Oleh Helmi Adam
Tulisan ini adalah Sambungan dari : Analisis Kualitatif Bahayanya
Gaya Hidup Rojaldung.
Rombongan Janda Liar Bandung atau Rojaldung dalam penelitian
ini, mengatakan dengan suara bulat menyampaikan harapannya untuk keluar dari
gaya hidup yang mereka lakukan selama ini. Mereka sendiri merasakan "kemufikan"
dalam cara hidupnya, lelah, takut masa depan, bertahan hidup, dan ingin memperbaiki hubungan
dengan teman, keluarga, dan anak-anak. Ha Ini mengindikasikan keinginan untuk mengubah gaya hidup mereka.
Rojaldung tidak bisa membayangkan kehidupan ahri tua yang akan datang
dan tidak mungkin mereka masih terlibat dalam pelacuran. Sebaliknya, mereka
bercita-cita untuk meninggalkan gaya hidup mereka saat ini, dan hidup sebagai unit
fungsional masyarakat. Rina (buka nama aslinya), menyampaikan sikap "Sudah
mau insyaf":
“Gue cuma berharap bisa
membantu keluarga gue seperti sekarang . tapi apakah mungkin gue bisa
hidup cukup, mungkin aja sih sebenarnay karean gue juaga udea nabung tapi
nasehat dan ustadz yang bis abimbing gue sebenernya. Dan gue butuh teman curhat
yang tidak punya maksud tersembunyi. Sorry gue jadi sedih, karena gue juga mau
stop jual diri.”
Selain itu, semua rojaldung memiliki keinginan untuk mengubah gaya hidup
mereka, tetapi mereka juga tidak yakin apakah mereka bisa melakukannya sendiri bahkan mereka ngak tahu gimana memulainya.
Komunitas Rojaldung rata rata tidak bergaul dengan masyarakat umum, jadi mereka
tidak cukup tahu bagaimana hidup di tengah masyarakat. Kehidupan dengan”Jual Diri” adalah gaya hidup utama yang
mereka ketahui selama ini, yaitu pesta hura hura, dan hubungan intim, selesai
itu, pulang, ngurus anak dan tubuh jalan jalan. Alasan inilah, komunitas
Rojaldung merasa tidak dapat lepas dari gaya hidup mereka
yang mewah. Tanpa sumber dana yang mamadai
mereka sulit keluar dari komunitas pelacuran.
Wati (buka Nama Sebenarnya) misalnya, berharap besar besar
bisa kelaur dari lingkaran hidupnya, tetapi menyadari kebutuhan hidupnya cukup
besar:
Gue, punya mobil, punya rumah, punya anak satu, butuh biaya
hidup, dalam sebulan gue keluarkan uang 30 jutaan, kalau ngak dapet, gue biasa
pusing. Makanya kenapa gue harus jual diri. Gue pernah juga coba hidup pas
pasan denagn bantuan mantan suami 10 juta perbulan, bisa sih..tapi hidup gue
jadi kering, nggak ada duit buat bergaul..
Harapan mereka semua sama yaitu punya suami kaya dan mereka
siap jadi sitri kedua, dan keluar dari komunitas rojaldung, dan ingin berubah. Mereka
butuh pembimbing rohani yang mengerti tentang mereka, tapi mereka malu cerita
sama ustadz, karena malu banget takut bocor kesana kemari. Seperti yang
diungkapkan Rina, “ Kan ustadz punya istri, mungkin ustadz nggak cerita keorang lain, tapi cerita
ke istrinya, kacau kan, mulut perempuan ada dua mas…, say berani ngomong ke mas,
karean saya yakin mas nagka akn cerita ke orang, toh sya tetap dilindungi,
sesuai kesepakatan.”
Rojaldung tidak bisa bekerja di tempat lain selain dari pelacuran, meskipun fakta bahwa
mereka tampaknya memiliki keinginan kuat untuk keluar dari gaya hidup. Cerita Meli yang mengatakan pernah kerja di
kantor, “gaji ngak seberapa, bosnya nakal suka “main” dengan dia, dikasih uang sih
tapi ngak seberapa, lebih baik gue jualdiri sekalian.”. lain lagi Cerita Rinapernah kerja di kantor, “pacaran sma supervisornya, sering
berhubungan intim, eh malah die kawin dengan orang lain. “
Rojaldung menyatakan keinginan eksplisitnya minta bantuan,
untuk mengatasi apa yang mereka sebut dengan masalah psikologis dan gaya hidupnya.
Kesimpulan
Temuan kami ini sejalan dengan Miller (1993) menemukan bahwa
perempuan yang terlibat dalam prostitusi, menghadapi tingkat bahaya yang tinggi secara
langsung akibat dari pekerjaan mereka. Faktanya, Rojaldung menceritakan pernah
mengalami pelecehan secar fisik maupun emosi. Kami mencatat bahwa perilaku
pelacuran tidak memenuhi diagnosis psikiatris formal sebagai
"kecanduan". Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan
perspektif fenomenologis peserta penelitian, dari sudut pandang subjeknya yang
merupakan objek yaitu Rojaldung, melalui konstruksi, dan persepsi mereka.
Rojaldung tidak menggambarkan dirinya sebagai kecanduan
seksual, dalam arti diagnosis DSM-IV-TR. Tapi mereka kecanduan dalam gaya hidup
hedonisnya daripada perilaku seksual yang sebenarnya. Ketika merujuk “gaya
hidup adiktif” dari pelacuran, mungkin, ini mencakup cara memikat orang,
menemukan calon klien, meminta membeli barang pada klien, menghasilkan
pelanggan tetap, dan menghasilkan uang cepat, yang tidak dikenakan pajak oleh dirjen pajak.
Ketika Rojaldung menggunakan kata "kecanduan", mereka menyampaikan perasaan "ketagihan"
atau "terjebak" dalam situasi gaya hidupnya.
Keinginan keluar dari
komunitas Rojaldung yang bersifat terbuka itu, sangat kuat, “ingin Insyaf”
katanya. Sedangkan mereka berjuang untuk
“kebebasan Hidup” yang diinginkankannya. Agak paradok disini,
bukakah kebebasan akan menjadi terbatas ketika bertemu masyarakat?. Tidak ada
ketergantungan, toleransi, atau penarikan diri seperti yang biasa terjadi
dengan kecanduan dari perspektif medis formal. Kata "kecanduan" dalam
artikel ini, Digunakan Rojaldung dalam penelitian, selama wawancara. Kata itu
menunjukan penggunaan kecanduan secara verbal dan bukan psikiatris. Rojaldung
tidak menjadi pecandu seks bahkan tidak
menikmati tindakan seksualnya. Rojaldung
yang menjadi objek dan subjek penelitian ini, mengatakan istilah kecanduan gaya hidup yang artinya, mereka
merasa terjebak dalam situasi yang mereka rasa sulit untuk melarikan diri.
Pada penelitian kami tidak secara eksplisit memeriksa masalah kecanduan
gaya hidup dengan Rojaldung, merupakan studi eksplorasi untuk mengumpulkan
persepsi apa pun yang ada. Konstruk
“kecanduan gaya hidup” yang berkaitan dengan Rojaldung, harus secara khusus dan
lebih terinci, serta disempurnakan untuk penelitian yang akan datang. Rojaldung sendiri ingin pulih dari semua bentuk kecanduan
gaya hidup yang akan membutuhkan bantuan khusus untuk mengatasi masalah ini. Seperti
Burgess-Proctor (2008) menemukan bahwa sebagian besar, perempuan korban
kekerasan pasangan intim, ragu-ragu untuk mencari bantuan, Seperti juga pada
rojaldung, ada keinginan kuat konsultasi, tapi keraguan dan tidak percaya dirinya
juga kuat. Hal ini sejalan dengan O'Doherty (2011), intuisi tampaknya tetap
menjadi faktor yang mempengaruhi keputusan wanita.
Namun, Perasaan kecanduan terhadap gaya hidup pelacuran itu sendiri,
kuatnya control diri yang mereka rasakan untuk
melayani klien. Meskipun kenyataannya, mereka
terus menerus mengalami pelecehan emosional
dan seksual dari pelacuran yang
dilakukannya, Rojaldung tetap menganggap mereka pengendali sesungguhnya dalam situasi
seksual yang mereka alami. Lucas (2005) menjelaskan fenomena ini dengan
melaporkan bahwa, tidak hanya sebagian besar perempuan dalam sampelnya secara
teratur melakukan pekerjaan seks berdasarkan pilihan, tetapi mereka juga
mengalami perasaan kepuasan psikologis sesaat dari kegiatan pelacuran dan gaya hidup. Perasaan seperti itu mungkin
berkontribusi signifikan terhadap perasaan kecanduan rojaldung terhadap gaya
hidupnya.