Oleh Helmi Adam
Presiden Amerika Serikat Donald Trump berusaha
menerapkan perdagangan new merkantilisme dengan "over protective" terhadap
perdagangan melalui pembatasan terhadap impor dan mendorong eksport. Namun ternyata belum
cukup efektif membantu negara untuk keluar dari defisit. Tercatat pada bulan Desember
2018 neraca perdagangan Amerika Serikat masih mengalami defisit hingga USD 59,8
miliar yang terburuk dalam 10 tahun terakhir.
Yang menjadi keanehan justru nilai tukar mata
uang dollar menguat terus ditengah defisit perdagangan yang dialami AS. Justru
kebalikan dengan Indonesia, dimana Nilai
tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus melemah. Rupiah menyentuh
posisi terlemah pada Jumat (8/3/2018) menjadi Rp
14.230. Rupiah melemah 0,67%
dibandingkan posisi penutupan perdagangan sebelum libur Hari Raya Nyepi. Namun
depresiasi rupiah sedikit berkurang. Pada pukul 09:02 WIB, US$ 1 setara dengan
Rp 14.225 di mana rupiah melemah menjadi 0,64%. Hal ini jadi kali pertama
rupiah menyentuh kisaran Rp 14.200/US$ sejak 22 Januari. Jika pelemahan
rupiah saat ini bertahan hingga penutupan pasar spot, maka rupiah terdepresiasi
6 kali dalam 7 hari perdagangan terakhir. Padahal sejak awal tahun, rupiah
bisa menguat 1,04% dari dolar AS.
Mungkinkah penguatan cukup tajam menjadi rentan terkena koreksi teknikal ? mungkin saja terjadi, karena Investor mencari kesempatan untuk membeli dollar dan mengambil selisih yang cukup dan mereka jadi tergoda untuk mencairkannya. Tekanan jual pun menghantui rupiah sehingga nilainya melemah. Situasi ini ditambah dengan kebutuhan valas perusahaan asing yang meningkat jelang akhir kuartal I, hal ini dikarenakan adanya kewajiban menyetor dividen ke kantor pusatnya. Rupiah pun dijual untuk ditukarkan ke valas demi pembayaran laba.
Pada bulan Januari 2019, neraca perdagangan tercatat defisit US$ 1,16 miliar. Artinya, lebih banyak devisa yang 'terbang' ke luar negeri ketimbang yang masuk. “Boro boro” kita dapat dollar, malah kita menguras cadangan devisa kita untuk diberikan keluar negri. Sementara laju inflasi 'hanya' 2,57% year-on-year atau paling lambat sejak November 2019. Hal ini menyebabkan BI kesulitan untuk menaikan suku bunga acuan guna meningkatkan investasi. Hal ini berakibat kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate yang semakin kecil bahkan bisa jadi turun. Dampaknya investasi di aset-aset berbasis rupiah menjadi kurang menguntungkan. Kalau ini terjadi bisa saja rupiah ditinggalkan investor, oleh karena itu BI harus mewaspadai hal ini.
Sementara sentimen eksternal juga kurang menguntungkan, dimana Dolar AS terus menguat karena perlambatan ekonomi global, Sperti Bank Sentral Uni Eropa menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Zona Euro dari 1,7% menjadi 1,1% untuk 2019. China menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi di 2019 pada kisaran 6-6,5%, dibandingkan pertumbuhan di tahun 2018 yang mencapai 6,6%.
Perlambatan ekonomi dunia menyebabkan investor menahan diri dan tidak berani agresif, hal ini menguntungkan dolar AS yang berstatus sebagai safe haven. Gejala ini bisa dilihat dari dollar Index yang sudah menguat 1,13% dalam sepekan terakhir. Dan kalau dihitung Sejak awal tahun maka kenaikannya sudah mencapai 1,5%.
Kondisi Indonesia saat ini dengan janji janji pemilu dari mulai kartu prakerja yang akan menggaji orang yg nganggur, hingga kenaikan gaji, akan membuat defisit anggaran bertambah besar, memang disisi lain BI bisa menaikkan Bungga acuan karena bisa jadi inflasi bertambah. Tapi akan menjadi beban hutang bertambah, dan ujungnya negara bisa terjual oleh investor asing seperti yang dialami Srilangka dan Negara Negara Afrika.
Penulis Direktur Yayasan Syafaat Foundation.