Ilmu ekonomi makro mengenal tiga kebijakan fiskal, yaitu: (1) kontraktif, (2) ekspansif, dan (3) berimbang.
(1) Kontraktif yaitu kebijakan fiskal dimana pengeluaran untuk pembangunan lebih kecil dari pendapatan sehingga terjadi surplus.
(2) Ekpansif yaitu kebijakan fiskal dimana pengeluaran untuk pembangunan lebih besar dari pendapatan sehingga terjadi defisit yang dibiayai oleh utang.
(3) Berimbang yaitu Kebijakan fiskal dimana pengeluaran untuk pembangunan sama atau berimbang dengan pendapatannya.
Ketiga kebijakan fiskal tersebut diajukan pemerintah ke dalam APBN kemudian di sepakati di parlemen, maka menjadi APBN yang bersifat kontraktif,atau ekspansif ataupun berimbang.
Pada masa Orde Baru, pemerintahan Suharto menggunakan APBN berimbang, dan mengenalkan istilah tabungan pemerintah. Seluruh komponen pendapatan dan pengeluaran rutin termasuk di dalamnya adalah cicilan pokok dan bunga utang, dihitung dengan cermat dalam satu Neraca. Pengeluaran rutin yang tidak mendesak dikeluarkan dalam pos pengeluaran itu sendiri, hal ini agar tercipta tabungan pemerintah untuk biaya pembangunan. Semakin banyak tabungan pemerintah, maka semakin besar ekspansi untuk pembangunan. Sedangkan apabila ada pembangunan yang mendesak tetapi tidak mampu dibiayai dari tabungan, maka pemerintah mencari utang baru untuk pembangunan. Maksudnya pengendalian dan pengelolaan utang dilakukan secara cermat dan kredibel.
Dengan melakukan Kebijakan Fiskal berimbang, pemerintah mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi hingga 8 %. Sehingga mampu menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mengurangi kesenjangan. Yang paling penting adalah dapat mengendalikan utang sesuai dengan kemampuan pemerintah membayar. Sehingga terciptak kemandirian. Jadi dalam kebijakan fiskal berimbang Pengeluaran rutin termasuk pembayaran cicilan pokok dan bunga harus dibiayai dari pendapatan bukan dari utang, sehingga tidak membebani APBN dan rakyat dimasa depan.
Berbeda saat Reformasi tahun 2000, Pemerintah menggunakan kebijakan fiskal ekpansif pada APBN. Hal ini digunakan oleh pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi pascakrisis 1998 melalui ekspansi pengeluaran pemerintah lebih besar dari pendapatannya yang dibiayai oleh utang. Sebenarnya APBN ekspansif secara historis awalnya digunakan oleh Keynes untuk mengentaskan dunia dari resesi ekonomi yang besar pada dekade 1930-an.
Keynes mengandalkan sisi permintaan (demand side economic). Dia berpendapat bahwa untuk keluar dari resesi ekonomi, maka perlu didorong permintaan terutama pengeluaran konsumsi masyarakat melalui peningkatan pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah. Teori Keynes ini, mampu mengentaskan dunia dari resesi ekonomi saat itu. Resep ini digunakan Habibie untuk mengatasi paska krisis 1998, sheingga dollar bisa kembali berada dikisaran Rp. 6,000.-
Pada masa pemerintahan SBY melanjutkan penggunaan kebijkkan fiskal ekpansif, untungnya SBY berhasil meningkatkan pertumbuhan di atas 5% dengan warisan utang sekitar Rp 2600 T. Pada masa pmerintahan Jokowi kmebali menggunakan kebijakan fiska pada APBN lebih ekspansif lagi, Namun sayangnya tidak menghasilkan pertumbuhan seperti yang diharapkan. Mungkin masih ingat dengan video pak jokowi yang bilang ekonomi akan meroket ?.
Pertumbuhan ekonomi selama hamper 5 tahun terakhir tidak mencapai target, hanya berkutat sekitar 5% sementara utang melonjak dari Rp 2600 T menjadi Rp 5000 T lebih. Hal ini disebabkan ekspansi ekonomi melalui APBN defisit tidak mampu mendorong pengeluaran konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga melambat selama hampir 5 tahun terakhir.
Pemberian Alokasi yang besar pada pembangunan infrastruktur, BPJS, kartu sehat, kartu pintar, dan bantuan sosial lainnya ternyata tidak mampu mendorong pengeluaran konsumsi masyarakat secara signifikan, sehingga pertumbuhan ekonomi tidak mencapai target. Padahal penerimaan negara naik namun tidak bisa menciptakan surplus. Dampaknya utang melonjak naik hanya untuk membiayai defisit dan membayar cicilan pokok utang yang jatuh tempo.
Perbedaan dalam APBN berimbang dengan APBN ekspansif adalah ; dalam APBN ekspansif tidak dikenal istilah tabungan pemerintah. Karena tabungan pemerintah digunakan untuk pengendalian pengeluaran dan pengendalian utang. Untuk mengendalikan utang, APBN ekspansif mengenal yang namanya keseimbangan primer (KP) yaitu pendapatan dikurangi pengeluaran tanpa cicilan bunga utang. Jadi Cicilan pokok tidak dimasukkan sebagai pengeluaran rutin akan tetapi dimasukkan dalam neraca pembiayaan dalam rangka pengendalian cash flow.
Jika KP surplus sebesar cicilan bunga, maka pemerintah hanya akan membayar cicilan bunga tapi tidak membayar cicilan pokok. Dan Jika KP surplus sebesar defisit APBN, maka pemerintah tidak perlu mencari utang baru untuk membiayai cicilan bunga dan ekspansi ekonomi, karena bisa ditutupi oleh surplusnya. Tapi bukan berarti pemerintah telah membayar cicilan pokoknya. cicilan pokok kan dibayar jika pemerintah surplus besar. Akibatnya kita punya cicilan pokok yang dibayar oleh rezim berikutnya, atau malah rezim akan mengalami ketergantungan dengan investornya terus menerus, akerna cicilan pokok tidak dibayarkan.
Sebagai contoh kita ambil dari fakta APBN 2016. Berdasarkan data utang tahun 2016 dari Kementerian Keuangan, maka total kewajiban pemerintah pada 2016 sebesar Rp 713.8 T.
Kewajiban tersebut terdiri dari penarikan utang baru yang berasal dari :
Kewajiban tersebut terdiri dari penarikan utang baru yang berasal dari :
(1) penerbitan SBN baru Rp 611.4 T,
(2) penarikan pinjaman luar negeri Rp 73 T,
(3) penarikan utang dalam negeri Rp 3,7 T
(4) Penarikan non utang Rp 25.7 T.
Kewajiban pemerintah digunakan untuk:
(1) pembiayaan defisit sebesar Rp 296.7 T (sudah termasuk untuk Pembayaran bunga utang sebesar Rp 182.8 T),
(2) pembayaran cicilan pokok utang sebesar Rp 316.5 T,
(3) pembayaran non utang Rp 100.5 T.
Dari komposisi kewajiban utang diatas yang sebesar Rp 713.8 T yang merupakan penarikan utang baru tersebut, yang digunakan untuk ekspansi ekonomi sebesar Rp 113.9 T (Rp 296.7 T - Rp 182.8 T), sedangkan sisanya sebesar Rp 600 T digunakan untuk membayar cicilan pokok utang, cicilan bunga dan kewajiban non utang (Rp 316.5 T + Rp 182.8 T + Rp 100.5 T). artinya bahwa utang untuk membiayai infrastruktur hanya ilusi, kenyataanya utang untuk membayar utang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri mengakui kondisi APBN tidak sehat. Sebagian besar penarikan utang baru digunakan untuk membayar pokok utang yang jatuh tempo. Dan Apabila ditelisik lebih lanjut postur APBN kita, ternyata hanya cicilan bunga utang yang dimasukkan ke dalam pos pengeluaran, sedangkan cicilan pokok dan kewajiban non utang lainnya tidak dimasukkan dalam neraca, sehingga cicilan pokok utang bukan dibayar dari penerimaan negara pada tahun berjalan tapi cicilan pokok utang tersebutlah yang dibayar dengan menarik utang baru.
Jika kita Cermati struktur utang dimasukkan ke dalam neraca terpisah dari APBN yang digunakan untuk mengelola cash flow. Karena APBN dirancang Defisit melalui pembiayaan utang dengan format neraca sperti ini, maka pemerintah tidak akan pernah membayar cicilan pokok utang selama belum tercipta surplus APBN yang besar. Akibatnya, utang susah untuk dikendalikan, dan tanpa disadari sudah mencapai diatas Rp 5.000 T hamper 5 tahun terakhir.
Pertanyaanya, sampai kapan kita mempertahankan kebijakan fiscal APBN ekspansif ? Kebijakakan ini akan menciptakan ketergantungan, tidak sesuai dengan nawacita yang menciptakan kemandirian bangsa…
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Ekonomi Universitas Borobudur Jakarta.