Trilogi Korupsi :
Tulisan Pertama Dari 3 Tulisan
Oleh : Asp Andy Syam
Kenapa pemberantasan korupsi terkesan gagal di Indonesia. Reformasi Peraturan dan Kelembagaan sudah dilakukan. Institusi KPK sejak berdirinya (2002) sudah bekerja keras menangkap dan memenjarakan para Koruptor, tapi korupsi makin banyak dan makin heboh.Memberatas korupsi seperti memotong rumput, makin dipotong rumputnya makin subur tumbuhnya.
Seperti pelacuran selalu ditertibkan tapi terus ada bertumbuh, baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Tiga Tulisan ini mencoba melihat dari sisi budaya dan manusia Indonesia.
Mithos baru
Para ahli pencerahan mengatakan bahwa sistem kepercyaan membentuk kehidupan kita. Pikiran manusia cenderung membangun sistem kepercayaan sebagai budaya sesuai zamanya.
Suatu mithos baru sebagai sistem kepercayaan diera modern yang berkelipahan bahwa kekayaan (banyak uang dan harta) adalah suatu kehormatan. Kekayaan mengangkat popularitas dan membuat kita dipuji dan disanjung. Typelogi manusia yang percaya dengan mithos ini sangat ambisius menonjolkan diri, mencari popularitas, suka pamer termasuk dalam hal sumbangan, agar dikenal dan tergetnya adalah posisi dimana saja dia bisa dapatkan. Dari posisi itu mengharapkan sanjungan dan keharuman nama, sekaligus bisa memberikan kesempatan untuk mengakumulasi kekayaan, setidaknya balik modal yang pernah digunakan untuk merebut posisi dimaksud.
Karena mithos yang membius sehingga kurang disadari bahwa yang bernilai bukan awalnya tetapi akhirnya. Akhir lebih baik dari awal.Tentu ada yang selamat, tetapi banyak juga akhirnya hancur kehormatannya, hanya mempertinggi tempat jatuhnya , lulu menjadi penghuni bui (penjara). Menjadi korban mithos yang dipercayainya..
Trend Persaingan
Karenanya, budaya perlombaan (berlomba-lomba) jadi orang kaya. Uang dan harta menjadi target utama dan alat utama untuk meraih posisi apapun.Inilah trend 'persaingan' abad ini menjadi budaya yang melanda semua orang. Dari level rendah hingga tinggi. Dari profesi, praktisi bisnis hingga politisi. Suatu budaya persaingan negatif. Padahal Tuhan menyuruh dalam persaingan positif (fastabiqul khairat- berlomba-lomba berbuat baik). Anjuran Tuhan itu dibalik. Mereka berfikir kita harus kaya dulu baru berbuat baik. Tapi hasilnya, tak ada lagi kesempatan berbuat baik, ketika mereka akhirnya mendekam dalam bui ( penjara) sebagai balasan memburu kekayaan. Dalam Al -Kitab (Al-Qur'an) disebut kan, 'Tuhan tidak menganiaya mereka tapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Akibat perbuatan tangan mereka sendiri. Kedunguanlah yang membuat mereka teraniaya.
Korban berjatuhan
Dari budaya memburu kekayaan, akibatnya tak habisnya habisnya pemburuan para koruptor. Korban pun silih berganti. Dari kasus Bank Century, kasus eKTP hingga kasus Jiwasraya dan Asabri. Kuantiti penjarahan uang meningkat secara siknifikan, baik jumlah uang maupun jumlah institusi yang mengalami. Awal reformasi kasus BLBI (4,5 T). Menyusul Bank Century (6 T), Hambalang (700 M).Era rezim ini hampir serentak kasus eKTP (2,3 T) Pelindo (6 T), Jiwasraya ( 13,10 T), Asabri ( 10 T ) Kota Waringin (5,8 T).
Ribuan anggota Legislatif dan pejabat daerah terseret masuk kedalam labirin korupsi. Banyak diantaranya mantan aktivis yang dulu idealis di Kampus, menariakkan "amar ma'ruf nahi mungkar" tapi kini juga jadi mahluk pemburu harta yang serakah dan banyak jadi korban.
Melampaui warisan budaya
Kalau zaman dulu, model budayanya lain.Masih ingat tokoh pers Muchtar Lubis di suatu kesempatan diskusi menyatakan, bangsa ini punya warisan budaya korupsi. Sistem upeti yang berlaku di zaman feodal dan berlanjut zaman penjajahan mewariskan budaya korupsi.
Betullah kata Bung Hatta Bapak Proklamator bahwa korupsi sudah membudaya. Hal itu diucapkannya dimasa ekonomi sangat sulit (1950-1965).
Kalau dulu zaman feodal dan kolonial itu, para pejabat menanti datangnya upeti. Tapi kini bukan menanti, tapi pro aktif mengambil dan meminta bagian, melihat kesempatan, menyalah digunakan sewenang atau jabatan. Mereka berlomba- lomba meraup rezeki haram, tidak peduli siapa yang rugi (negara atau institusi).
Muchtar Lubis dalam ceramahnya dulu di TIM kemudian jadi buku :Manusia Indonesia suatu Pertanggungan Jawab. Ia mengulas budaya manusia Indonesia yang malas, ingin gampangnya, suka jadi calo, dll. Itulah budaya berfikir yang buruk. Malas, enggan bekerja keras, tapi ingin cepat kaya. Para anggota legislatif (DPR dan DPRD) mestinya mengawasi, tapi malah jadi calo anggaran menerima suap sebagai cara muda untuk kaya. Tidak bersyukur dengan gaji dan tunjangan besar. Tapi akhirnya masuk bui (penjara)
Budaya menghancurkan penegakan hukum
Yang lebih mengerikan lagi karena budaya itu juga menghancurkan sistem penegakan hukum. Acaman hukuman bukan makin berat, tapi justeru makin ringan hukumannya dan ada remisi sebagai pemotongan hukuman. Akibatnya masyarakat melihat bahwa hukum itu tidak menujukkan menjerahan dan menakutkan.
Aparat hukum pun banyak yang jadi korban KPK.Karena itu para koruptor tidak takut pada penegak hukum karena mereka menganggap punya ambisi yang sama untuk jadi kaya. Inilah persamaan berfikir yang negatif yang terus ada, jadi budaya sehingga tidak maksimal pemberantasan korupsi.
Juga muncul penguasa baru merubah cara pemberantasan korupsi. Membuat tumpulnya taji KPK. Kini KPK KPK tidak lagi luluasa melakukan tangkap tangan. KPK bisa dihambat oleh Satpam bila ingin menggeledah.
Demikianlah kemunduran reformasi hukum pemberantasan korupsi.
Penulis adalah Budayawan, Peduli pada Kepemimpinan bangsa.