INILAH YANG TERJADI KETIKA ISTRIKU NGAMBEK...Ketika Istriku Berhenti Bicara, Aku Tak Sanggup Hening..




Kepalaku berdenyut, ia terus mengoceh dengan kalimat tak bertitik. Entah kapan istriku akan lelah dan berhenti.

"Kamu tau nggak ini sudah jam berapa?! Apa nggak bisa ngabarin dulu kalau bakal pulang larut?! Apa susahnya nelpon atau chat, Pa?!" suaraTuty meninggi. 

Aku melirik sekilas ke jam dinding yang berada di dapur, pukul setengah dua dini hari. Aku lupa waktu, saat kumpul dengan teman sekantor, di rumah salah satu rekan kerja yang berulang tahun hari ini, bahkan tak mendengar gawaiku berbunyi saat Tuty menelpon berulang kali karena hiruk pikuk pesta.

"Udahlah, Ma ... Papa 'kan udah pulang sekarang." Aku berusaha melerai. 

"Segampang itu ya, Pa? Kamu mikirin nggak yang nungguin kamu di rumah perasaannya kayak apa?!" Tuty semakin murka.

"Sudahlah! Aku bosen, kamu bisanya marah-marah aja, setiap hari ngoceh aja kerjaannya, masalah kecil jadi besar!!!" balasku ikut terbawa emosi.

Kedua pundaknya berguncang diiringi isak tangis. Tuty menatapku penuh amarah. "Ooh, selama ini kerjaanku cuma ngoceh aja? Jadi kamu ingin aku diam? Baik, mulai detik ini aku diam!" Tuty meninggalkanku sendirian di dapur, masuk ke dalam kamar anak-anak. Hening ....


Pagi nya Tuty menepati ucapannya, sejak pagi tak kudengar ocehannya. Biasanya ia akan membangunkan anak-anak dengan sedikit teriakan, lalu menyuruh mereka mandi dan sarapan sebelum mengantar keluarku rumah. Aku sedikit lega, mudah-mudahan istriku tak marah-marah lagi.

Sorenya, seperti biasa, Tuty akan menyambutku pulang kerja dengan segelas teh hangat di teras depan, tapi hari ini tak kudengar sapaan yang rutin ia lontarkan padaku.

"Papa mau makan malam apa?"

"Kerjaan hari ini lancar?"

atau "Tadi makan siangnya lauk apa?"

Tuty hanya diam, tapi tetap mengerjakan tugasnya seperti biasa.

"Uhuuk ... uhuuk ..." batukku kumat, ketika mengerjakan tugas kantor di ruang kerja malam itu. 

Aku menoleh ke segala arah mencari sosok istriku, biasanya ia akan menghampiriku dan mulai bawel. 

"Tuh 'kan batuk, Papa kalau dibilangin suka gitu, nggak pernah nurut, rokoknya dikurangi dong, Pa. Kalau batuknya sampai parah gimana? bla ... bla ... blaaa ..." seperti itu, tapi malam ini hanya segelas kopi yang menemani. Sepi ....

Hari kedua ...
Pagi ini, kulihat kemeja sudah rapi disetrika dan diletakkan di atas tempat tidur seperti biasa. Tuty masih diam seperti kemarin. Harusnya ia akan memaksaku menghabiskan sarapan dan teh madu dengan perasan lemon yang ia yakini dapat menyembuhkan batuk yang kerap kambuh saat malam tiba, tentunya dengan ocehan yang khas, namun pagi ini Tuty hanya diam. Ketika aku dengan sengaja menyisakan sarapan yang disajikan, ia pun tetap diam.

"Istriku emang nggak bawel, ia bahkan tak punya waktu mengurus rumah dan anak-anak karena sibuk dengan teman-temannya. Istriku malah sangat lihai menghabiskan gajiku." Bobi menggerutu ketika kami berada di kantin kantor saat jam istirahat. 

Beberapa rekan tertawa keras. Entah mengapa, mereka membahas masalah para istri di saat seperti ini.

"Kalian nggak tau aja, istri kalau masih ngomel-ngomel, itu artinya dia masih sayang dan peduli." Ifa menimpali seraya membela gendernya.

Aku hanya mendengar dan malas masuk ke dalam obrolan. 

Rasanya aku mulai tidak nyaman dengan diamnya Tuty. Memasuki hari ketiga istriku diam, nyatanya berdampak juga kepada anak-anak.

Raihan berbisik padaku. "Pa, tadi aku mecahin gelas, tapi Mama nggak marah lho. Mama cuma diam dan membersihkan kepingan gelas hingga jarinya berdarah. Kasian Mama ya, Pa?" matanya memerah hampir menangis.

"Nggak enak kalau Mama diam terus," lanjut raihan dengan getir.

Mungkin benar adanya ucapan Ifa siang tadi. Malam itu Tuty murka, karena peduli dan khawatir menungguku sepanjang malam di rumah yang tak memberi kabar. Harusnya aku menelpon sebentar, tapi karena lupa yang dibalut keegoisan diri, aku malah merasa tak bersalah

Sekarang aku malah merindukan ocehan Tuty yang khas, begitupun anak-anak. Dan anehnya, sejak Tuty diam, seisi rumah terasa senyap dan hampa. Anak-anak tak lagi berisik seperti biasa. Mereka malah tak perlu diteriaki lagi saat dibangunkan atau disuruh mandi. Semuanya terasa berbeda ketika Tuty hanya berkata seperlunya, lalu kembali diam. 

Aku merasa bersalah dengan kalimat yang membuatnya terisak malam itu, ''... kamu setiap hari ngoceh aja kerjaannya ..." Padahal aku tau, bahkan seisi dunia tau, betapa Tuty menghabiskan waktunya demi mengurus rumah tangga. Sejak pagi hingga malam, berkutat menjadi sosok istri dan ibu yang juga merangkap sebagai pembantu, guru, kadang malah seperti tukang bangunan saat aku tak berada di rumah. Semua ia kerjakan seorang diri.

"Ma ..." Aku mencoba memanggilnya dengan lembut, saat Tuty meletakkan segelas wedang jahe di atas meja kerjaku malam itu.

Tuty menatapku tanpa ekspresi, tak menyangka marahnya kali ini awet. Aku menelan ludah, ragu memulai kalimat berikutnya. Oleh karena tak pandai berkata dan merayu, dua puluh tiga tahun lebih   pernikahan kami, tak sebaris puisi yang kutulis untuk Tuty. Kadang malah melewatkan tanggal ulang tahunnya, sementara Tuty mengingat secara detail segala tanggal penting dan kebiasaanku. Aku mulai merasa menyesal dan kasihan padanya.

"Ma, Papa minta maaf ya. Mama boleh kok marah-marah lagi, Papa siap mendengarkan ..." pintaku spontan. Tuty masih menatap tanpa ekspresi.

"Ma, please, jangan diam terus dong, Papa bisa gila kalau Mama diam terus." Aku memohon dengan lebih memelas sambil meraih tangannya ke genggamanku. Tuty melepaskan tangannya dariku dan berlalu, kembali ke kamar kami.

"Ayesha ...! Raihan ...! Rajesh ! ayo  Banguun sholat subuh ...!"
Seketika anak-anak dengan bersemangat berebutan keluar kamar dan bergegas ke kamar mandi, setelah mendengar teriakan mamanya yang hilang beberapa hari ini.

tepat jam 7 pagi, istriku teriak lagi " Ayesha ! Raihan ! Rajesh !
Ato kelaur amandi kalaia akn aharus kulaih on line jam 8 pagi ini, jafi mandi dulu habis itu sarapan !!
Anak anak selesai mandi semua berkumpul di meja makan
"Sarapannya dihabiskan, Ingat kalian kuliah on line pagi ini, jangan lupa," lanjut Tuty nyerocos terus dari  subuh.

Aku tersenyum lega, hampir sama leganya dengan tawa anak-anak pagi ini.

"Mama sudah jadi Mama lagi," bisik Raihan dengan polos.

Aku menatap anak-anakku. "Istriku sudah kembali." Ucapku dalam hati.

Note:
Cerita ini aku dedikasikan kepada seluruh istri dan mama yang tak kenal lelah. 

Aku cinta padamu,

0/Post a Comment/Comments

Terima Kasih

Lebih baru Lebih lama