Fajroel Bantah Punya Buzzer, Tapi Denny Siregar Ngaku Buzzer Jokowi*
Banyak pihak mendesak Pemerintah agar Menertibkan para buzzer Istana di media sosial yang Dibiayai oleh APBN , jika Pemerintah ingin serius dikritik.
Beredar Foto Jokowi Bareng Abu Janda CS - Buzzer Rupiah Yang Dibiayai Istana.
Menanggapi itu, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menegaskan pemerintah tidak menggunakan buzzer.
*Pernyataan Jokowi Soal minta Dikritik Keras Hanya Pepesan Kosong , Jadi ‘Proyek’ Baru Buzzer Rupiah Yang Menghabiskan Uang Fakyat*
“Pemerintah tidak punya buzzer,” ujar Fadjroel kepada wartawan, Kamis (11/2).
Fadjroel bilang, dia juga banyak mendapat serangan buzzer di media sosial. Namun dia menanggapinya dengan hanya memblokir akun-akun buzzer.
“Mendsos saya juga 24 jam diserang buzzer, jadi pakai fitur blok saja ya beres,” katanya.
Fadjroel juga menuturkan, yang digunakan pemerintah adalah influencer untuk penanganan Covid-19 dan juga vaksinasi di tanah air. Influencer tersebut juga tidak digaji oleh pemerintah.
Sementara itu, apa yang dikatakan Fadjroel, bertolak belakang dengan pengakuan pegiat media sosial Denny Siregar. Pria yang paling rewel membela Presiden Jokowi ini, mengaku sebagai buzzer mendukung Jokowi. Dia mengumpamakan mereka seperti lebah.
“Pendukung Jokowi itu memang seperti lebah. Tenang ketika tidak diganggu dan tampak tidak kelihatan. Tapi ketika ada yang mau merusak sarang, bzzzzzz… Bang jago aja ampun-ampun Wajahnya bentol-bentol,” tulis Denny Siregar di akun twitternya.
BERITA 2
Denny bilang dirinya buzzer yang muncul ketika ada yang ingin ganggu pemerintah.
“Buzz itu dengung. Buzzer itu pendengung. Mirip lebah. Bersama, bersatu, mempertahankan sarang. Menyerang ketika diperlukan. Dan para buzzer, seperti gua, baru keluar ketika para kadal ingin menguasai dunia. Siapa lagi yang mau melawan keganasan kadal? Para domba ?” katanya.
BERITA 3
Jejak Digital Fadjroel Kritik SBY Dengan Nada Fitnah , PD : Tapi Tidak Dimasalahkan Aparat Saat Itu*
Era Presiden SBY Jauh lebih Beradab bila Dibanding Era Rezim Jokowi yang Sangat Ganas Menangkap dan Kriminalisasi Ulama , Activis dan Semua Orang yang memberikan Kritik ke Rezim Penguasa
*Evaluasi Lima dan Satu Tahun Rezim Diktator Jokowi-Maruf , Gde Siriana : Indonesia Jalan Mundur Ke Era Yang Jauh Lebih Biadab Dibanding Orba*
Evaluasi 6 Tahun Rezim Diktator Jokowi Tidak Berjalan Maju , tetapi Justru Berjalan Mundur yang Bahkan Jauh Lebih Biadab bila dibanding Era Orba
BERITA 4
Nasib Aktivis KAMI , Pelajar , Mahasiswa , Buruh Jimly: Ditahan Saja Tak Pantas Apalagi Diborgol
BERITA 5
Beredar Foto Jokowi Bareng Abu Janda CS - Buzzer Rupiah Yang Dibiayai Istana.
Pernyataan Joko Widodo yang meminta masyarakat untuk aktif memberi kritik justru dinilai memberi ‘angin’ bagi para buzzer bayaran alias buzzeRp yang Dibiayai Istana
BERITA 6
Pernyataan Jokowi Soal minta Dikritik Keras Hanya Pepesan Kosong , Jadi ‘Proyek’ Baru Buzzer Rupiah Yang Menghabiskan Uang Rakyat.
Permintaan Jokowi untuk dikritik tersebut seolah membuka jalan bagi para buzzeRp untuk mendapat ‘proyek’ baru.
*Maraknya Kriminalisasi Ulama di Era Rezim Jokowi , Menyiksa Ulama: Sejak Dulu Hingga Kini Terus Terjadi*
BERITA 7
Satyo Purwanto: Pernyataan Presiden Soal Kritik Hanya Pepesan Kosong, Jadi 'Proyek' Baru Buzzer
“Buzzer berbayar perusak bangsa, mereka adalah ‘dosa’ rezim Jokowi. Pernyataan Presiden yang menganjurkan kritik hanya akan jadi pepesan kosong, karena sudah pasti jadi ‘proyek’ baru bagi para buzzer berbayar,” ujar Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia’s Democratic Policy, Satyo Purwanto, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (12/1).
Semestinya, kritik yang akan diberikan rakyat kepada pemerintah berguna untuk mempertajam program, tujuan, dan target pemerintah terkait pelayanan kepada masyarakat.
Namun, lanjut Satya Purwanto, hal tersebut justru akan dimanfaatkan oleh buzzer yang tidak peduli benar atau salah sebuah pernyataan kritik untuk pemerintah, untuk mendapat ‘proyek’ baru.
Sehingga, ditegaskan Satya Purwanto, buzzer berbayar sudah sangat merusak tatanan pemerintahan. Membuat hukum tumpul ke atas dan tajam kepada masyarakat kritis.
“Jokowi mesti segera mengembalikan wibawa pemerintah dengan melakukan penegakan hukum bagi para buzzer perusak bangsa,” pungkas Satyo.
BERITA 8
Ciri Munafik : Pura Pura Minta Dikritik - Tangkap dan Bunuh Kemudian , Tanda Rezim Jokowi Sudah Mulai Ditinggalkan Rakyat
Ada pertanda serius di balik ajakan Presiden Joko Widodo meminta masyarakat memberi kritikan kepada pemerintah.
BERITA 9
Setelah Ulama & Ummatnya Didzalimi Tiba Tiba Jokowi Mengemis Wakaf Ke Rakyat .... Rocky : Gak Akan Didengar, Kecuali IB Habib Rizieq yang Ngomong
Menurut pandangan Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (Infus), Gde Siriana Yusuf, ajakan tersebut kontras dengan fakta di lapangan bahwa begitu membludaknya kritikan masyarakat terhadap segala kebijakan pemerintah.
BERITA 11
Maraknya Kriminalisasi Ulama di Era Rezim Jokowi , Menyiksa Ulama: Sejak Dulu Hingga Kini Terus Terjadi
“Agak aneh jika Jokowi selama ini tidak tahu begitu banyak kritik yang sudah beredar di media sosial. Apalagi Jokowi punya akun Twitter sendiri, kecuali akunnya tidak dipegang sendiri seperti Donald Trump,” kata Gde Siriana kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (11/2).
Setidaknya, ada dua alasan yang mendasari presiden mengajak rakyatnya untuk memberi kritikan kepada pemerintah. Pertama, kata dia, ada kemungkinan orang di lingkaran istana menutupi maraknya ketidakpuasan dan kritikan rakyat kepada pemerintah.
“Baik itu di kementerian, elite parpol, atau staf khususnya. Bisa karena mereka ABS (asal bos senang) atau karena dianggap percuma juga disampaikan karena tidak akan ditanggapi serius oleh Jokowi,” jelasnya.
“Kedua, rakyat sudah meninggalkan Jokowi. Dalam negara demokrasi modern, seharusnya kritik itu bisa datang baik dari pendukung/pemilih atau yang kontra di Pilpres,” sambungnya.
Di sisi lain, ia melihat ada kecenderungan rakyat yang mulai enggan untuk menyampaikan kritikan. Hal itu lantaran adanya pendengung ataubuzzer yang kerap menyerang para pengkritik.
“Ketika semua kritik dipersekusi buzzer penguasa, bahkan sampai dikriminalisasi dengan UU ITE, maka ini membuat rakyat takut, ‘masa bodoh’, ‘cuek’, dan lelah,” urai Gde Siriana.
Kondisi ini kian diperburuk dengan fungsi DPR RI yang tidak berjalan efektif sebagai pengontrol dan pengkritik kebijakan pemerintah.
“Seharusnya DPR aktif mengkritisi dengan menyuarakan kepentingan rakyat. Bukan membawa kepentingan segelintir elite partai dengan menjadi bagian dari carut-marutnya pemerintahan ini,” demikian Gde Siriana.
.
BERITA 12
FPI Difitnah dan Dituduh Dukung ISIS , Aktivis Katolik: Polri, Berhentilah dijadikan Alat Pemukul Rezim Penguasa.
“Dari mana pula dia dapat data bahwa itu buat ibadah? Itu harusnya beliau nggak ngerti bahwa wakaf itu adalah filosofi teori ekonomi di dalam muslim, islam. Itu memang dimaksudkan sebagai ibadah di dalam aspek sosial ekonomi. Jadi memisahkan antara ibadah dengan ekonomi juga itu kacau, presiden nggak belajar tentang yang disebut pikiran komprehensif di dalam ajaran islam,” ujar Rocky Gerung, seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari kanal YouTube miliknya, Jum’at (29/1).
Menurutnya, dalam islam, ekonomi dan ibadah, bahkan dengan politik adalah satu kesatuan.
Lebih lanjut, Rocky menyangsikan keputusan pemerintah yang membuat gerakan wakaf untuk membantu mengatasi kesenjangan sosial ini.
Ia menuturkan, dalam pengantar ilmu ekonomi, tidak ada teori yang menyebutkan bahwa suatu negara bisa mengatur pemasukkan uang dengan menggunakan wakaf dari masyarakat.
“Kita nggak tahu, di mana ada teori bahwa negara itu berupaya untuk mengatur supply uang dengan meminta (pada) masyarakat melalui fasilitas wakaf? Kan kita tahu bahwa supply uang itu diatur oleh Bank Indonesia, bukan oleh institusi wakaf,” tuturnya.
Bukan Tugas Sri Mulyani
Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa ada kekacauan di dalam koordinasi makro ekonomi Indonesia, sehingga muncul ide untuk membuat program wakaf untuk kepentingan lain, seperti pembangunan infrastruktur.
Meskipun demikian, Rocky Gerung menilai bahwa jika usulan soal wakaf ini disuarakan oleh tokoh agama berpengaruh, seperti Habib Rizieq, mungkin masyarakat akan mendengar usul tersebut.
“Tapi kalau (yang) ngomong Sandiaga, Sri Mulyani, itu ya nggak didengar, karena itu bukan tugas mereka. Tugas dari Sri Mulyani adalah benahi bagian fiskal, tugas dari Bank Indonesia adalah ngatur monetary-nya, dan itu yang orang tunggu sekarang,” ujarnya.
Melihat fenomena dibuatnya program Gerakan Nasional Wakaf Uang ini, Rocky menilai bahwa pemerintah sedang mencari jalan lain untuk mendapatkan dana lantaran menemui kemacetan dalam kebijakan fiskal, serta jalan buntu dalam monetary policy lantaran pencetakan uang ditakutkan akan memicu inflasi.
“Lalu cari jalan lain yang namanya wakaf. Ini absurd, satu dunia akan ketawain itu. Padahal orang pasti tahu ‘ngapain mesti ambil wakaf gue yang 2.000 triliun per tahun, kan di kantong presiden ada 11.000 triliun kan? Itu aja yang dipakai untuk hidupin demand dan supply,” sindir pengamat politik tersebut.
Program-program semacam inilah yang menurut Rocky Gerung akan membuat masyarakat berpikir bahwa negara sudah bangkrut, sehingga harus ‘mengemis’ pada rakyat.
BERITA 13
Maraknya Kriminalisasi Ulama di Era Rezim Jokowi , Menyiksa Ulama: Sejak Dulu Hingga Kini Terus Terjadi*
Ustadz Maaher At Thuwailibi, atau Soni Eranata, meninggal dunia di Rutan Mabes Polri, 8 Februari 2021. Beliau sakit, buang air sudah pakai pampers dan dikabarkan disiksa polisi. Pernah dirawat di RS Polri, namun belum sembuh sudah dikembalikan ke tahanan.
BERITA 14
Pengacara Cium Keanehan Kematian Ustaz Maaher, Minta Polisi Terbuka
Ustadz Maaher terjerat kasus penghinaan terhadap ulama karismatik NU Habib Luthfi bin Yahya. Kasus beliau berawal dari cuitannya di Twitter menggunakan akun bernama @ustadzmaaher_. Dia kemudian dilaporkan ke polisi. Berikut cuitan Ustadz Maaher. "Iya tambah cantik pake Jilbab.. Kayak Kyai nya Banser ini ya.."
Penyidik Bareskrim memutuskan untuk menahan Ustadz Maaher, Desember 2020. Pada awal penahanan, Ustadz Maaher dijebloskan ke sel tahanan Rutan Salemba Cabang Bareskrim Mabes Polri, Jakarta. Kita menyesalkan, kenapa Ustadz Lutfi bin Yahya tidak bermusyawarah dengan Ustadz Maheer untuk menyelesaikan kasus mereka. Tidak perlu ada laporan ke polisi. Itu contoh buruk.
Kasus penyiksaan terhadap ulama sebetulnya bukan hal baru. Buya Hamka, contohnya. Beliau ditahan selama 2 tahun 4 bulan (1964-1966) tanpa diadili di pengadilan. Selama di dalam tahanan, penyidik menyiksa beliau. Beliau ditelanjangi, disundut rokok. Bahkan hampir disetrum agar buya mengakui perbuatan yang tidak pernah dilakukannya.
Buya Hamka dituding terlibat dalam upaya pembunuhan Soekarno dan Menteri Agama saat itu, Syaifuddin Zuhri. Namanya dihancurkan, perekonomiannya dimiskinkan, kariernya dimatikan dan buku-bukunya dilarang beredar sejak itu.
Buya juga tidak setuju dengan pemikiran Soekarno soal Nasakom (nasionalisme, agama (Islam), dan komunisme. “Bagi saya, agama Islam tak dapat dicampur dengan komunis. Tidak mungkin,” kata Buya Hamka.
Sebagai sastrawan, Buya Hamka dituduh menjiplak karya orang lain dalam novelnya _Tenggelamnya Kapal van der Wijck_. Fitnah dan serangan terhadap beliau dilancarkan oleh mereka yang tergabung dalam Lekra (PKI), yang dipimpin oleh Pramudya Ananta Toer, melalui serangkaian artikel di koran _Bintang Timur_.
Dalam dinamika sejarah, kriminalisasi ulama bukanlah hal baru. Ada banyak ulama yang demi kebenaran, berani mengkritik penguasa. Mereka ini ulama-ulama lurus yang tidak silau dengan iming-iming penguasa dan kepentingan duniawi. Yang benar akan dikatakan benar; dan yang salah akan dikatakan salah.
Misalnya, ulama besar Imam Syafi`i. Beliau dituduh sebagai pendukung Syi`ah oleh pendengkinya, Mutharrif bin Mâzin. Bahkan dia memprovokasi Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menangkap Imam Syafi`i dan orang-orang alawiyin. Imam Syafi`i dan orang-orang alawiyin lalu ditangkap. Beliau dirantai dengan besi bersama orang alawiyin dari Yaman hingga Raqqah, kediaman Harun Ar-Rasyid. Bayangkan, betapa sengsaranya dirantai dengan besi dan diarak sejauh sekitar 2.000 km.
Ibnu Taimiyah pernah dipenjara di Kairo lalu diasingkan ke Alexandria karena perbedaan pendapat dengan ulama lain yang sezaman. Setelah bebas, beliau berangkat ke Syam dan mengajar di Damaskus. Namun di sana Ibnu Taimiyah kembali berbeda pendapat dalam hal persoalan sumpah dengan talak. Karena masalah itu, beliau kembali dipenjara selama lima bulan.
Sang Imam sempat bebas, tetapi setelah itu disekap lagi di penjara Damaskus bersama muridnya yang setia, Ibnu Qayyim Al Jauziyah. Penguasa merampas kitab, juga kertas dan tinta yang dipakai untuk menulis buku. Bahkan penguasa juga melarang Ibnu Taimiyah membaca.
Kita tentunya akrab dengan kisah perempuan yang masuk neraka lantaran menyiksa seekor kucing. Bayangkan, bagaimana dengan mereka yang menyiksa ulamâ. Mengolok-olok (saja) dan memandang rendah ahli ilmu (ulama) dan orang shalih, termasuk sifat orang kafir dan salah satu cabang kemunafikan.
Para ulama memiliki kedudukan yang mulia dan agung di sisi Allah. Allah telah meninggikan derajat mereka dan mengistimewakan mereka dari yang lainnya.
Kita wajib menghormati dan menjunjung tinggi kehormatan para ulama. Karena mereka merupakan pewaris Nabi, penerus misi dakwah yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. *(nh)
BERITA 15
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H. Advokat, Tim Penasihat Hukum Gus Nur
KNews.id- Ketua Setara Institute Hendardi menuding bahwa kriminalisasi ulama hanyalah isu politik semata. Dia menyebut ada mesin politik yang bekerja dalam konteks politik, di tahun politik. Menurutnya, ada kepentingan politik dan kemudian memainkan isu ini di arena politik demi kepentingan politik. Hendardi berpendapat bahwa siapa pun yang terjerat persoalan hukum, maka yang bersangkutan, apa pun statusnya, memang tetap harus diproses secara hukum, bahkan termasuk seorang ulama. (20/12).
Sejalan dengan Hendardi, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko membantah pemerintah melakukan kriminalisasi terhadap ulama. Hal itu disampaikan, menyusul pernyataan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab yang bersedia membuka pintu rekonsiliasi, asalkan pemerintah menghentikan tindakan semena-mena yang di antaranya mengkriminalisasi ulama, mengkriminalisasi aktivis dan lain sebagainya. (12/11).
Agar istilah kriminalisasi ini objektif dan agar semua pihak bisa menilai dengan parameter yang sama, penulis akan mencoba menjelaskan definisi dan batasannya. Dengan demikian, pemerintah tak lagi membantah dan sebaliknya bisa berbesar hati menerima kritikan dari masyarakat dan mengubah kebijakannya. Kriminalisasi adalah satu tindakan yang diambil oleh aparat penegak hukum yang memproses suatu peristiwa yang sebenarnya bukan peristiwa pidana, dan/atau suatu peristiwa yang disangka pidana padahal tidak terpenuhi unsur-unsurnya, dan/atau tindakan membedakan proses tindak pidana pada satu kasus terhadap kasus lainnya, pada satu kesatuan kebijakan penegakan hukum.
Definisi ini penulis buat lebih utuh dan menyeluruh, sekaligus membatasi suatu tindakan yang memang murni pidana yang menjadi kewenangan aparat penegak hukum untuk menindaknya. Kriminalisasi biasanya lebih kental nuansa politisnya ketimbang unsur hukumnya. Hukum hanyalah sarana saja, sementara proses penindakan lebih bermotif politik. Kriminalisasi ulama maknanya yang disasar sebagai target kriminalisasi adalah orang atau tokoh dengan status sebagai ulama, pendakwah, penceramah, pengajar pondok pesantren, atau berbagai kriteria dan atribut kegiatan yang dinisbatkan kepada ulama.
Pada kasus Ust Abdul Shomad (UAS) misalnya, Organisasi masyarakat Horas Bangso Batak pernah melaporkan Ustaz Abdul Somad ke Polda Metro Jaya. Ust Abdul Somad dilaporkan ke polisi terkait pernyataannya dalam sesi tanya jawab ceramah tentang salib yang viral di media sosial yang dianggap melakukan penodaan agama sebagimana dimaksud dalam pasal 156 KUHP.
Laporan itu diterima oleh pihak kepolisian dengan nomor laporan LP/5087/VIII/2019/PMJ/Dit. Reskrimsus tertanggal 19 Agustus 2019. Pada faktanya, Laporan itu tidak berlanjut karena apa yang dijelaskan UAS adalah penjelasan agama dalam pandangan fiqh agama Islam dan dilakukan di forum masjid dengan jamaah Umat Islam. Andai saja umat Islam diam, tidak protes, perkara itu tentu akan dilanjutkan.
Padahal, pada perkara yang dilaporkan elemen Umat Islam misalnya saat Hasto Kristiyanto dan Rieke Diah Pitaloka dilaporkan karena diduga melanggar hukum terkait ingin mengganti Pancasila menjadi Ekasila dalam RUU HIP, kepolisian menolak laporannya. Pelaporan itu didaftarkan oleh Rijal Kobar pada Rabu (1/7). Namun Rijal terpaksa balik badan, karena laporannya ditolak Polda Metro Jaya. Pada kasus UAS, kenapa Polisi tetap menerima laporan Horas Bangso Batak ?
Bukankah itu bukan tindak pidana ? Kenapa keluar nomor LP ? Kalau itu pidana, kenapa kasus tidak jalan ? Yang rajih, UAS mengalami kriminalisasi setelah UAS kembali eksis berceramah, setelah sebelumnya lama absen ceramah pasca Pilpres dan meneruskan studinya. UAS juga dianggap pro Prabowo, dimana posisinya itu dianggap membahayakan posisi politik Jokowi ketika itu. Bukan hanya kasus Hasto Kristiyanto dan Rieke Diah Pitaloka.
Di banyak kasus, laporan dari pihak kontra rezim ditolak. Misalnya, laporan Kuasa Hukum Ali Baharsyah yang melaporkan adanya tindak pidana kekerasan terhadap saksi saat penjemputan paksa oleh Ditsiber Polri. Laporan ini ditolak Bareskrim. Adapula, sejumlah laporan kubu kontra rezim yang hingga hari ini nasibnya tidak jelas. Laporan terhadap Ade Armando, Victor Laiskodat, Abu Janda, Deni Siregar, dll. Untuk Deni Siregar, bahkan hanya diberi undangan klarifikasi dan itupun tidak datang pada kasus menghina dan fitnah terhadap santri Garut.
Tapi jika yang dilaporkan kubu kontra rezim, sebut saja Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, Ali Baharsyah dan Gus Nur, begitu cepat diproses. Bahkan, Gus Nur langsung ditangkap di hari ke-3 sejak laporan dibuat.
Apa yang dialami Gus Nur jelas sebuah kriminalisasi. Apa yang disampaikan Gus Nur yang mengkritisi NU, substansinya secara umum tak beda dengan kritik yang disampaikan Habib Taufiq Pasuruan atau Gus Najih Rembang. Gus Nur langsung ditangkap, tanpa pemanggilan. Gus Nur langsung ditahan, bahkan ditambah masa penahanan untuk 40 hari kedepan, setelah melampaui penahanan 20 hari sebelumnya.
Gus Nur telah mengajukan permohonan penangguhan penahanan, tapi tidak digubris Polri. Sementara, pada saat yang sama Penyidik Bareskrim Mabes Polri tidak melakukan penahanan terhadap MD, dan dua tersangka lain dalam kasus kebakaran Gedung Utama Kejaksaan Agung, yakni JM dan IS setelah menjalani pemeriksaan pada Kamis (19/11), dengan alasan ada jaminan dari istrinya. Perlakuan beda yang tidak adil ini juga bisa diklasifikasikan sebagai kriminalisasi.
Gus Nur dijamin oleh banyak tokoh dan ulama, keluarga tokoh nasional hingga anggota DPR RI. Kenapa tidak ditangguhkan ? Padahal, kasus Gus Nur jauh lebih ringan ketimbang pembakaran gedung Kejaksaan Agung. Keadaan ini tidak terjadi kecuali di rezim Jokowi. Pada era SBY, tak ada ulama dan aktivis ditangkapi dan dipenjara seperti saat ini. Jadi, sebaiknya Hendardi dan Moeldoko tak perlu membantah adanya kriminalisasi terhadap Ulama.
Kasus Gus Nur, UAS, Ust Alfian Tanjung, Ust Heru Elyasa, Ust Ali Baharsyah, Despianor Wardhana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan aktivis kontra rezim lainnya jelas menjadi bukti adanya kriminalisasi. Sementara kasus Joko Tjandra, Jaksa Pinangki, Irjen Pol Napoleon Bonaparte dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo adalah murni kasus hukum. Karenanya, kami tak pernah menyebut Kasus Joko Tjandra dkk ini sebagai kriminalisasi, dan bahkan kami mendukung penegakan hukum yang ditempuh aparat penegak hukum.
Terakhir, jika ingin rezim Jokowi tak disebut melakukan kriminalisasi terhadap Ulama dan aktivis, segera bebaskan Gus Nur, Habib Bahar Bin Smith, Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Ali Baharsyah dan semua tokoh yang dipenjara karena berseberangan dengan rezim Jokowi. Tindakan ini lebih dipercaya publik ketimbang pernyataan yang dikeluarkan Hendardi dan Moeldoko