Padamnya Listrik, Memadamkan Simpati Pada Korban Gempa ?





Oleh Helmi Adam

Tanggal 5 Januari 1699, terjadi gempa bumi dasyat di lampung, Banten dan Jakarta. Hal ini dimuat dalam penelitian Geosciences Australia tahun 2015, dengan judul “Indonesia’s Historical earthquake’ dijelaskan gempa yang besar dan mengguncang Jakarta, Banten dan Lampung, dengan pusat gempa antara Cisalak dan Lampung itu, menelan banyak korban jiwa.

Hari jum at tanggal 1 Agustus 2019, Terjadi lagi gempa dengan scala 7.4 manitudo, namun tidak menyebabkan banyak korban jiwa, karena masih terlalu kecil. Menurut ahli gempa, diperkirakan akan ada lagi gempa Megatrust seperti ditahun 1699. Namun sayangnya kapan terjadi tidak lagi, tidak  ada yang mampu memperkirakan. Namun anehnya gempa 7.4, lenyap seketika, kalah  besar dengan padamnya listrik di pulau jawa. Sehingga banyak pihak lebih membahas mitigasi padamnya listrik, ketimbang mitigasi gempa bumi yang harus cepat ditangani. Sampai presiden langsung rapat dengan mentri terkait hal tersebut, karena padamnya listrik, membuat kerugian semua pihak khususnya konglomerat. Sedangkan saat gempa terjadi pemerintah seperti kehilangan simpati. 

presiden cepat mengunjungi PLN untuk membuktikan perhatian yang besar pada padamnya listrik, tapi tidak cepat mengunjungi korban gempa.  Pertanyaannya apakah padamnya listrik menyebabkan korban jiwa, sehingga begitu cepat tanggapan nya ?

Dan yang anehnya, media massa seperti kehilangan simpati terhadap gempa yang luar biasa tersebut, dibandingkan dengan padamnya listrik. Mengapa, oh mengapa ?

Karena padamnya listrik merugikan kapitalis yaitu pemilik modal, baik media maupun pabrik dan lainya, sementara gempa bumi yang terjadi hanya merugikan rakyat kecil. Hal inilah yang memprihatinkan kita. karena kita lebih memperhatikan orang besar ketimbang rakyat kecil, kita terjebak dengan ekonomi kapitalis yang membesarkan orang besar, dan mengecilkan orang kecil.

Hal inilah yang telah lama di khawatirkan oleh Founding Fathers kita, sehingga Sukarno bikin Trisakti dengan Nawacitanya, Hatta  bikin koperasi, Karena keinginan-nya membela rakyat kecil. Sementara saat ini, kita telah kehilangan simpati, dan sikap, serta perilaku untuk membela rakyat kecil, karena pengaruh materialisme.

Disisi lain peran media sebagai  penjaga demokrasi, telah hilang dimakan konglomerat. Sehingga sikap kritis hanya ada di media social.

Hanya ada FPI yang menolong korban bencana. Sementara organisasi kepemudaan sibuk dengan akrobatik politik, mahasiswa sibuk dibangku kuliah ngurus tarif parkir.

Sedangkan pak presiden minta penjelasan yang simple simple saja, tentang masalah PLN, padahal dibutuh penjelasan yang panjang, karena menyangkut masalah teknis. Sama halnya dengan yang diminta korban gempa kepada bapak presiden, yaitu, yang simple simple aja, seperti  kapan bantuan disalurkan, kapan uang cair untuk korban bencana Lombok, dan Palu, serta untuk yang baru baru ini terjadi.

Penulis adalah Direktur Syafaat Foundtion Indonesia.  






0/Post a Comment/Comments

Terima Kasih

Lebih baru Lebih lama