Oleh Helmi Adam
Presiden akan menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2020 di hadapan rakyat yang diwakili oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)-RI. Sebelum Jokowi memaparkan RAPBN 2019-2024, ada baiknya kita tinjau ulang 'racikan' APBN era Jokowi pada (2014-2019).
Namun APBN yang menjadi tinjauan hanyalah periode 2015-2018. Periode tersebut dipilih karena Jokowi sudah penuh menjabat di tahun berjalan. Sedangkan tahun 2019 belum dapat ditinjau karena Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) belum selesai. Sehingga untuk mengukurnya kita butuh pembanding, yaitu APBN presiden pendahulu Jokowi, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode 2010-2013 yang akan kita pakai, karena bisa mencerminkan fase pemerintahan yang sama.
Pada awal pemerintahan SBY, pertumbuhan anggaran belanja negara memang agak berbeda kondisinya dibandingkan jaman Jokowi. Pada tahun 2010-2013, rata-rata pertumbuhan anggaran belanja negara SBY adalah 15,32%. Sedangkan era Jokowi 2015-2018 hanya sebesar 5,68%.
Di era SBY, kondisi keuangan pemerintah banyak terbantu oleh pesatnya pertumbuhan ekonomi akibat harga-harga komoditas yang menjulang tinggi, namun di masa Jokowi Justru sebaliknya. Sayangnya pertumbuhan utang begitu pesat di era Jokowi, sebesar Rp 1.813.7 Trilyun (2014-2018), di bandingkan era SBY hanya tumbuh Rp 695.24 trilyun. Sehingga pertumbuhan Pembayaran Bunga Utang cukup pesat pula. Pada 2015-2018, rata-rata pertumbuhan pembayaran bunga utang sebesar 17,81%, jauh lebih besar dibanding periode 2010-2013 yang hanya 5%.Tak heran apabila anggaran belanja pemerintah pusat yang dialokasikan untuk pembayaran bunga utang di era Jokowi tumbuh sangat pesat. Sayangnya itu terjadi kala pertumbuhan total anggaran belanja negara melambat.
Utang merupakan salah satu instrumen yang bisa digunakan untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Ada banyak hal yang bisa digenjot dengan adanya tambahan modal.Karena rasio utang pemerintah Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) berada di kisaran 30% yang artinya masih jauh dari batas yang ditetapkan Undang-Undang sebesar 60%. Artinya masih ada ruang yang cukup lebar untuk menambah utang pemerintah.
Namun sayangnya.postur anggaran pemerintah Jokowi dalam empat tahun ini, rata-rata sepanjang periode 2015-2018, hanya dimanfaatkan untuk keperluan belanja pegawai. Jika dibanding rata-rata di era SBY meningkat dari hanya 20,05% menjadi 24,72 %. Selain itu, rata-rata porsi belanja barang Jokowi juga cukup besar, yaitu mencapai 22,32%. Lebih tinggi 8,08 persen dibanding SBY yang hanya 14,24%.
justru yang menarik adalah rata-rata belanja modal yang dilakukan Jokowi, yaitu sebesar 15,53%, naik tipis sebesar 1,75 persen poin dibanding SBY. Artinya pemerintah Jokowi lebih gemar mengalokasikan dana untuk menambah belanja pegawai dan belanja barang. Sementara belanja modal agak dikesampingkan. Padahal, kita ketahui bahwa belanja modal bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih pesat dibanding aktivitas konsumsi seperti belanja barang.
Setiap 1% kenaikan belanja investasi bisa mendorong ekonomi sebesar 0,2%. Bandingkan dengan belanja konsumsi yang hanya 0,03%. sementara Jokowi memangkas porsi belanja untuk subsidi dan bantuan sosial.
Porsi belanja subsidi di era Jokowi hanya 14,73%, jauh terpangkas dari SBY 2010-2013 yang mencapai 31,63%. Sementara porsi belanja bantuan sosial turun dari 8,4% menjadi 5,7%..Disisi lain Pmerintah tetap berutang untuk mewujudkan pertumbuhan belanja pegawai dan belanja barang yang lebih besar. Otomatis porsi pembayaran bunga utang di era Jokowi juga naik 5,2% poin menjadi 15,98% dari posisi SBY yang sebesar 10,78%.
Untuk itu, ada baiknya pemerintah coba meracik ulang alokasi dana utang yang nanti pasti akan ditambah lagi. Karena utang akan sia sia jika tidak digunakan untuk belanja modal. Akhirnya utang hanya akan menambah beban anggaran saja,….