Serial Perang Dagang AS Vs Cina : Nasib Rupiah Antara Perang Dagang dan Melemahnya Minyak Dunia.


Oleh : Drs. Helmi Adam S.Sos., M.M., MPd.

Pada April akhir bulan  delegasi AS menggelar dialog dagang  dengan China di Beijing. Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin, memimpin rombongan dari AS, sedangkan  delegasi China dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He. pertemuan menghadirkan aura positif bagi pasar keuangan dunia, bahkan gosip semakin kuat yang mengatakan AS dan China akan meneken kesepakatan dagang secepatnya.

Tapi malang tak bisa ditolak, optimisme dunia kemudian sirna, dan kenyataannya justru terbalik 180 derajat. Presiden AS Donald Trump malah merencanakan untuk menaikkan bea masuk atas import produk dari China senilai US$ 200 miliar, dari 10% menjadi 25% pada hari Jumat tanggal 10 mei 2019. Bahkan yang membuat Cina kelabakan adalah produk impor asal China senilai US$ 325 miliar yang bebas bea pun akan masuk  dibebankan bea masuk senilai 25%. Hal ini terungkap dalam cuitan trump di twiiternya :

Selama 10 bulan terakhir, China membayar bea masuk 25% untuk importasi produk-produk high-tech senilai US$ 50 miliar dan 10% untuk produk-produk lain senilai US$ 200 miliar. Pembayaran ini sedikit banyak berperan dalam kinclongnya data ekonomi kita. Bea masuk senilai 10% akan naik menjadi 25% pada Jumat. Sementara US$ 325 miliar importasi produk-produk China belum kena bea masuk, tetapi dalam waktu dekat akan dikenakan 25%...."

Ancaman Trump melalui cuitanya membuat China  mempertimbangkan untuk membatalkan dialog dagang dengan AS pada pekan lalu di Washington. Bahkan Wall Street Journal melaporkan bahwa China disebut terkejut dengan ancaman Trump. Tapi usaha dari Lighthizer untuk tetap mengadakan dialog telah di konfirmasi oleh delegasi China yang menyatakan akan tetap hadir di Washington dalam rangka  menggelar dialog dagang pada tanggal 9-10 Mei 2019.Tentu saja ini mengudang kegembiaraan dan optimsime kembali bagi masyarakat dunia. Apalagi delegasi China mengatakan bahwa Liu He akan ikut dalam rombongan yang mengunjungi AS.

Tapi sayangnya berita positif tersebut tidak mampu membangkitkan kinerja pasar keuangan Asia. Dan akhirnya pada hari Jumat, AS  menaikan bea masuk terhadap produk impor asal China senilai US$ 200 miliar menjadi 25%.
Kementerian Perdagangan China, snagat marah dan  mengatakan  pihaknya akan melakukan kebijakan balasan, walaupun tak menjelaskan kebijakan balasan kebijakan balasan seperti apa ?, yang akan dilakukan Cina.

Tensi semakin panas antara AS dan Cina membuat ada kekhawatiran masyarakat dunia bahwa kesepakatan dagang tak bisa disepakati hal ini harus di cermati oleh pelaku pasar hari ini tentang kemungkinan akan ada aksi ambil untung dan kemudian menjual lagi sehingga terjadi vortalitas yang tinggi. Hal ini dikarenakan ada dua sebab :

Eksternal

Perkembangan terkait perang dagang AS-China. Meskipun Trump mengatakan bahwa negosiasi dagang dengan China akan berlanjut, akan tetapi Munhcin mengatakan bahwa hingga saat ini tidak ada negosiasi dagang dengan Cina.

Karena pada kenyataannya Trump sudah memerintahkan Lighthizer untuk mulai mengenakan bea masuk senilai 25% bagi seluruh produk impor asal China senilai US$ 325 miliar. Pihak Beijing  tak tinggal diam. Perdana mentri Liu He mengatakan kepada reporter asal China bahwa pihaknya secara tegas menolak kenaikan bea masuk yang dilakukan AS dan pihaknya tak punya pilihan lain selain membalas.

Sebenarnya ada tiga perbedaaan  mendasar antara AS dan Cina dalam perundingan dagangnya yaitu :

Pertama adalah pengenaan bea masuk karena pihak Cina berpendapat bahwa jika kedua belah pihak ingin meneken kesepakatan, maka seluruh bea masuk harus dihapuskan.

Kedua adalah masalah volume pembelian barang-barang AS oleh China,

Ketiga adalah  bahasa yang akan digunakan dalam teks kesepakatan dagang kedua Negara, trump ingin hanya menggunakan teks bahasa Inggris-Amerika. Sementara cina bersikukuh menggunakan huruf Kanji.

Hal inilah yang menyebabkan investor tak memiliki pilihan lain, selain mengalihkan asetnya ke instrumen safe haven. Dan Ini bukan kabar baik bagi saham, obligasi dan rupiah kita.

Internal

Respons pelaku pasar atas rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Bank Indonesia (BI) mengumumkan bahwa NPI membukukan surplus senilai US$ 2,4 miliar pada 3 bulan pertama tahun ini. Namun sayangnya, transaksi berjalan yang merupakan salah satu indikator dari hitungan NPI, membukukan defisit senilai US$ 7 miliar pada Kuartal pertama, tahun ini atau setara dengan 2,6% dari PDB kita. Jika dibandingkan defisit pada kuartal-IV 2018 yang sebesar 3,6% dari PDB, memang nampaknay turun, tetapi jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu kuartal-I 2018 yang  senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB, ternyata makin membengkak. Artinya defisit kuartal pertama saja sudah lebih tinggi, maka ada potensi bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) untuk keseluruhan tahun 2019 akan lebih tinggi. Hal ini menyebabkan prospek rupiah menjadi suram. Semuanya dikarena rupiah bergantung pada transaksi berjalan sebagai elemen  yang sangat penting, yang menggambarkan pasokan devisa tetap. 

Lalu  bagaimana dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah ? Tentu hal ini berbeda karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money. Oleh karena itu wajar jika Sepanjang pekan lalu, rupiah mengalami kelesuan akibat dari  investor asing yang melepas kepemilikannya atas saham-saham dalam negeri. Dalam catatan BEJ, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 3,04 triliun di pasar saham Indonesia..

Namun ada kabar positif yang bisa menolong kinerja rupiah. yaitu harga minyak WTI pengiriman bulan Juni melemah 0,45% ke level US$ 61,38/barel, sementara brent pengiriman bulan Juli turun 0,25% ke level US$ 70,44/barel.
Defisit perdagangan migas yang menjadi faktor  membebani transaksi berjalan,selama ini bisa dietekan dnegan melemahnay aharga migas, dna ini membuat rupiah bisa menguat jika kita mampu menekan CAD (current account deficit).

Semoga kita bisa keluar dari pergulatan ekonomi dunia yang kurang menguntungkan dan mampu memanfaatkan dengan baik peluang sekecil apapun.

Penulis Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Ekonomi Universitas Borobudur Jakarta
.

0/Post a Comment/Comments

Terima Kasih

Lebih baru Lebih lama