Mudik Tapi Masih Megang HP, Terasingkah ?

Mudik Tapi Masih Megang HP, Terasingkah ?

Oleh Helmi Adam

keberadaan Smartphone membuat pola komunikasi manusia teralienasi dari lingkungannya. Hal ini bisa dilihat dari intensitas  komunikasi yang sering namun minim empati. Karena intensitas yang ada,  membuat volume informasi menjadi tumpah ruah sehingga  interaksi menjadi cethek. Sebagai contoh, kita temui orang lebih bertanya tentang hal hal  formal seperti kabar dan updateacara yang akan dihadiri, akan tetapi tidak bertanya tentang pa yang terjadi bagimana kedepanya, dan perasaan personal sanak family dan teman temannya. Media sosial membuat famili, kawan, kolega, kenalan hingga artis idola sepertinya sama dalam satu tempat di HP smartphonenya, semua berisikan updatehal hal yang belum tentu penting,tapi memenuhi hasrat kepo (ingin tahu urusan orang yang nggak penting). 

Dalam buku The World We Have Lost(1965) Peter Laslett mengatkan: "Dulu, tepatnya lebih dari 200 tahun lalu, ada masa di mana seluruh perikehidupan kita berpusar pada keluarga, di wajah dan obyek yang kita cintai dan dekat, dan sekarang bergeser menjadi seluruh manusia." Dampaknya saat ini yang sangat terasa, adalah makin banyaknya obyek komunikasi pada setiap individu, Sehingga untuk mengeksplorasi komunikasi dan membangun jembatan empati dalam  komunikasi menjadi  berkurang. Dalam buknya Peter Diamendis tentang 6 Tahap perkembangan di ra digital, disebutkan tahap terakhir adalah abudance, atau berkelimpahan informasi. Hal ini membuat manusia lebih memilih mengecek berita dunia, politik atau artis serta status ratusan kenalan kita, sehingga lupa menyediakan waktu khusus untuk orang tua, kerabat dan teman dekat.

Joseph Strand dalam Do You Relly Get Me? (Finding Value in Yourself and Others Through Empathy and Connection). melihat pola hidup digital memperlebar alienasi karena masyarakat terpola oleh kehidupannya sendiri, self-service. Sebagai contoh kita mau makan pesan via aplikasi, mau bepergian, pesan kendaraan via aplikasi, hingga mau bergaulpun via medsos karena mudah dilakukan dan tak perlu berkumpul secara fisik.

Jadi masyarakat modern cenderung berkomunikasi dengan frekuensi lebih tinggi dan jangkauan lebih luas di era digital, namun kehilangan soul tau jiwa kemanusiannya. Sehingga mengabaikan kesempatan untuk membangun jembatan empati dengan orang terdekat untuk mengisi ruang keterasingan jiwa mereka. Dalam kondisi seperti ini, tradisi mudik di hari raya hingga kini masih relevan dilakukan di Indonesia dan negara lain seperti Amerika Serikat (AS), India, Bangladesh, hingga China. 

Mudik dapat dijadikan terapi penyeimbang antara pemenuhan kebutuhan psikologis primordial dengan pemenuhan kebutuhan sosial. ]Tetapi sayangnya,ketika berkumpul dengan sanak famili, momen kebersamaan itu hilang, karena mereka ditengah riuh rendah keakraban keluarga justru menggunakan smartphonenya untuk update status di sosial media, sibuk berbagi foto dan rutin mengecek mereka yang secara pribadi jauh secara fisik maupun hati. Sehingga makna mundik untuk mengisi keskosongan jiawa dan menguatkan primordialisme menajdi hilang. Mereka menjadi mengalami teralienasi atau keterasingan, di tengah sanak familinya, walaupun mereka berada ditengah saudaranya tai jiwanya di tengah lautan media social. Lihat lah ketika saudar anda berkumpul, pakah amish memegang HPnya, membaca statusnya, hal inilah yang menyebabkan makna mudik jadi formalitas saja..

Semoga tidak terjadi pada kamu, mereka dan kita, Terasing ditengah mudik, akibat Smartphone yang kita pegang


Selamat Bermudik Ria.

Penulis adalah Direktur Syafaat Foundation Indonesia.

0/Post a Comment/Comments

Terima Kasih

Lebih baru Lebih lama