Mulyani begitu hebat, dalam mendongkrak penerimaan Negara. Namun jika dicermati lebih jauh, terlihat ada faktor Hoki yang dimiliki Sri Mulyani, Mengapa ?
Ternyata terdongkraknya penerimaan negara karena derasnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Hal ini bisa dilihat dari neraca pada pos PNBP, yang didominasi oleh bagi hasil yang didapatkan pemerintah dari pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh badan usaha. Termyata lonjakan realisasi PNBP tahun 2018, mencapai 148,6% dari target. Meningkatnya realisasi PNBP, dikarenakan naiknya harga komoditas andalan Indonesia yakni minyak mentah dan batu bara. Jika tak ada lonjakan PNBP, bisa dipastikan realisasi penerimaan dan belanja negara tidak akan sebagus itu itu.Oleh karena itu pemerintah, harus tetap mencari cara untuk mendongkrak penerimaan pajak disaat harga komoditas jatuh. Jadi Pemerintah punya pekerjaan rumah yang tak ringan, yaitu meningkatkan rasio penerimaan pajak terhadap PDB.
Karena Rasio penerimaan pajak terhadap PDB atau yang kita kenal dengan tax ratio merosot terus sejak 2015. Tax ratio pernah mencapai 13,7% pada tahun 2014, Tapi turun terus dalam 3 tahun terakhir. Tax ratio kita anjlok ke 11,6% pada tahun 2015, kemudian kembali turun menjadi 10,8% pada tahun 2016. Pada era Sri Mulyani, tax ratio kita kembali turun ke angka 10,7%. Baru tahun 2018, tax ratio naik 0,8 Persen di level 11,5%.Kalau kita bandingkan dengan negara-negara di kawasan regional maupun global, tax ratio Indonesia cukup rendah, bahkan diakui oleh Sri Mulyani. ketemunya Angka 11,5 % merupakan tax ratio dalam pengertia luas. Jika dihitung dalam artian sempit yaitu hanya memasukkan penerimaan yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak, tax ratio pada tahun 2018 hanya 10,3% saja.
Penerimaan pajak tak pernah mencapai target, yang mendorong pemerintah berutang untuk membiayai defisit anggaran. Sebenarnya berutang bukanlah hal yang dilarang asal dikelola dengan ke hati-hatian. Ketakutan Sri mulyani terhadap penambahan utang untuk investasi, terlihat dengan melakukan pemotongan anggaran. Padahal saat ini likuiditas meningkat di pasar global. Keputusan uang ketat dengan pemotongan, malah akan menyebabkan stagflasi, seperti yang terjadi di AS tahun 1929-1939, terjadinya resesi di AS, yang melahirkan hitungan PDB oleh Kuznet.(lihat tulisan saya di Blog ini tentang Stagflasi). Hal inilah yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
Dalam
APBN/APBNP yang disusun oleh Kementerian Keuangan setiap tahunnya, terdapat
asumsi dasar makroeconomy, yang salah
satunya adalah asumsi pertumbuhan ekonomi. Anggaran belanja pemerintah seefektif
mungkin dapat mendorong tercapai target pertumbuhan ekonomi. Namun
Kenyataannya, realisasi pertumbuhan ekonomi selalu jauh dari target pemerintah,
stag diangka 5 %. 2015. Dalam APBNP ditargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7%. Kenyataannya, hanya tumbuh sebesar
4,79%. Tahun 2016, dalam APBNP, target pertumbuhan 5,2%. Namun, realisasinya hanya sebesar 5,02%.
APBNP 2017, target pertumbuhan 5,2%. Kenyataannya, 5,07%.Dalam APBN 2018,
pertumbuhan ekonomi dipatok 5,4%, namun
kenyataanya, hanyalah 5,17%.
Yang menyedihkan adalah prediksi APBN 2019 oleh sekuritas asing, bahwa Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi tumbuh dibawah 5 %. Padahal target pemerintah tumbuh di angka 5,3%. Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank memproyeksikan lebih kecil lagi, yaitu hanya 4,8%. Indikasi melemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2019 bisa terbaca dari pertumbuhan ekonomi Indonesia periode kuartal-I 2019 diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) di angka 5,07% secara tahunan jauh lebih rendah dari target sebesar 5,19% YoY.
Hal
diatas membauat Sri Mulyani menyindir Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry
Warjiyo yang tidak memangkas suku bunga acuan. Perry Warjiyo sendiri
terlihat masih ragu untuk memangkas suku bunga acuan. Karena masihmempertahankan
7-Day Reverse Repo Rate di level 6%.
BI sendiri, melihat Neraca Pembayaran Indonesia
(NPI) sangat penting, untuk dicermati dengan baik, ditengah perang dagang AS vs
Cina. Mengingat komponen NPI yang utama adalah, Current Account Deficit/CAD, yang bisa menjadi
masalah jika BI berniat memangkas tingkat bunga acuan. Karena CAD Indonesia
cukup besar, dan berpotensi dana yang masuk ke pasar saham dan obligasi akan kabur
jika suku bunga acuan dipangkas. Dan
akibatnay rupiah akan melemah, yang berakibat juga uatng bertambah, pengangguran
naik, dan seterusmyaJika dibandingkan dengan negara-negara Asia
lainnya, CAD Indonesia memang cukup dalam.
Oleh
karena itu untuk mengakali masalah fundamental
rupiah, pemangkasan suku bunga acuan bisa dikombinasikan dengan kebijakan fiscal,
supaya hot money yang
masuk, tak mudah dibawa kabur. Sri
Mulyani membutuhkan kebijakan fiskal yang berani, dengan memangkas tarif pajak
penghasilan (PPh) korporasi yang saat ini berada di level 25%. Rencananya,
tarif PPH korporasi yang baru nantinya adalah sebesar 20%. Sayangnya gerak Sri Mulyani
sudah terlambat, karena pemangkasan tarif PPh korporasi tak akan bisa berlaku
pada tahun 2019. Karena masih RUU KUP masih dalam pembahasan di DPR.Padahal
wacana pemangkasan tarif PPh korporasi dari 25 persen menjadi 18 persen, sudah lama dilontarkan oleh pemerintah, agar Indonesia
bisa lebih kompetitif dari Singapura. Namun tertahan di kementrian keuangan
bukan di DPR, sehingga tak pernah ada eksekusinya.Memang memberikan
insentif fiskal melalui pemangkasan tarif PPh korporasi bukan tanpa risiko. karena
penerimaan negara terancam turun. Dan deficit membengkak namun ekonomi jadi
menggeliat..
Karena pertumbuhan ekonomi Indonesia tak cukup di angka 5%. Kita perlu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi guna memberantas pengangguran.Hal ini dikarenakan pengangguran Indonesia merupakan yang tertinggi kedua, jika dibandingkan negara-negara tetangga. Oleh karena itu penting adanya prinsip kehati-hatian dalam mengambil langkah fiscal. agar kondusif bagi para pemilik modal untuk mengucurkan dananya. Namun, Sri Mulyani tidak berani keluar dari zona aman, agar ekonomi menggeliat.
Kemudiab saya ditanya, Siapa orang yang pantas duduk di posisi Menkeu ? Jawaban saya adalah Mantan OJK Muliaman Hadad. Karena dia berhasil mengundanng investor masuk ketika Jokowi membutuhkan Dana Pembangunan,.