Oleh Helmi Adam
Selama lebih dari dua abad, ada dua pandangan yang berlawanan tentang kapitalisme. Satu menekankan kebajikannya,efisiensi dengan harga konsumen, produsen, dan mengalokasikan sumber daya. Sedangkan yang lain menyoroti kekurangan sistem pasar, dan terutama masalah pengangguran , modal dan tenaga kerja. Penganut kelompok pertama biasanya memperlakukan pengangguran sebagai penyimpangan sementara mereka percaya bahwa kekuatan pasar akan memunculkan invisible handsjika dibiarkan sendiri. The New Classical Economistmelangkah lebih jauh lagi, mereka menginterpretasi tingkat pekerjaan sebagai respon rasional terhadap perubahan yang dirasakan dalam harga relatif : sebagai contoh pekerja pada tahun 1932, memiliki lebih banyak waktu luang karena upah relatif rendah. Mereka menyamakan modal yang menganggur dengan kapasitas cadangan modal untuk pengamanan, ketika benar-benar dibutuhkan.
Model Klasik berkembang popularitasnya sebelum Depresi Besar 1930. Hal ini menggambarkan ekonomi sebagai arus-bebas, dengan harga dan upah bebas menyesuaikan diri dengan naik turunnya ekonomi dari waktu ke waktu (Barro, 1983). Dengan kata lain, model ekonomi klasik mencerminkan pendulum yang berfluktuasi sehingga ketika waktunya tepat, upah dan harga cepat naik, dan ketika waktunya tidak tepat, upah dan harga bebas menyesuaikan ke bawah. Hal ini berarti menganggap ekonomi pada kerangka ideal, yang berarti bahwa setiap orang yang ingin bekerja, mereka bekerja dan semua sumber daya sepenuhnya digunakan untuk kapasitas mereka (Blanchard, 2011). Ekonom klasik percaya bahwa ekonomi adalah mengoreksi diri dan menyesuaikan diri, yang berarti bahwa ketika resesi terjadi, tidak perlu bantuan dari siapa pun. Disinilah Bulog harusnya tidak ada, dan tidak dibutuhkan menurut ekonomi kalsik.
Model kedua disebut Model Keynesian. Model ini muncul sebagai akibat dari Depresi Besar pada 1930. Ekonom John Maynard Keynes mendirikan model ini pada prinsip dasar bahwa ekonomi tidak menyesuaikan diri atau tetap selalu bekerja penuh (Cameron, 2003). Dengan kata lain, ekonomi dapat berada di bawah atau di atas potensinya. Misalnya selama Depresi Besar, pengangguran meluas, banyak bisnis gagal dan perekonomian beroperasi jauh lebih sedikit daripada potensinya (Mishkin, 2004). Keynes percaya bahwa pada masa yang buruk pemerintah dan para pemimpin moneter diharuskan melakukan sesuatu untuk membantu ekonomi dalam jangka pendek, atau jangka panjang mungkin yang tidak akan terjadi. Bahkan, dikutip oleh Goodwin (2008) mengatakan "Dalam jangka panjang, kita semua mati".
Sebagian besar dari kita hanya bisa berfikir tentang penerapan dua model ekonomi seperti diatas. Padahal kita mengetahui bahwa ekonomi bersifat fluktuatif ; terkadang ekonomi kuat dan terkadang lemah. Ekonomi klasik sebenarnya muncul untuk melawan filsafat merkantilisme yang dikaitkan dengan kebangkitan negara bangsa di abad 16 dan 17 (Barker, 1977). Para merkantilis terkenal adalah Thomas Mun (1571-1641), Montchretien (1576-1621) dan Von Horneck (1638-1712). Mereka semua percaya pada ide yang menakutkan dari bullionisme yang menekankan penimbunan logam mulia (perak dan emas) untuk kekayaan dan kekuatan bangsa (Eichengreen, 1992). Mereka juga menganjurkan intervensi negara sebagai alat penting untuk mengarahkan pengembangan sistem ekonomi.
Bullionisme berpandangan bahwa, untuk mengamankan kelebihan ekspor atas impor, untuk mendapatkan emas dan perak dapat dilakukan melalui perdagangan luar negeri (Howey, 1982). Konsep ini didasarkan pada keserakahan dan ego dalam mencapai kesejahteraan. Hal yang paling fundamental untuk kaum merkantilisme adalah kekuatan negaranya. Hal ini merupakan tujuan akhir dari sebuah Negara, yaitu untuk menumpuk kekayaan dan menguatkan pertahanan. mengindentikkan merkantilisme sebagai pandangan yang orthodox adalah kesalahan berfikir kita, padahal merkantilsime berbeda dengan bullionism, dan pandangan merkantilisme sampai sekarang masih bertahan (Barker, 1977).
New Bullonisme dilakukan Cina dengan menumpuk cadangan Devisa, sedangkan yang dilakukan Trump adalah New Merkantilime, yaitu menarik keuntungan dari ekpsor impornya dalam perdagangan International. Cina menyadari potensi nya yang besar, dan kelemahn yang besar pula. Oleh karena itu sejak Xi Jin Ping berkuasa dia menggunakan Bullonisme dalam praktek ekonominya dengan menggunakan dual sistem, Sistem ekonomi digunakan liberal katanya, sedangkan politik tetap komunis. Padahal yang dilakukannya adalah New Bullonisme dimanana menggunakan politik otoriter dan menggunakan untuk kepentingan kekuatan Negara. Hal ini Nampak dalam kebijakkannya yang memberikan ijin dan kemudahan seluas-luasnya untuk ekspor, bahkan istilahnay Racun-pun boleh di ekspor asal tidak digunakan di Cina.
Cina melakukan hal tersebut karena dia menyadari pentingnya surplus perdagangan untuk meningkan cadangan devisanya. Jika cadangan devisa besar, cina dapat menumpuk kekayaanya dengan investasi di luar negri, yang pada giliranya bisa menguasai dunia melalui Debt Trap atau Jebakan Utang. Berbeda dengan Trump yang tidak bisa seperi Cina kareana control dari akyat begitu kuat dalam system demokrasinya, sehingga Trump hanya menggunakan New Merkantilisme saja, dengan melakukan perlindungan terhadap industri dalam negri melalui bea masuk impor, dan memperbesar ekspor dengan memberika fasiltas ekspor untuk pengusaha di dalam negri.
Keduanya punya tujuan yang sama, yaitu untuk kejayaan negaranya, sehingga mereka bisa mengusai dunia dari ekonomi ke politik. Siapakah selanjutnya yang jadi pemenangnya ? Cina melakukan hal itu sudah lama, sedangkan Amerika baru sadar dari tidurnya. Wajar jika perang dagang akan dimenangkan oleh cina, bahkan Amerika sendiri sudah tergantung secara ekonomi oleh Cina…
Penulis Adalah Mahaiswa Program Doktoral Ilmu Ekonomi Universitas Borobudur Jakarta