Oleh Helmi
Adam
Kartu pra
kerja belum jelas peruntukkannya, dan ternyata belum ada anggaranya di 2020.
Namun sebagai Niat positif yang dijanjikan pak Jokowi sbeagi janjinya aclon
presiden.Janji ini bisa saja diterapkan
di Indonesia. Karena definisi bantuan bagi pengangguran diambil dari arti kata
manfaat pengangguran (unemployment benefit) dan juga juga biasa disebut
asuransi pengangguran (unemployment insurance) yang dibayarkan oleh
sistem asuransi pemerintah, bukan dari pajak. Ingat, bukan dari pajak.
Dana yang
diberikan sangat tergantung dari
perjanjian yang dibuat, bisa sedikit, mencakup kebutuhan dasar, atau bahkan
dapat mengompensasi waktu yang hilang ketika dia digaji. Bantuan sosial
tersebut, diberikan kepada orang yang pernah bekerja. dan tidak lagi bekerja
karena terkena penghentian hubungan kerja (PHK), Dan bukan karena pemecatan
secara tidak hormat. Jadi kartu pra kerja bukan untuk semua pengangguran baru,
pada sistem ini adalah kepada mereka yang pernah bekerja. Jadi, tidak
seluruh penduduk yang mendapatkan bantuan tersebut, melainkan orang yang pernah
bekerja dan masih berumur produktif atau masih berada pada usia kerja.
Pada konsep
Negara Welfare state. asuransi pengangguran memiliki fasilitas bantuan sosial
Negara. Sehingga muncul beberapa diantaranya adalah Bantuan Sementara
untuk Keluarga yang Membutuhkan (TANF), Suplemental Security Income (SSI) untuk
penduduk jompo dan cacat, dan Program Bantuan Nutrisi Suplemental (SNAP)
berbentuk subsidi pembelian makanan untuk masyarakat berpenghasilan
rendah.
Sejarah asuransi
pekerja dimulai di Inggris, ketika dikeluarkannya Undang-undang Asuransi
Nasional 1911, yang selain bertujuan memerangi sakit, cacat, dan pengangguran,
juga mengurangi pengaruh dari Partai Buruh di lingkungan kelas pekerja.
Bantuan diberikan setelah seseorang menjadi pengangguran sepekan sehingga
berhak menerima dana 7 shilling per pekan hingga maksimal total 15 pekan dalam
setahun. Setelah
aturan keluar, pada 2013 tercatat 2,3 juta pekerja terdaftar untuk asuransi
pengangguran tersebut. Setelah Perang Dunia II, merebaklah konsep negara
sejahtera (welfare state), sehingga kesejahteraan karyawan dan pekerja
mulai menjadi perhatian luas, termasuk pengangguran. Saat
ini, program asuransi pengangguran di AS membayarkan dana beragam dengan rentang
US$ 235 per pekan di Wisconsin dan US$ 783 per pekan di Massachusetts.
Lalu
mungkinkah program itu diterapkan di Indonesia? Di Indonesia sebetulnya
sudah ada asuransi tenaga kerja melalui BPJS Ketenagakerjaan yang wajib
dibayarkan pemberi kerja bersama dengan pegawainya. Namun sayangnya
asuransi itu hanya mencakup asuransi kecelakaan dan asuransi jiwa saja, belum
mencakup risiko dipecat tanpa sebab, atau karena kondisi ekonomi. Jika
rencana gaji pengangguran itu benar direalisasikan, ada kemungkinan akan
ditambahkan di dalam BPJS Ketenagakerjaan, baik premi maupun manfaatnya.
Untuk besaran dana, tentu dari data pengangguran terakhir pada Agustus 2018
dapat ditilik dari jumlah pengangguran saat ini ada 7 juta orang dan dengan
bantuan dana yang mirip dengan yang ada di AS.
Di Negeri
Paman Trump digunakan patokan yaitu US$ 235 per pekan (setara Rp
3,36 juta) hingga 6 bulan atau setelah mendapatkan pekerjaan baru. Namun,
jangan langsung ditarik ke Indonesia, karena ada baiknya membandingkan besaran
tersebut dengan upah minimumnya supaya perbandingannya lebih adil (apple to
apple), yaitu menggunakan rasio asuransi pengangguran dengan upah minimum
nasionalnya. Pemerintahan
AS menentukan besaran minimum gaji adalah US$ 7,25 per jam, dan dengan
dikalikan 40 jam kerja maka artinya dalam sepekan gaji minimum akan sejumlah
US$ 290 (setara Rp 4,15 juta). Artinya, rasio asuransi pengangguran
terhadap upah minimum adalah 81,03%, meskipun angka penerimaan asuransi itu
masih kotor sehingga harus dikurangi pajak, dan banyak yang beranggapan rasio
kotor dari asuransi pengangguran adalah separuh gaji ketika kerja.
Di
Indonesia, Upah minimum yang berlaku 2019 memiliki rentang Rp 1,57 juta di
Jogjakarta-Rp 3,94 juta di Jakarta. Mengacu deretan angka tiap provinsi,
maka rata rata upah minimum adalah Rp 2,11 juta per bulan, atau artinya Rp
528.564 per pekan. Kalau
kita menggunakan rasio upah minimum di AS yaitu 81,03% dari upah
minimum nasional, maka dana bantuan pengangguran yang cocok di Indonesia adalah
Rp 425.000 per pekan atau Rp 1,7 juta per bulan, atau Rp 10,2 juta per 6
bulan. Maka secara sederhana tinggal dikalikan dengan angka pengangguran
di Indonesia yang sudah ada, yaitu 7 juta jiwa, yang artinya pemerintah harus
menyediakan dana Rp 11,9 triliun per bulan, atau Rp 71,4 triliun per 6 bulan.
Namun, patut
diingat bahwa dana bantuan pengangguran itu didanai pajak yang dibayarkan oleh
pemberi kerja (korporasi, employer) yang dananya dikelola oleh
pemerintah, bukan didanai seluruhnya dari kantong APBN. Untuk
pos belanja pegawai negeri sipilnya pada APBN 2019 Rp 381,56 triliun, tentu
tidak akan berisiko membengkak karena relatif tidak ada risiko pemecatan tidak
beralasan dalam struktur kepegawaian di kementerian lembaga dan kantor aparatur
negara.
Otomatis,
fasilitas asuransi pengangguran itu hanya akan berdampak pada budget korporasi,
yaitu dari iuran beban pajak yang akan bertambah posnya.Pertanyaanya justru
maukah korporasi mendanai ini ?. Karena akan menyebabkan terjadinya biaya
tambahan. Mengadopsi praktik yang masih berjalan di AS bahwa, bantuan sosial
tersebut diberikan kepada orang yang pernah bekerja, jadi tidak seluruh
penduduk yang mendapatkan bantuan tersebut, apalagi gelandangan.
Sistemnya pun tidak mudah, karena setiap pengangguran yang mengajukan
bantuan tersebut harus dikonfrontir dengan pemberi kerja untuk membuktikan
tidak terkait dengan kasus apapun melalui beberapa fase. Selain itu, si
pengaju harus membuktikan sudah melamar tiga pekerjaan dalam sepekan, dan
beberapa ketentuan lain.
Sistem ini
memang bukanlah sebuah hal yang sempurna. Karena asuransi pengangguran
dianggap akan menurunkan minat pekerja untuk melakukan revolusi dan membuat
pekerja malas mencari pekerjaan lain, menurut faham komunis. Namun, tentu
hal ini akan baik untuk jaminan ketenagakerjaan kita. Meskipun banyak
infrastruktur yang harus disiapkan bersamaan dengan produk asuransi khusus
pengangguran tersebut, bukan tidak mungkin kita bisa membuat masyarakat kita
lebih terjamin ketika bekerja. Yang dibutuhkan pemerintah adalah
keinginan kuat terhadap rencana ini, bukan sekedar janji kampanye.
Karena fasilitas dan mekanisme penerapan yang membutuhkan proses administrasi
yang tidak sederhana, demi kesejahteraan pekerja dan kesinambungan ekonomi
Indonesia.
Namun
tantangannya justru ada pada korporasi yang harus merogoh costnya lebih dalam.
Dilain pihak mampukah BPJS mengelola dana ini dengan tidak rugi. Selain itu
kosenp pra kerja kurang pas, karena kalau pakai kata pra kerja, semua
pengangguran harus digaji tanpa syarat. Mampukah anggaran mengcover hal ini ?
Penulis adalah
Mantan Ketua Senat IKIP Jakarta dan Ketua Senat Universitas Ibnu Chaldun Jakarta