OLEH : Muhammad Rajesh Adam
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas
Indonesia
Sejak
awal 1990-an, Amin Rais telah menggunakan penggambaran Suharto sebagai otoriter dan zholim dengan narasi hegemonik dari masa
lalu orde baru yang harus dilawan dari dugaan penindasan di
Indonesia selama invasi belanda dan pemerintahan kolonial VOC. Dalam beberapa
tahun terakhir,
Tuntutan
reformasi telah mengakar sebagai bagian
dari perlawanan terhadap Rezim. Pada tahun 1997 Partai Golkar memperoleh
kendali atas pemerintah: Namun pasca jatuh Suharto, tampaknya PDIP tidak
hanya mampu merebut negara tetapi juga mengkonsolidasikan jurang pemisah antara
Islam dan Kaum Nasionalis Sekuler, yang dibantu oleh partai partai seperti pKB
dan PAN Waktu itu
Dalam
konteks televisi satelit saat itu dan percepatan peredaran teks-teks budaya
transnasional, serial-serial di Tv
Swasta diberi kesempatan hidup baru ditahun 1990 an. Dan ketika TV swasta saat
it masih bebas bersaing dengan tvRI ketika itu, Dan menyebabkan TVRI tengeelam.
Kemudian muncullah sinetron sinetron cinta dan juga Opera sabun. Pada saat
situasi politik sedang berubah, muncullah tayangan Gerhana dalam upayanya
(berhasil) untuk bersaing dengan sineron tersanjung waktu itu, tentu saja
dengan loyalitas pemirsa yang kuat waktu itu.
Hal
tersebut menyebabkan berggeser Sinetron percintaan ke arah sintron heroic, Yang
memang sangat dibutuhkan masyarakat
ketika itu. Tampaknya lebih tepat
untuk menelaah bagaimana Sintron Gerhana yang mungkin telah dipersiapkan Dengan
matang oleh, penggagas yang merupakan Penulis dan Sutradanya langsung, yang merupakan Mantan Aktivis dan
Ketua Senat Universitas Negri Jakarta. Landasan
untuk membuat “tele mitologi” Dalam situasi dibutuhkan nya “Ratu adil” dan
kepahlawanan untuk melawan kedzoliman. Dan memunculkan serial lainya waktu itu
seperti Saras OO8 dan panji manusia millennium, dan lain sebabagainya.
Meskipun
(atau mungkin karena) kehadiran program televisi Gerhana, adalah telemitologi
yang menerima peringkat rating yang sangat tinggi, dalam beberapa minggu
peluncuran perdananya, padahal saat itu sintron tersanjung sedang berada di
peringkat pertama, secara rating dan sharenya.
Sama
halnya dengan tayangan ramayana di india saat itu, dimana mendapat tempat di
masyarakatnya yang melahirkan kefanatikan agama. Meskipun beberapa sarjana
berpendapat bahwa, jauh dari menjadi tidak relevan, hegemoni konstruksi
nasionalis Hindu budaya India telah diperkuat dan diperluas untuk mengakomodasi
wacana transnasional konsumerisme dan kemajuan (lihat, misalnya, Rajagopal
1999; Sunder Rajan 1993; Tharu dan Niranjana 1996; dan Mankekar 1999).
Di
New Delhi, ditemukan bahwa pada saat yang sama mereka diselingi oleh keinginan
transnasional konsumerisme dan kosmopolitanisme, beberapa penonton kelas
menengah dan bawah Hindu mengungkapkan kecemasan bahwa program televisi impor
akan “mencemari” budaya India. Mereka menegaskan bahwa, sekarang lebih dari
sebelumnya, mereka menghargai serial berdasarkan epos Hindu, yang mereka yakini
akan memberikan “pengingat” dan “pelajaran” penting tentang kejayaan peradaban
Hindu kuno. Beberapa penonton kelas menengah dan bawah Hindu mengungkapkan
kecemasan bahwa program televisi impor akan “mencemari” budaya India. Mereka
menegaskan bahwa, sekarang lebih dari sebelumnya, mereka menghargai serial
berdasarkan epos Hindu, yang mereka yakini akan memberikan “pengingat” dan
“pelajaran” penting tentang kejayaan peradaban Hindu kuno.
Berbeda
dengan di Indonesia Cerita Religi di mulai Dari situasi dan kondisi ekonomi
yang semaput di 2004. Sehingga butuh kejaiban dalam kehidupan, akhirnya
ssutradara dan penggagas Gerhana mampu menciptakan Tokoh Tele Legenda Baru
dengan Premis : anak yang soleh dan selalu beruntung dengan keajaibnya, yaitu
Si Entong Abunawas Dari Betawi, Dan Akhirnya melahirkan sinetron hIdayah Dengan
Azabnya.
Saat itu beberapa penonton kelas menengah dan
bawah Sedangkan mengungkapkan kecemasan bahwa program televisi impor seperti
telenovela dan sinetron korea akan
“mencemari” budaya Indonesia. Sehingga mereka menghargai serial berdasarkan
Islam, yang mereka yakini akan memberikan “pengingat” dan “pelajaran” penting
tentang kejayaan peradaban Islam, munculnya Sinetron Islam KTP, dari anak
Bengkel Sastra Pamulang yang merupakan LSM yang didirikan Oleh Helmi Adam,
Naijan lengkong, dan Zaenal Radar.
Tujuan
saya dalam esai ini adalah untuk mengkaji bagaimana Sebuah Sinetron Gerhana telah
berpartisipasi dalam rekonfigurasi bangsa, komunitas, dan budaya yang tumpang
tindih dengan dan memperkuat nasionalisme. Dengan demikian, saya berharap dapat
menunjukkan kegunaan penelitian etnografi di media massa. Analisis antropologis
yang menyatukan tanggapan pemirsa terhadap Gerhana dengan mengkaji strategi
representasionalnya memungkinkan kita menelusuri faktor kompleks yang mendasari
popularitas serial tersebut.
Pendekatan
ini menganggap serius kesenangan yang diperoleh pemirsa darinya dan, pada saat
yang sama, membantu memperumit dan mempolitisasi pemahaman kita tentang
"yang populer." Jadi, meskipun serial tersebut memang ditonton oleh
pemirsa dari komunitas yang berbeda,
alasan mereka menontonnya dan kesenangan yang mereka peroleh darinya sama
sekali tidak homogen. Hal Itu populer di kalangan pemirsa berbagai kelas karena
berisi pelajaran moral penting yang akan membimbing mereka dalam kehidupan dan
hubungan sehari-hari mereka; bagi yang lain, ikonisitas yang familiar dari
gambar serial ini memungkinkan bentuk perlawanan yang sangat kuat.
Namun,
seperti yang dicontohkan oleh Gerhana, beberapa penonton islam jawa adalah
penonton setia Gerhana karena penggambarannya tentang politik keluarga dan
hubungan perkawinan selaras dengan kesulitan yang mereka hadapi dalam kehidupan
mereka sendiri. Pemirsa non-islam jawa lainnya menganggap cerita itu “menghibur”,
jika agak aneh. Terakhir, ucapan Sopia dan lela, dua wanita betawi yang
menegaskan bahwa ikonisitas betawi yang akrab dari gambar serial ini seperti
MASTUR yang sangat kuat.
Namun,
seperti yang dicontohkan oleh GERHANA, beberapa penonton non-Islam jawa adalah
penonton setia sineron Gerhana karena penggambarannya tentang politik keluarga
dan hubungan perkawinan selaras dengan kesulitan yang mereka hadapi dalam
kehidupan mereka sendiri. Pemirsa non-Islam jawa lainnya seperti orang menado menganggap
cerita itu “menghibur”.
SEDANGKAN
mereka menolak untuk menonton gerhana, lebih karena pada implikasi eksklusivitas dari beberapa
narasi populer, sehingga semakin mempersoalkan asumsi "yang populer"
sebagai monolitik.
Pada saat momen-momen
si poltak raja minyak dari medan, ada yang menganggap penceritaan gerhana telah digunakan untuk
menjelek-jelekkan budaya Lain, sama halnya dengan sintron Ramayana yang disangkakan
oleh Pollock 1993. Namun, tampaknya akan
bermasalah untuk mendekontekstualisasikan cerita-cerita tersebut dari konteks
kesukuan dengan tokoh antagonis dan protagonisnya.
Sebuah
etnografi konjungtural Gerhana memungkinkan kita untuk menempatkannya dalam
formasi diskursif yang lebih luas dari sekedar reformasi, karenaa pada saat yang
sama dibutuhkan gagasan tentang kebangsaan, identitas, dan kepemilikan menjadi
semakin eksklusif. Akhirnya, analisis antropologis bidang intertekstual di mana
Sinetron Gerhana diterima melatarbelakangi partisipasi teks-teks yang dimediasi
massa lalu, untuk menyelaraskan kembali komunitas dan bangsa, menjadi penting. Secara
sadar dan tidak sadar membawa budaya ke
pusat konflik identitas dan kepemilikan di dunia modern.
Hal
inilah yang menjadikan sinetron gerhana menjadi pendobrak awal gagasan
reformasi di dunia pertelevisian Indonesia, mengubah sineton opera sabun dan
percintaan menjadi lebih kearah ratu adil dan lebh heroic. Dari situlah
munculnya sinetron bergenre religi
seperti si entong dan hidayah. Lalu bagaimanakah trend saat ini dan yang akan datang,
melihat kondisi masyarakat saat ini ? Bocorin ngak ya…?