Setiap hari minggu saya biasa olah raga ke monas bersama pak Kyai.
Sepulang dari lari biasanya pak Kyai membeli selendang mayang (makanan khas Betawi dari tepung beras di siram gula aren) dari lelaki tua berusia 83 tahun. Oarng tersebut masih berdagang untuk menghidupi keluarganya.
Pada suatu waktu Pak Kyai sehabis membeli slendag mayanngnya bertnaya kepada saya “Apa yang kamu bayangkan di usia 83 tahun ?” tanya pak Kyai retoris, tak perlu saya jawab
“Mungkin masa tua sambil menimang cucu, masa pensiun yang tenang dan segala kebahagiaan yang kamu idamkan. Nyatanya bang Pengki, lelaki tua yang berjualan ditrotoar jalan Budi Kemulyaan, Jakarta Pusat, setiap pagi brejalan membawa dagangannya dai Slipi, menuju tempat di mana ia biasa menjajakan dagangannya, yaitu di sini” jelas pak Kyai
“Ia sudah melakukannya sejak lama, meski banyak orang hanya berlalu lalang melewatinya tanpa ingin membeli makanan yang ia jajakan.”
Sehingga saya penasaran dan balik kembali ke pedagang tua itu. Kmeudian sya mmebeli tambahan makananya sambil bertanya, “Pak maaf boleh tanya pak “ pintaku kepada padagang tua itu. Diapun menganggu sambil tersenyum.
“Apakah bapak tidak lelah berjlan bawa dagangan dari slipi, setiap hari,” tanyaku
ia akan tersenyum dan berkata, "Tidak, aku kemari jalan kaki. Lagipula, bagus untuk kesehatan saya."
Mungkin tidak cukup di situ keheranan saya pada lelaki tua bekerja yang sudah lanjut usia dan mestinya beristirahat di rumah. Ternyata lelaki tua itu masih memiliki tanggungan 4 anggota keluarga. Sementara penghasilannya sebanyak cuma 2.000 rupiah setiap hari, tahun 1980. Waktu itu juga, tak cukup unuk biaya hidup sebulan yang pada saat itu UMR masih 300 ribuan.
Mungkin bapak tua bisa mengemis, namun ia masih memiliki harga diri dan rasa hormat pada orang lain, sehingga ia lebih memilih untuk bekerja dengan segenap dirinya sendiri daripada harus mengemis di jalanan.
“Bang Pengki adalah contoh lelaki yang tidak menyerah dan tidak mengeluh pada keadaan. Ia tahu, bahwa ia sudah tua, namun ia tidak akan bertahan hidup bila ia tidak melakukan sesuatu dengan kondisi hidupnya yang serba terbatas bukan? Ia bahkan tidak memikirkan dirinya sendiri, ia masih bersedia bekerja demi menghidupi 4 orang anggota keluarganya. Sebuah kisah kehidupan sederhana dari seorang pria tua ini, bisa mengajarkan kita mengenai perjuangan untuk bertahan hidup. Ya, karena tidak banyak dari kita yang benar-benar berjuang dalam kehidupan, hanya menikmati hidup dan menunggu bola kesempatan datang kepada kita. Dan kita akan mulai mengeluh ketika kesulitan yang datang.”Jelas pak kyai Kapada ku, sambil berjalan.
“Ingatkah berapa kali dalam sehari kita mungkin mengeluhkan apa yang tidak kita dapatkan? Apa yang tidak kita miliki? Tentang hidup yang tidak sesuai impian. Tentang barang yang tidak kita miliki. Tentang kecantikan yang kita dambakan. Sudahkah kita benar-benar bersyukur dengan apa yang Tuhan berikan hari ini, kemarin, seminggu yang lalu? Sudahkah kita benar-benar memanfaatkan itu semua?”tanya pak Kyai menyindir diri saya yang suka mengeluh dengan suruhan orang tua, untuk beli kecap ke warung asun. Di kebonjahe.
“Jangan mengeluh dengan gaji sedikit. Usahakan dengan halal apa yang kita inginkan. Jangan mengeluh dengan kulit yang tidak putih atau wajah yang tidak cantik atau tampan, kita bisa mulai melakukan kebaikan dari hati, karena akan lebih dilihat daripada bagaimana rupa mu. Jangan menyerah pada kemiskinan, berusaha dan berusahalah. Dunia ini masih adil bagi mereka yang ingin berusaha dan rejeki akan datang pada mereka yang berjuang. Tak usah mengeluh karena pada akhirnya kitalah yang akan lebih bahagia dengan apa yang kita perjuangkan”tutur pak Kyai, tak tarasa sudah jam 7 pagi, yuk kita dhuha..ajak pak Kyai kepadaku..