Belajar Dari kasus Garuda-Jiwasraya, Seret Manipulator Laporan Keuangan Ke Pengadilan,,




Oleh Helmi Adam

Saat ini,  banyak perusahaan BUMN yang berani mempercantik laporan keuangan (lapkeu) atau yang dikenal window dressing. Padahal, hal ini jelas dilarang karena masuk kategori penipuan.

Seharusnya pelaku dirseret ke kasus pidana, seperti kasus Garuda. Apalagi dengan adanya window dressing, bagian bawah neraca atau bottom line (laba bersih) di laporan keuangan memang keliatan untung. Tapi sebenarnya itu kosong, karena perusahaan tidak memiliki kas.

Tak hanya itu, ada juga BUMN  yang memakai cara penerbitan surat utang baru, bukan pinjaman ke perbankan. Caranya dengan menerbitkan utang baru, mekanismenya enggak pakai bank, tapi surat utang yang lebih mudah. Dibikin proyek, disuntikkan perusahaan enggak visible. Surat utang jatuh tempo 2020. Ini adalah  fraud, dan merupakan kejahatan ekonomi.

Adapun window dressing memiliki dua pengertian, pertama kondisi yang terjadi di akhir tahun di mana harga-harga saham naik. Kedua, strategi yang digunakan oleh emiten, perusahaan atau manajer investasi untuk memoles laporan keuangan atau portofolio mereka guna menarik hati para investor.

Dengan upaya membuat laporan keuangan perusahaan terlihat lebih baik dari realitas yang ada ini membuat window dressing kerap dikonotasikan negatif lantaran ada potensi memanipulasi angka, data, dan informasi yang tersaji dalam lapkeu.

Fenomena window dressing di BUMN mulai ramai disorot setelah skandal PT Asuransi Jiwasraya (Persero) terkuak ke publik. walaupun sebenarnya BUMN Lainya pernah melakukan tindakan serupa. Parahnya, ini juga terjadi bukan pada BUMN kecil, melainkan pada laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) di tahun 2018 silam.

Saat itu, perseroan melaporkan untung US$ 5 juta atau setara Rp 70,02 miliar. Padahal, setelah ada penyesuaian pencatatan, maskapai penerbangan ini merugi US$ 175 juta atau setara Rp 2,45 triliun (kurs Rp 14.004/US$).

Alhasil, total sanksi denda yang harus diterima manajemen Garuda saat itu mencapai Rp 1,25 miliar. Sanksi denda tersebut tak hanya diterima oleh Garuda Indonesia sebagai entitas perusahaan, tapi juga pada pengurus perseroan, baik direksi maupun komisaris.

Hal serupa kini terjadi di Jiwasraya. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan laba keuangan PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) sejak 2006 semu. Sebab, raupan laba itu diperoleh karena rekayasa laporan keuangan (window dressing). Misalnya pada 2017, perusahaan memperoleh laba Rp 2,4 triliun tetapi tidak wajar karena ada kecurangan pencadangan Rp7,7 triliun.

Bukan tidak mungkin, sanksi lebih berat akan tertuju pada Jiwasraya. Apalagi, megaskandal tersebut menyangkut banyak orang. Lebih parahnya juga melibatkan warga negara asing. Jika kasus ini tidak diselesaikan dengan baik, maka kepercayaan dari masyarakat di dunia internasional bisa meluntur.

Sudah saatnya pelaku window dressing musti diseret ke meja hijau, begitupun akuntan public yang melakukan penguatan terhadap lapaoran keuangan perusahaaan , sehingga ada effek jera. Kalau tidak akan Meruntuhkan kepercayaan international terhadap persuhan di Indonesia..

0/Post a Comment/Comments

Terima Kasih

Lebih baru Lebih lama