Oleh Helmi Adam
Alumni MM Universitas Bhayangkara Jaya.
PDB sebenarnya adalah salah satu indikator yang baik, yang mencerminkan seberapa
banyak kita membelanjakan uang kita satu sama lain. Akan tetapi PDB saja tidak
cukup digunakan sebagai indikator ekonomi untuk melihat kegaggalan atau
keberhasilan. Karena PDB tidak memberikan kepada kita kualitas hidup masyarakat. Hal ini di
karenkan PDB tidak mempertimbangkan semua hal, termasuk yang tidak memiliki
harga. Sebagai contoh layanan kesehatan publik yang baik. Apakah PDB mampu
menilai baik dan buruk, bagus dan jelek, tentu tidak akan pernah bisa Karena PDB
mengukur dengan angka angka.
Ketika Simon Kuznets memperkenalkan PDB
pertama kali pada tahun 1937, ketika itu ia mendapat pekerjaan dari Pemerintah
A.S. untuk membantu menghindari kehancuran dan depresi Wall Street.
Karena saat itu didunia tidak memiliki indikator untuk melihat pertumbuhan dan
kerugian dengan baik. Dan ketika Simon Kuznets memperkenalkan PDB, dia telah
mengingatkan kepada horang-orang, dia berkata, "Jangan gunakan indicator
PDB terlalu banyak."
Tapi Kita tahu ketika itu PDB adalah satu-satunya indikator yang kita
miliki dan berfungsi dengan baik, maka semua orang akan mengoptimalkannya. Lalu
bagaimana untuk society 5.0 bisakah hanya menggunakan PDB sebagai Ukuran. Kita tahu bahwa PDB berpijak pada harga dan mengambil pendekatan ekonomi klasik,
yang sebenarnya tidak cocok digunakan di Negara Negara saat ini. Karena prinsip
“efisiens” dalam ekonomi liberal menyebankan kelumpuhan perkembangan ekonomi
pada mayarakat 4.0.
Indikatornya bisa dilihat pertumbuhan
ekonomi Indonesia dimana pertumbuhan ekonomi mentok lima tahun di masa
distruption di 5% persen dengan inflasi 3 persen sehingga pertumbuahn sebenanya
kalau kita menggunakan teori Todaro hanyalah 2 persen saja. Sementara
penggangguran bertambah, hutang bertambah, tapi ekonomi tidak banyak bergerak
maju. Dan kita selalu berpatokan hanya pada PDB yang berhasil diatas 1 trilyun,
namun kenyataanya kesejahteraan dan daya beli turun.
Beberapa Negara selain menggunakan PDB juga
menggunakan PNB, sehingga mereka bisa mengeluarkan yang semua investasi asing
dan memasukkan semua investasi nasional baik dalam negri dan luar negri, namun
sialnya pengusaha Indonesia tidak punya rasa nasionalisme, mereka senang menyembunyikan hartanya di luar negri, ditambah uang ekport kita bocor ke
Negara lain. Sehingga jika kita menggunakan PNB sebagai indicator pun sulit.
Oleh karena itu, kita perlu memiliki lebih
banyak indikator. Bukan hanya PDB atau PNB tapi juga indicator baru yang mampu
melihat kenyataan hidup masyarakat. Mungkin kita perlu memiliki 3 sampai 5
indokator baru untuk melihat pertunbuhan dan perkembangan masyarakat agar
memiliki tingkat kenyataan yang signifikan. Jadi, sejujurnya, masalah dengan
PDB adalah bahwa itu terlalu sendirian.
Penulis adalah Pendiri Yayasan Syafaat
Indonesia.