Ketahanan Pangan Dan Nasib Indonesia


Oleh Helmi Adam
Kekuatan politik, menurut Joseph Nye dalam Aleksius Jemadu, tidak selalu dipengaruhi oleh hard power politicseperti kekuatan militer dan basis industri suatu negara saja tetapi juga melalui soft power. Konsep soft power diartikan sebagai kekuatan nasional yang didasarkan pada ideologi, nilai-nilai, dan ciri-ciri budaya yang secara konkrit diperlihatkan melalui kebijakan dan perilaku negara atau produk-produk seperti musik, film, makanan yang dikonsumsi secara luas. Bahkan Amerika Serikat sebagai negara adidaya juga melengkapi hard powernya  dengan soft poweruntuk mempertahankan dan memperluas pengaruhnya (Jemadu, 2008:117-118). 
Pangan adalah kekuatan politik suatu bangsa dalam konteks soft power. Menurut UU RI nomor 7 tahun 1996 tentang pangan menyebutkan bahwa pangan merupakan hak asasi bagi setiap individu di Indonesia. Konsep pangan ini dipertegas lagi dalam UU RI Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam UUD 1945, dan untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, maka negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata. 
Ketersediaan pangan, pertanian adalah salah satu pilar utama pembangunan untuk mencukupi kebutuhan hidup rakyat Indonesia. Masalah utama yang berkaitan dengan kemandirian pangan adalah problem pemenuhan beras bagi  masyarakat. Beras merupakan bahan pokok utama masyarakat Indonesia, sehingga beras menjadi salah satu pangan startegis yang mepengaruhi inflasi dan juga banyak hal.
Liberalisasi pertanian ini semakin nyata, ketika tahun 1998 pemerintah menandatangani kesepakatan dengan IMF (International Monetary Found) dalam bentuk LoI (Letter of Intent). Salah satu kesepakatan yang dibuat adalah berkurangnya peran Bulog,di mana komoditas yang dikelola Bulog dikurangi dan tinggal beras dan gula. Pada masa Orde Baru, sebagai pengontrol tata niaga pangan di Indonesia, pemerintah masih memberlakukan impor terbatas (kuota), sehingga tidak semua industri menggunakan beras impor . Bulog adalah pengawas beras di pasar. Hal inilah yang menjelaskan mengapa pada masa orde baru, harga sembako relative stabil dan terjangkau.
Beras merupakan bahan pangan pokok bagi 95 persen penduduk Indonesia yang mencapai 260 juta jiwa. Penduduk Indonesia di tahun 2019 memerlukan karbohidrat sebanyak 75 persen yang berasal dari beras, sementara makanan alternatif lainnya belum mampu menggantikan beras. Permintaan beras di pasar mencapai 139 kg per kapita per tahun dengan pertumbuhan penduduk satu persen saja atau mencapai 2,4 juta orang per tahun yang akan berdampak pada peningkatan permintaan beras, sehingga harga beras menjadi tinggi. Sedangkan ketersediaan beras di pasar dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran beras tersebut. Peningkatan luas lahan panen dan produksi padi bisa dijadikan sebagai bentuk indikator perubahan penawaran beras dari tahun ke talun. 

Melihat hal tersebut banyak paradok yang terjadi dalam teori ekonomi klasik dan teori keneysian versus ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan Pancasila. Dengan sistem ekonomi liberal yang dianut pemerintah, seharusnya bulog tidak ada karena tidak sesuai dengan prinsip prisip ekonomi liberal. Tapi kalau memakai teori keneysian, campur tangan masih di perkenankan sehingga ada muncul kata kata market sosial atau pasar sosial.

Fakta dilapangan jika harga pasar diserahkan ke pasar, ternyata pasar juga memiliki kartel yang mampu mengendalikan harga beras. Bahkan pengakuan kepala Bulog Budi Waseso yang mengatakan, bulog hanya menguasai 6 persen saja, dari distribusi beras, menunjukan sangat berbahayanya masalah beras yang tidak terkendali, Hal ini karena lemahnya koordinasi atau sengaja dilemahkan ?. Apalagi tidak ada data akurat dan data yang memadai sehingga harga beras bisa naik begitu saja. Padahal sesuai data stock beras mencukupi, tapi mengapa harga naik ?. Akhirnya pemerintah atau bulog melakukan impor, dan anehnya harga belum juga turun signifikan, adakah yang salah dari data BPS, Bulog, Kementan dan Kemendag ? sehingga tidak terpenuhinya beras di pasar.

Wajar jika kritikan diarahkan ke pemerintah karena selama lima tahun belakangan ini pemerintah sangat lemah dalam megendalikan harga beras, yang berdampak pada tiap tahunya menurunya petani beras. Karena harga di petani selalu murah dan harga di konsumen selalu mahal. Pertanyaanya justru, siapakah yang menikmati kenaikan harga beras ? yang pasti petani tidak pernah menikmati harga beras, karena itulah banyak petani menglami kerugian dan meninggalkan Pertanian. Padahal pertanian khususnya beras merupakan soft powerpolitik yang harus  terus diperkuat, bukan dilemahkan. Oleh karena itu harus ada investigasi yang tuntas, yang dapat menyelesaikan harga beras, yang dapat menguntungkan petani dan konsumen. Sehingga Indonesia memiliki kemandirian dan kekuatan penuh, jangan sampai ada kekuatan  luar yang mengintervensi dan sengaja membuat kita  lemah…Ayo sadar dan bangkitlah “Matamu”Merah Putihku..

Penulis adalah  Wakil Sekjen DPN HKTI.

0/Post a Comment/Comments

Terima Kasih

Lebih baru Lebih lama