PDB sebenarnya adalah salah satu indikator
yang baik, yang mencerminkan seberapa banyak kita membelanjakan uang kita satu
sama lain. Akan tetapi PDB saja tidak cukup digunakan sebagai indikator ekonomi
untuk melihat kegaggalan atau keberhasilan. Karena PDB tidak memberikan kepada
kita kualitas hidup masyarakat. Hal ini di karenakan PDB tidak
mempertimbangkan semua hal, termasuk pemerataan. Sebagai contoh layanan
kesehatan publik yang baik. Apakah PDB mampu menilai baik dan buruk, bagus dan
jelek, tentu tidak akan pernah bisa Karena PDB mengukur dengan angka angka.
Ketika Simon Kuznets memperkenalkan PDB
pertama kali pada tahun 1937, ketika AS mengalami resesi, ia mendapat
pekerjaan dari Pemerintah A.S. untuk membantu menghindari kehancuran dan
depresi Wall Street. Karena saat itu didunia tidak memiliki indikator untuk
melihat pertumbuhan dan kerugian dengan baik. Dan ketika Simon Kuznets
memperkenalkan PDB, dia telah mengingatkan kepada orang-orang, dia berkata,
"Jangan gunakan indikator PDB terlalu banyak."
Tapi Kita tahu ketika itu PDB
adalah satu-satunya indikator yang kita miliki dan berfungsi dengan baik, maka
semua orang akan mengoptimalkannya. Lalu bagaimana untuk era digital saat ini
?, bisakah hanya menggunakan PDB sebagai Ukuran kesejahtraan suatu negara ?..
Kita tahu bahwa PDB berpijak pada harga dan mengambil pendekatan ekonomi
klasik, yang sebenarnya tidak cocok digunakan di Negara Negara saat ini. Karena
prinsip “efisiens” dalam ekonomi liberal menyebabkan kelumpuhan ekonomi
kerakyatan.
Indikatornya bisa dilihat pertumbuhan
ekonomi Indonesia, dimana pertumbuhan ekonomi mentok lima tahun di angka 5% persen. Dengan inflasi mencapai inflasi 3 persen, maka pertumbuhan
sebenarnya, hanya lah 2 persen saja. Karena menurut Todaro pertumbuhan ekonomi harus dikurangi oleh
inflasi untuk mendpatkan pertumbuhan yang sebenarnya. Hal ini bisa kita lihat di
Indonesia saat ini, Seperti penggangguran bertambah, padahal utang bertambah,
dan ekonomi tidak banyak bergerak maju. Hal ini karena kita selalu berpatokan hanya pada PDB semata
untuk mengukur keberhasilan, namun kenyataanya kesejahteraan dan daya beli
turun.
Di
beberapa Negara selain mereka menggunakan PDB, tetapi juga menggunakan PNB,
sehingga mereka bisa mengeluarkan semua
investasi asing, dan memasukkan semua investasi nasional, baik dari dalam negri
maupun luar negri. Namun sialnya pengusaha Indonesia tidak punya rasa
nasionalisme, mereka senang menyembunyikan hartanya di luar negri, ditambah
uang ekspor kita bocor ke Negara lain. Sehingga kita tidak bisa menggunakan PNB sebagai
indikator.
Oleh karena itu, kita perlu memiliki lebih
banyak indikator. Bukan hanya PDB atau PNB tapi juga indicator baru yang mampu
melihat kenyataan hidup masyarakat. Mungkin kita perlu memiliki 3 sampai 5
indikator baru untuk melihat pertunbuhan dan perkembangan masyarakat, agar
memiliki tingkat pendekatan dengan kenyataan yang sesungguhnya. Jadi, masalah kita dengan PDB, adalah bahwa PDB
terlalu monopolistik digunakan sebagai ukuran kesejahtraan.
Padahal Kuznet sendiri menggunakan PDB pada awalnya hanya untuk melihat indikasi
akan datangnya resesi.
Sudah saatnya Indonesia mengumpulkan ahli
ekonomi untuk memiliki alat ukur baru untuk mengukur kemajuan dan kesejahtaraan rakyat.
Kuznet menemukan PDB sebagai alat ukur sudah 82 tahun yang lalu, saat masih
revolusi industry 2.0, sekarang sudah masuk ke society 5.0 ,kita masih
menggunakan ukuran yang sama.
Untuk itu indonesia harus memiliki ukuran yang akurat jangan terbuai oleh indahnya angka nagka statistik. Apalagi ada usaha untuk memberikan laporan "kinclong" yang dilkukan oleh pejabat kita, seperti laporan keuangan Garuda yang bemasalah. BPS haruslah melakukan kajian yang mendalam tentang batas kemiskinan unuk menjadi standar yang sesungguhnya bukan standar asal bapak senang. Dan kita juga harus melakukan redefinisi ulang kalau memasukkan gojek, dan grab sebagai pekerjaan formal. Karena jika tidak akan terjadi tumpang tindih, dan data menjadi tidak sesuai dengan data dilapangan. Bukankah banyak supir ataupun pengendara gojek yang menjadikan profesi sambilan untuk menambah keuangan keluarga ? jika gojek atau grab dimasukan sebagai pekerjaan, maka dapat dipastikan data tentang pengangguran menjadi tidak valid.
Untuk itu indonesia harus memiliki ukuran yang akurat jangan terbuai oleh indahnya angka nagka statistik. Apalagi ada usaha untuk memberikan laporan "kinclong" yang dilkukan oleh pejabat kita, seperti laporan keuangan Garuda yang bemasalah. BPS haruslah melakukan kajian yang mendalam tentang batas kemiskinan unuk menjadi standar yang sesungguhnya bukan standar asal bapak senang. Dan kita juga harus melakukan redefinisi ulang kalau memasukkan gojek, dan grab sebagai pekerjaan formal. Karena jika tidak akan terjadi tumpang tindih, dan data menjadi tidak sesuai dengan data dilapangan. Bukankah banyak supir ataupun pengendara gojek yang menjadikan profesi sambilan untuk menambah keuangan keluarga ? jika gojek atau grab dimasukan sebagai pekerjaan, maka dapat dipastikan data tentang pengangguran menjadi tidak valid.
Penulis adalah Peneliti Ekonomi Syafaat Foundation Indonesia.