Memahami Budaya Korupsi Dengan Memahami Sifat Manusia.

Tulisan Ketiga Dari 3 Tulisan


Oleh : Asp  Andy Syam

Memahami sifat manusia

Dalam Al-Kutab (Al Qur'an), Tuhan menerangkan tiga sifat yang bisa hadir dalam diri manusia yaitu cinta harta, bakhil dan suka pujian (ria). Sikap bakhil ditutupi oleh sifat ingin pujian. Ketiga sifat itu mendorong manusia tak hentinya berburu harta. Dorongan Hawa nafsu (hasrat) manusia untuk mengejar harta begitu tinggi. Suatu metaforis, kalaulah mereka telah menguasai satu lembah, maka mereka akan mencari lembah yang lain untuk dikuasai.

Ketika iman tidak lagi menjadi rem menahan Hawa nafsu dan keteladanan Nabi telah dicampakkan, maka hukum harus digunakan

Karena itulah, Tuhan bukan sekedar menurunkan petunjuk hidup (hudan linnas) pada manusia, tetapi juga melengkapinya dengan syari'ah (hukum). Ancaman hukuman yang keras agar manusia menahan hawa nafsunya untuk melakukan kejahatan. Hukum qishas agar nyawa (jiwa) orang lain tidak dibunuh. Kebebasan hukuman bila  ada pemaafan dari keluarga korban. Pemaafan lebih utama dari pada dendam.  Hukum potong tangan agar harta orang lain tidak diambil. Hukum rajam agar  kehormatan wanita lain tidak dirampas. Jadi sistem hukum Tuhan yang keras seperti suatu ancaman, tetapi sesungguhnya adalah penyelamatan  untuk melindungi jiwa, harta Dan kehormatan manusia

Pola hukum Tuhan yang keras ditiru kedalam sistem hukum positif. Amerika misalnya, sebagai negara kampiun kebebasan, memiliki hukum yang sangat keras. Ada hukum mati dengan sengatan listrik. Ada hukuman penjara hingga lebih 100 tahun. Kita masih ingat di Amerika ada penjahat keuangan dipasar modal dijatuhi hukuman penjara 140 tahun. Tanpa ancaman hukuman yang keras seperti itu maka budaya kebebasan di Amerika bisa menjelma menjadi budaya anarkis.

Di  China terkenal sebagai negara yang paling keras saksi hukumnya dalam memberantas korupsi. Hasilnya pembebasan manusia dari menganiaya diri sendiri jadi korban hukum yang keras. Hasilnya  China  disebut bebas korupsi.

Hukum yang keras seperti hukum pancung /potong kepala atau ditembak mati. Hukuman pancung dan ditembak mati sepertinya ancaman, tapi sesungguhnya penyelamatan manusia, mencegah mereka jadi korban telah membuat sepi koruptor yang dipancung atau ditembak mati.

Di Indonesia, apakah sistem hukuman telah bersifat penyelamatan manusia. Jawabannya belum. Buktinya para  pejabat  terus bertambah jadi korban,yang jumlahnya mirip korban lalulintas atau wabah penyakit.

Karena itu, dalam pemberantasan korupsi, dua hal yang perlu diselamatkan, yaitu manusianya dan keuangan negara untuk pembangunan.

 Selama ini, hukum hanya fokus pada menyelamatkan keuangan negara dan abai menyelamatkan manusianya, maka korban tak akan henti -hentinya masuk penjara, artinya korupsi itu sudah seperti wabah penyakit yang menimbulkan korban massal.

Budaya mengalahkan Kepemimpinan

Keberhasilan pemberantasan korupsi di China yang dikagumi dunia karena faktor kepemimpinan yang berkesinambungan. Terus konsisten semangat dan cara memerangi korupsi walaupun pemimpin berganti. Dari Mao Tse Tung (Mao Zedong), Jiang Zemin hingga kini. Xi Jinping yang tidak pandang bulu dalam memberatas korupsi.

Di Indonesia tak ada konsitensi Pemimpin dalam memberantas korupsi. Hanya dibibir saja, tapi kenyataan lain.

 Di Indonesia, ketika Presiden SBY berkuasa ingin memimpin sendiri pemberantasan korupsi. Tapi faktor budaya merusak dari dalam. Ternyata partainya dan kekuasaa nya dikelilingi oleh para  tokoh muda yang berbudaya memburu harta. Bahkan Ketua umum PD (AU) akhirnya masuk penjara.

Sikap SBY sebagai negarawan adalah konsisten pada penegakan hukum tidak mau mencampuri kewenangan KPK. Semuanya orang-orangnya itu dibiarkan diproses secara hukum dan masuk penjara.
Tetapi hasilnya, partai yang dipimpinnya dihukum oleh rakyat, akhirnya kalah dalam Pemilu 2014. Memang kepemimpinan yang dikelilingi orang-orang buruk akhirnya kehilangan pengaruh.

Peralihan kekuasaan SBY ke Jokowi. Jokowi juga mengatakan ingin pemberantas korupsi. Tapi sayang ada kecendrungan pemberantasan korupsi lemah pada kelompok (kliknya), tetapi sangat keras pada kelompok lainnya.

Terlebih lagi dengan revisi baru UU KPK yang nempersempit ruang gerak KPK KPK untuk melakukan OTT semakin nyata kepentingan untuk melindungi kelompok dalam jaringan kekuasaannya. Hanya ucapan saja, tapi pengawasan sangat lemah sehingga korupsi makin subur.

Mungkinkah kepemimpinan yang buruk hadir karena kemurkaan Tuhan...?. Mungkinkah akan silih berganti kepemimpinan yang buruk itu..?

Akhirnya perpektif kita pada pemberantasan korupsi lebih mengharapkan pada alih generasi kepemimpinan yang tidak lagi meniru budaya masa lalu dan tidak percaya mithos yang merusak kepercayaan luhur. Jangan mengambil yang bukan hakmu. Memiliki budaya rasa malu sebagai teladan pada Nabi. Konsisten dan berkesinambungan dalam penegakan hukum. Tetapi apakah betul akan terjadi alih generasi kepemimpinan yang lebih baik yang tidak lagi mewariskan budaya korupsi...?

Penulis adalah Budayawan yang Peduli Nasib Bangsa

0/Post a Comment/Comments

Terima Kasih

Lebih baru Lebih lama