Dewas TVRI Persilahkan Komisi I DPR Melakukan Investigasi, Bukan Menaganulir Pemberhentian Dirut TVRI.
Ketua Dewan Pengawas Televisi Republik Indonesia Arief Hidayat Thamrin menyetujui usulan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk melakukan audit investigasi keuangan TVRI untuk membuktikan dugaan malaadministrasi.
Ia memandang perlu penyelidikan dengan tujuan tertentu (PDTT) oleh pihak yang berwenang untuk membuktikan dugaan malaadministrasi keuangan di lembaga penyiaran publik itu sehingga Dewas TVRI memberhentikan mantan Direktur Utama TVRI Helmy Yahya.
"Kami setuju adanya audit investigasi supaya PDTT ini akan lebih banyak membuktikan," kata Arief dalam rapat dengar pendapat di Ruang Rapat Komisi I DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa.
Dewas TVRI juga menjelaskan kronologi pemberhentian Helmy Yahya sebagai Direktur Utama TVRI per 16 Januari 2020 dalam rapat dengar pendapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Haris Almasyhari dan Bambang Kristiyono.
Ketua Dewas TVRI itu mengatakan bahwa keputusan memberhentikan Helmy berpangkal dari munculnya kasus keterlambatan pembayaran honor satuan kerabat kerja (SKK) karyawan TVRI pada bulan Desember 2018 sebanyak Rp7,6 miliar.
Arief mengungkapkan bahwa TVRI memiliki utang anggaran 2019 senilai Rp37,7 miliar yang terdiri atas Liga Inggris Rp27 miliar dan bulu tangkis BWF senilai Rp5,8 miliar. Kondisi itu diduga mengakibatkan masih banyaknya penundaan pembayaran honor, khususnya honor SKK karyawan TVRI.
Akibatnya, karyawan pun merespons keterlambatan pembayaran honor tersebut dengan melakukan pemberhentian siaran pada tanggal 10 Januari 2019.
Selain itu, karyawan juga melakukan mosi tidak percaya kepada Dirut dan Dewan Direksi TVRI.
Arief mengatakan bahwa Dewas diberi tugas menindak tegas dewan direksi apabila ada pelanggaran. Namun, Dewas lebih dahulu melakukan tindakan-tindakan pembinaan sebelum memberi tindakan tegas tersebut.
"Pada tanggal 11 Januari dan 29 November, Dewas memberikan surat teguran kepada Dirut TVRI. Jadi, kami sudah melakukan pembinaan-pembinaan sebelumnya," kata Arief.
Apalagi, dalam RDP DPR RI pada tanggal 20 Mei 2019 menegaskan teguran kepada Dewan Direksi terkait kasus keterlambatan pembayaran tersebut dan meminta Dewas menindak dewan direksi apabila ada pelanggaran.
Namun, surat teguran Dewas TVRI kepada Dirut TVRI Helmy Yahya dibalas dengan surat bertanggal 29 November 2019.
"Inti surat adalah mempertanyakan kewenangan Dewas dengan penembusan kepada DPR, BPK, dan Kominfo. Artinya, ini adalah ranah internal yang dibawa ke ranah eksternal," kata Arief.
Pada tanggal 2 Desember 2019, Komisi I DPR RI meminta kembali dewan direksi terkait dengan pembayaran honor SKK karyawan yang telat. Bahkan, diberi batas waktu hingga 31 Desember 2019.
Akhirnya, Dewas TVRI melayangkan surat pemberitahuan rencana pemberhentian Dirut TVRI Helmy Yahya ke dewan direksi.
Setelah itu, terjadilah mediasi antara Dewas, Dewan Direksi, Kominfo, dan Komisi I DPR RI pada tanggal 6 Desember 2019.
"Kemudian surat pembelaan pak Dirut kami terima pada tanggal 19 Desember 2019 sehingga akhirnya kami (Dewas TVRI) bersidang dan mengambil keputusan memberhentikan Dirut dengan SK Dewas Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pemberhentian pada tanggal 16 Januari," kata Arief.
Surat Keputusan tersebut juga sudah ditembuskan kepada Presiden Republik Indonesia dan DPR RI serta para menteri kabinet kerja.
Sehingga Dewan Pengawas (Dewas) Televisi Republik Indonesia (TVRI) tidak bisa menganulir keputusan mereka sebelumnya, dengan mengangkat kembali Helmy Yahya menjadi Direktur Utama TVRI.
Untu itu 3 orang anggota Komisi I DPR RI meminta agar Helmy Yahya dihadirkan kembali dalam kapasitasnya sebagai Direktur Utama TVRI dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR berikutnya kendati yang bersangkutan telah diberhentikan oleh Dewas TVRI.
Di antara yang menyuarakan pendapat tersebut adalah anggota Komisi I DPR RI Effendy Simbolon, Taufiq Abdullah, dan Yan Parmenas Mandenas.
Made berpandangan tidak masalah Helmy dihadirkan dalam RDPU Komisi I DPR RI berikutnya. Hanya saja, keinginan sejumlah anggota Komisi I DPR RI agar Helmy menjadi Dirut TVRI kembali berarti melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku.
"Terus buat apa kewenangannya dikasih ke kami. Kami diangkat sebagai dewas kan dengan aturan itu. Nah, sekarang hak kami diambil dan beliau-beliau yang mengangkat kan menurunkan derajatnya sendiri dong," kata Made.
Senada dengan Made, Ketua Dewas TVRI Arief Hidayat Thamrin berpandangan pengangkatan Direktur Utama TVRI menjadi kewenangan yang dimiliki Dewan Pengawas TVRI berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2005.
"Bahwa kewenangan mengangkat dan memberhentikan Dirut ada di Dewas TVRI, sehingga DPR RI sekali pun tidak ada dasar hukumnya untuk mencampuri perusahaan," kata Arief.
Arief menambahkan bahwa hari ini Dewas TVRI hadir lengkap berlima untuk memberi penjelasan kepada Komisi I DPR RI tentang surat keputusan pemberhentian Helmy Yahya beserta alasan pelanggaran yang ada.
"Substansi sudah dibahas, tentang pelanggaran peraturan berdasarkan PP 13/2005 pasal 24, kemudian ada unsur kerugian lembaga, ada in-koordinasi, tentang inefisiensi, dan ada soal tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang sudah agak menyimpang dengan banyaknya program dari luar negeri," kata Arief pula.