Oleh : Helmi Adam
Tahun 2018, rupiah mengalami depresiasi cukup signifikan dan menyentuh level terendahnya dibanding tahun sebelumnya. Bisa dikatakan tahun 2018 adalah ujian terberat makroekonomi Indonesia. Kita diuntungkan hanya karena harga minyak dunia yang turun. Padahal Cadangan devisa terus “dibakar” selama 2018 sebagai konsekuensi kebijakan intervensi pasar uang untuk menjaga stabilitas rupiah agar tidak jatuh lebih dalam lagi. Hal ini disebabkan, negara-negara emerging markets (EMs), seperti Turki dan Argentina mengalami krisis mata uang yang cukup serius, dan bisa saja Indonesia terkena "domino effect" serupa.
Dalam Sebulan terakhir, perekonomian global mengindikasikan perlambatan. Hal ini membuat pasar menjadi lebih pesimis menatap 2019 dan 2020. Apalagi Bank Sentral AS, The Fed, telah memberikan sinyal untuk menahan suku bunganya dalam jangka pendek. Sehingga ada kemungkinan besar, the Fed memotong suku bunganya, kalau perekonomian AS terus mengalami perlambatan, tidak sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan.
Pasar Global telah merespon sinyal perlambatan, Hal ini dengan mudah, dapat kita lihat, dari Indicator imbal hasil surat utang jangka panjang atau long-term bond yield, yang terus mengalami penurunan. Sebaliknya imbal hasil surat utang jangka pendek atau short-term bond yield, justru mengalami kenaikan. Akibatnya dapat kita lihat dari kurva imbal hasil surat utan atau yield curve, yang awalnya memiliki derajat kemiringan positif, menjadi mendatar dan menuju negatif. Keadaan ini kenal dengan nama inversi kurva imbal jasil atau inverted yield curve. Padahal Inversi kurva imbal hasil, merupakan salah satu indikator untuk memprediksi resesi ekonomi. Karena hampir setiap resesi perekonomian, selalu diawali oleh inversi kurva imbal hasil, dari positif menjadi negatif.
Jika kita lihat keadaan saat ini, selisih imbal hasil atau yield spread, antara utang jangka pendek dengan tenor 3 bulan, dibandingkan dengan jangka panjang AS yang bertenor 10 tahun, terus mengalami penurunan. Data terakhir menunjukan -3,5 basis points, artinya bahwa perekonomian AS akan mengalami perlambatan atau mungkin akan resesi. Untungnya proporsi perubahan selisih kurva imbal hasil, masih lebih rendah dibanding periode-periode sebelumnya. Itu artinya bahwa resesi belum akan terjadi dalam waktu dekat, walaupun sinyal perlambatan ekonomi terus terjadi.
Lalu apa yang harus dilakukan Indonesia dalam merespon perkembangan perekonomian global saat ini ? Cocokkah gaya Keynesian yang ekpansif dilakukan ?
Ada Tiga kebijakan yang dapat dilakukan :
Pertama, Bank Indonesia menurunkan menurunkan suku bunganya. Karena suku bunga BI yang berada di level 6% juag sudah terlalu tinggi. Kebijakkan menaikkan bunga yang dilakukan BI, karena ketakutan ancaman modal keluar, jika The Fed menaikan suku bunganya. Padahal, jika kita lihat tren perekonomian saat ini, kenaikan suku bunga the Fed tidak akan terjadi selama 2019, mengingat perlambatan ekonomi AS dan dunia yang sedang terjadi. Justru kemungkinan the Fed tidak menaikkan suku bunganya sangat besar dan bahkan bisa jadi The Fed malah akan memangkasnya. Jadi, inilah saat yang tepat bagi BI untuk memotong suku bunganya.
Kedua, Pemerintah mesti melanjutkan proyek-proyek ketenagalistrikan. Karena kemungkinan rupiah membaik dari badai eksternal sangat besar. Sudah saatnya proyek-proyek Ketenagalistrikan dilanjutkan kembali mengingat pentingnya ketersedian listrik bagi perekonomian nasional, demi meningkatkan investasi dan produktivitas.
Ketiga adalah menguatkan fondasi ekonomi agar rupiah bisa memnguat, melalui kebijakkan yang terintegrasi antara BI dan Departemen Keuangan, khususnya masalah ekpor dan impor kita. Mengingat kondisi fondasi ekonomi kita yang belum kuat dengan mengalami defisit perdagangan sampai april kemarin, hal ini menyebabkan rupiah terus melemah, dan terkurasnya cadangan devisa kita terus menerus. Jadi kesimpulanya ada tiga hal yaitu : Pertama, hantaman eksternal relatif telah menurun, badai telah berlalu. Perekonomian global, termasuk AS di 2019 dan 2020 diprediksi akan melambat dibanding tahun lalu. Kedua Pemerintah dan BI harus menerapkan kebijakan ekonomi yang ekspansif guna mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional. Ketiga melakukan Koordinasi kebijakkan dengan Departemen Keuangan dalam rangka menguatkan fondasi ekonomi kita.
Ketiga hal ini harus dilakukan dengan hati hati, terutama kebijakan ekonomi yang ekspansif. Karena kebijakkan ini bisa berdampak pada ketergantungan ekonomi kita pada pihak asing. Kebijakkan Donald Trump yang melakukan perang dagang dengan Cina, sebenarnya karena Trump melihat ketergantungan AS pada Cina kedepanya. Sehingga Trump memutus ketergantungan AS pada Cina. Dan ini bukanlah hal yang mudah, karena AS sendiri sudah memliki ketergantungan ekonomi dengan Cina cukup besar. Jangan sampai kebijakkan ekpansif memberikan “Leher” kita untuk disembelih [ada phial asing…
Penulis Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Ekonomi Universitas Borobudur Jakarta.