Melihat penderitaan yang begitu buruk dialami Rasulullah, Utbah dan Syaibah merasa iba. Mereka menyuruh seorang budak mereka untuk memberikan buah anggur kepada Rasulullah.
Rasulullah menjulurkan tangan untuk memgambil anggur seraya mengucap, "Bismillah."
Budak itu terkejut keheranan mendengar ucapan itu.
"Kata-kata itu tidak pernah diucapkan oleh penduduk negeri ini." ujarnya.
Kemudian, Rasulullah bertanya kepada sang budak siapa namanya dan dari negeri mana dia berasal, serta apa agamanya.
"Namaku Addas, aku berasal dari Niniveh di Mesopotamia. Aku beragama Nasrani."
Rasulullah kemudian berkata lagi, "Dari negeri baik-baik, Yunus bin Matta."
Dengan rasa heran yang lebih besar daripada sebelumnya, Addas bertanya, "Darimana Tuan tahu nama Yunus bin Matta?"
"Dia saudaraku," jawab Rasulullah, "dia seorang nabi dan aku juga seorang nabi."
Mendengar itu, hati Addas dipenuhi rasa haru yang menyengat. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia mencium kepala, tangan, dan kaki Rasulullah.
Utbah dan Syaibah memerhatikan hal itu dengan heran.
"Lihat, ia merusak budakmu," kata Syaibah.
Ketika Addas kembali, mereka bertanya dengan marah,
"Mengapa pula engkau cium kepala, tangan, dan kaki orang itu?"
"Itulah laki-laki yang paling baik di negeri ini," jawab Addas.
"Ia mengatakan sesuatu yang hanya diketahui oleh para nabi." Tambahnya
Utbah dan Syaibah saling pandang sebelum berkata dengan keras,
"Addas, jangan sampai orang itu memalingkan engkau dari agamamu. Agamamu itu lebih baik daripada agamanya."
”
Alangkah indahnya apa yang ditulis oleh mendiang Mushtafa Shadiq ar-Rafi’i tentang rasa kemanusiaan dan ibanya hati Ibnu Rabi’ah. Hal itu ia sebut di akhir makalahnya (falsafat kisah) sesudah kisah Addas dan kedua anak Rabi’ah. Dia berkata:
“Duhai alangkah anehnya rumusan taqdir pada kisah ini!
Kebaikan dan kemuliaan serta pengagungan demikian cepatnya, dia menghadap meminta maaf dari kejelekan, kebodohan, dan kecerobohan disertai dengan ciuman penghormatan setelah kalimat permusuhan.
Kedua anak Rabi’ah termasuk musuh berat Islam dan mereka termasuk dari orang yang menemui paman Nabi dari para pemuka Quraisy, yang merencanakan untuk menyingkirkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau membiarkan mereka beraksi terhadap Beliau atau memeranginya hingga celaka salah satu dari keduanya. Sifat berbalik menjadi makna kemanusiaan yang dibawa oleh agama, karena masa depan agama dengan berfikir, bukannya dengan menuruti perasaan.
Datanglah Nashraniyyah merangkul Islam dan mengagungkannya, suatu agama dikatakan sebagai agama yang benar karena berasal dari sumber yang sama, sebagaimana seseorang berasal dari satu nasab dengan saudaranya, hanya saja persaudaraan itu diikat dengan pertalian darah, sedangkan agama itu pertalian dengan akal.
Kemudian taqdir menyempurnakan ciri khasnya dalam kisah ini dengan memetik anggur yang segar penuh dengan rasa manis. Maka dengan nama Allah buah anggur itu dipetik sebagai tanda akan keagungan Islam yang penuh dengan kecintaan dan setiap biji darinya, bagaikan kerajaan.”
Di parlemen Mekah –Daar an-Nadwah- kaum musyrikin menggelar pertemuan paling kejinya dalam sejarah bangunan ini. Mereka merencanakan taktik yang mematikan –menurut mereka- yang bisa memadamkan cahaya kehidupan dalam waktu singkat, dengan membunuh Nabi tercinta shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dahulu, yang paling menonjol di antara orang-orang zhalim yang datang menggencet guna melampiaskan kedengkian dan perbuatan yang melampaui batas, adalah Utbah bin Rabi;ah dan saudaranya Syaibah bin Rabi’ah, Firaunnya umat ini Abu Jahal bin Hisyam, Umayyah bin Khalaf, An-Nadhr bin al-Harits dan yang lainnya, dari orang-orang yang dikuasai api kedengkian di hati yang membakar jiwa mereka.
Tatkala mereka sepakat untuk membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jibril turun mewahyukan apa yang dari Allah dan mengabari Beliau mengenai rencana Quraisy, dan Allah mengizinkan Beliau untuk hijrah.
Jibril mengabarkan dari Allah Ta’ala, “Malam ini janganlah engkau tidur di atas kasurmu sebagaimana biasanya.”
Para tentara berjaga malam, menunggu detik-deitk menegangkan itu, sedangkan Allah yang Maha Unggul dalam perkara-Nya.
“Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (QS. Al-Anfaal: 30)
Mereka tetap dalam keadaan merugi, berjatuhanlah apa-apa yang ada di tangan mereka, menjadi gilalah orang-orang itu, tatkala mendapati kegagalan tipu daya busuk mereka.
Di saat berkeliling antara rumah-rumah kaum muhajirin, Utbah bin Rabi’ah lewat dan melihat rumah-rumah yang pintunya tertutup tak berpenghuni. Maka sifat kemanusiaan tergerak, dan menarik nafas panjang sebagaimana yang digambarkan Abu Duad al-Iyadi:
Setiap rumah meski lama keselamatannya pada suatu saat akan menemui bencana dan kebinasaan yang menimpanya
Akan tetapi apa untungnya dari merintih? Utbah sendiri termasuk orang-orang yang mengacuhkan Alquran atau orang-orang yang berpaling dari jalan Allah ‘Azza wa Jalla dan menyiksa kaum mukminin. Di antara mereka, anaknya sendiri Abu Hudzaifah yang ikut hijrah dua kali, karena menyelamatkan agamanya dari cengkraman Utbah dan kelompoknya, lalu apa lagi wahai Utbah?!
Jika Saja Mereka Taat Niscaya Mendapat Petunjuk
Utbah bin Rabi’ah berjalan menuju Badr bersama orang-orang Quraisy, guna berperang menghadapi kaum muslimin. Di Badr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Utbah menunggang unta merah miliknya, Beliau bersabda, “Jika ada kebaikan pada seseorang di kaum itu, niscaya hal itu terdapat pada penunggang unta merah, jika mereka menaatinya niscaya mereka mendapat petunjuk.”
Dan inilah hakekat kenabian, Hakim bin Hizam –dia termasuk intelek dari kalangan Quraisy- berusaha menemui Utbah bin Rabi’ah seraya berkata:
“Wahai Abu Walid, sesungguhnya engkau pemebsar Quraisy dan pemuka yang ditaati, apakah engkau ingin agar senantiasa dikenang sepanjang masa?”
Utbah menjawab, “Apa maksudmu wahai Hakim?”
Hakim berkata, “Pulanglah bersama orang-orang dan tanggunglah diyat Amr Ibnul Hadrami.” Dia rekan Utbah dan terbunuh dalam pertempuran Nakhlah yang dimpin Abdullah bin Jahsy.
Utbah berkata, “Saya telah melakukannya, engkau jaminannya bagiku, sedangkan aku menanggung diyatnya dan apa yang menimpa hartanya, datangkanlah si Sial bin al-Handzaliyyah –maksudnya Abu Jahal dan Al-Handzaliyyah adalah ibunya- sesungguhnya aku tidak takut, akan percekcokan dalam persatuan suku karenanya darinya.”
Kemudian Utbah berdiri di hadapan khalayak yang berusaha untuk bergabung di antara orang-orang Quraisy seraya berkata, “Wahai kaum Quraisy, demi Allah kalian tidak patut berhadapan dengan Muhammad dan para sahabatnya sedikit pun, demi Allah seandainya kalian menang, niscaya seorang laki-laki akan melihat kepada yang lain dengan pandangan kebencian. Anak pamannya terbunuh (dari ayah atau ibunya) atau seseorang dari keluarganya. Maka pualgnlah! Dan biarkanlah urusan antara Muhammad dengan seluruh orang Arab. Jika mereka membunuhnya maka kemauan kalian tercapai, jika tidak, dia telah melalaikan kalian, walaupun kalian tidak mendapatkan apa yang kalian inginkan.
Utbah dan Kecemburuan Abu Jahal
Hakim bin Hizam pergi bergegas menemui Abu Jahal dan mengabarinya bahwa Utbah bin Rabi’ah mengutusnya untuk ini dan itunya. Maka Abu Jahal berkata dengan perasaan diliputi kecemburuan dan dosa, “Demi Allah, telah menjalar perasaan takutnyanya tatkala melihat Muhammad dan para sahabatnya. Demi Allah, kami tidak akan pulang sebelum Allah memutuskan perkara antara kami dengan Muahmmad. Akant etapi dia melihat Muhammad dan sahabatnya pemakan sesembelihan unta, dan di antara mereka ada anaknya –yaitu Abu Hudzaifah bin Utbah- ia yang telah menakuti kalian terhadapnya.
Tatkala Utbah mendengar perkataan Abu Jahal, menjalar perasaan takutnya. Utbah berkata, “Dia akan mengetahui siapa yang dijangkiti rasa takut, aku ataukah dia.” Si Utbah memiliki firasat yang tidak dimiliki oleh Abu Jahal. Dia berkata kepada orang yang ada di sekelilingnya saat perang Badr setelah melihat pasukan kaum muslimin, “Tidakkah kalian lihat mereka 0maksudnya apra sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– dalam keadaan berlutut di atas tunggangannya seakan-akan mereka bisu, seraya menjulurkan lidahnya bagaikan ular.”
Abu Jahal mampu memporak-porndakan pasukan tersebut, menyulut api fitnah, meniup api peperangan dan alangkah berat baginya (gengsi) kalau Utbah memimpin Quraisy serta merampas hal itu darinya. Dia membujuk Amr Ibnul Hadrami guna menuntut balas atas kematian saudaraya Amr. Dia memenuhi Amr dan berteriak, “Duhai Amrku duhai Amrku.” Maka kaum itu menjadi panas, kecerobohan mengalahkan kearifan, dan perkara Allah telah ditentukan.
Terbunuhnya Utbah dalam Pertempuran
Genderang perang telah ditabuh, Utbah memakai pakaian perangnya dalam keadaan marah. Dia merabah kain putih untuk dimasukkan ke dalam kepalanya, maka dia tidak mendapati dalam pasukan itu kain putih yang cukup karena kebesaran kepalanya. Tatkala dia melihat hal itu, dia mencukupkan kainnya untuk kepala. Kemudian Utbah keluar di antara saudaranya untuk beradu tanding. Utbah menginginkan dari kecerobohan yang dungu ini untuk menampakkan keberaniannya dan membantah celaan Abu Jahal terhadapnya berupa sifat pengecut dan takut.
Di medan pertempuran Utbah berdiri beserta orang-orang yang bersamanya yang baka menjadi kayu bakar api Neraka berseru memanggil, “Wahai Muhammad, keluarkanlah mereka yang sebanding dengan kami dari para pembesar kaum.”
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bangkitlah wahai Ubaidah Ibnul Harits, bangkitlah wahai Hamzah dan bangunlah wahai Ali.”
Ubaidah berhadapan dengan Utbah, Hamzah menghadapi Syaibah dan Ali bertarung dengan Al-Walid bin Utbah. Ali berhasil membunuh Al-Walid, demikian pula Hamzah berhasil membunuh Syaibah. Sementara Ubaidah dan Utbah sama-sama terluka masing-masing terkena dua pukulan. Maka Hamzah dan Ali segera melindungi temannya dari Utbah.
Usai pertandingan ditandai dengan terbunuhnya musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di tangan para pahlawan Islam, kedua pasukan beradu. Tak lama kemudian orang-orang jahat yaitu kaum musyrikin terpukul mundur dan kalah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari- berada dalam kubah di Badr, Beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta jaminan dan janji-Mu, ya Allah jika Engkau menghendaki, Engkau tidak akan disembah setelah hari ini untuk selamanya.” Kemudian Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengambil tangan Beliau seraya berkata, “Cukup bagimu wahai Rasulullah, engkau telah berulang-ulang memohon kepada Rabbmu.” Beliau mengenakan tameng, lantas Beliau keluar seraya membaca firman Allah:
“Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang. Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (QS. Al-Qamar: 45-46)
Demikianlah Utbah bin Rabi’ah bersama 70 pembesar Quraisy menemui kebinasaan mereka, laknat Allah benar-benar menimpa musuh, hingga mereka terbunuh dengan cara demikian. Sebagian ditawan dan yang lain tercerai berai bertebaran di muka bumi, melarikan diri karena takut berhadapan dengan tentara yang beriman. Maha benar Allah dengan janjinya, dia memuliakan pasukan-Nya, menolong hamba-Nya dan kalahlah orang-orang yang berdosa. Dia memenuhi janji-Nya terhadap Rasul-Nya berupa kemenangan yang menakjubkan dan membuatnya perkasa. Jumlah sedikit yang bersabar menang atas kaum kafir yang berdosa dengan jumlah yang banyak.
Dan yang patut disebut di sini bahwa para perawi menyebutkan bahwa Utbah tatkala terbunuh usianya 140 tahun sedangkan Syaibah lebih tua darinya tiga tahun. Indah apa yang diungkapkan Ibnu Jabir al-Andalusi rahimahullah saat menggambarkan perang Bdr dan pertempuran kaum musyrikin dengan berkata:
“Bulan di hari Badr telah nampak menyinari sekelilingnya bintang-bintang di angkasa telah menampakkan cahayanya. Jibril bergabung di antara Malaikat yang mendekatinya. Tidaklah jumlah musuh yang banyak, dapat mengangkat kehinaan pada mereka. Dia melempar dengan batu ke muka kaum itu Lantas ia mengoyaknya hingga membuat kenikmatan tersebut seakan hilang. Dia berbuat baik dengan mengawasi hingga mereka selamat Dia membuat jiwa menjadi baik setiap kali ia membatu. Tanyakanlah kepada mereka Ubaidah dan Hamzah serta perhatikanlah pembicaraan mereka pada hari itu tentang Ali. Mereka menghukum Utbah dengan pedang saat dia nampak maka Al-Walid merasakan kematian itu yang tak terwakilkan. Dan Syaikh tatkala muda diliputi rasa takut yang menghantui kepadanya dipercayakan untuk mengubah keadaan dengan cepat. Abu Jahal memilih kebodohan yang nyata, pagi-pagi sekali dia kembali dengan kematian yang menghinakan. Dia berputar-putar dalam kelompok dan kaumnya. Mereka menggiringnya ke sumur sebagai tempat kembali.”
Sumber: Orang-orang yang Divonis Masuk Neraka, Pustaka Darul Ilmi, Cetakan Pertama Sya’ban 1429 H/ Agustus 2008 M
Artikel www.KisahMuslim.com