Indonesia Kalah di WTO, Negara Amatiran ?





Oleh Helmi Adam
Kurangnya  kemampuan kita dalam menangani kasus sengketa dagang menjadi penyebab utama, mengapa Indonesia  banyak kalah di sidang World Trade Organization (WTO) selama 4 tahun terakhir. Dari 2014—2018, kita memiliki 8 sengketa dagang yang berakhir di sidang WTO melalui panel Dispute Settlement Body (DSB), dan dari 8 kasus itu, 5 di antaranya telah diputuskan, dan hanya 1 kasus yang dimenangkan oleh Indonesia.  Karena  dalam 4 tahun terakhir, RI cenderung lebih banyak memperkenalkan kebijakan dagang yang bersifat restriktif., padahal kebijakan tersebut,  melenceng dari kesepakatan WTO.
Kekalahan Indonesia sidang atau banding di panel DSB, disebabkan  kurangnya kapasitas dan kapabilitas  RI dalam menangani sengketa dagang di WTO. Walaupun pemerintah telah melakukan sejumlah cara langkah untuk mengamankan aktivitas perdagangan luar negeri, seperti melakukan penanganan pada kasus tuduhan dumping, subsidi, safeguard dan hambatan nontariff, namun  mengalami kekalahan juga di WTO . Padahal  RI memiliki posisi yang kuat dalam menghadapi gugatan negara mitra. Karena trade remedies sebenarnya merupakan instrumen kebijakan yang dizinkan oleh WTO. Oleh karena itu pemerintah perlu mencermati, seperti apa perkembangan terbaru kebijakan trade remedies di WTO. Sehingga ketika dikenakan tuntutan dagang, yang sebenarnya merupakan  perlindungan dagang Indonesia, kita dapat mempertahankan sikap kita.
Indonesia sering masuk di meja hijau WTO lantaran bayaknya aturan dan undang-undang yang belum selaras dengan kesepakatan WTO. Setidaknya terbukti pada kasus sengketa impor produk hortukultura, hewan dan produk hewan dari Amerika Serikat yang baru-baru ini  diputuskan kita kalah.  Kondisi ini, menjadi dilematis, pasalnya, bukan hal yang mudah bagi kita, untuk mengubah aturan dan kebijakan di dalam negeri agar selaras dengan kesepakatan WTO.
Indonesia belum punya orang yang jago untuk menangani hukum perdagangan internasional, sehingga, ketika menghadapi proses peradilan sengketa dagang, perwakilan Indonesia tidak siap dalam menunjukkan kelengkapan data, untuk membuktikan kebijakan yang diambil RI telah tepat. Tak heran jika Indonesia kerap takluk dalam proses peradilan awal maupun ketika melakukan banding.Akibatnya  strategi impor dan ekspor Indonesia guna mendongkrak perekonomian nasional menjadi terganggu. Saat ini, pendekatan melalui proses negosiasi menjadi salah satu harapan Indonesia
Untuk kasus kalahnya Indonesia dari brazil dalam menghadapi kasus sengketa dagang, lebih dikarenakan inkonsistensi kebijakan atau tidak menepati janji. Gugatan Brasil terkait impor daging sapi Indonesia disebabkan, karena RI memperbolehkan daging kerbau India masuk.Padahal, India masuk dalam negara yang belum bebas dari penyakit kuku dan mulut. Akan tetapi impor dari negara itu dibuka pada 2016 lalu. Itulah pentingnya konsistensi kebijakan dalam pemerintahan sehingga tidak mudah digugat orang, dan akhinya merugikan bangsa dan Negara. Jangan sampai Indonesia jadi Negara “Amatiran”, mengutip   istilah Yusril Ihza Mahendra
Penulis adalah Direktur Syafaat Foundation Indonesia..


0/Post a Comment/Comments

Terima Kasih

Lebih baru Lebih lama