Dilematis Cukai Rokok Naik, Kopi shop berkurang...





Rencana pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sangat dilematis. Di satu sisi rokok adalah penyebab penyakit degeneratif, namun di lain Pihak rokok adalah salah satu sumber pendapatan negara terbesar.

Pemerintah akan menaikkan tarif cukai rokok 23 % pada tahun 2020 mendatang. Hal ini sebagai respon pemerintah atas hasil Rapat Panja DPR RI dengan Pemerintah terkait Asumsi Dasar dan Pendapatan dalam RUU APBN Tahun 2020.

Dalam rapat tersebut disepakati target penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) di tahun 2020, adalah sebesar 9%, Padahal yang dicanangkan pemerintah sebelumnya adalah 8,2%.

Pemerintah menaikkan tarif cukai rokok  pada tahun 2017 sebesar 10,04%, lebih kecil dibandingkan kenaikan tahun sebelumnya, yakni 11,19%. Di tahun 2018, pemerintah tidak menaikkan tarif cukai rokok. Tarif itu nanti akan berkontribusi ke penerimaan karena penerimaan itu sebagai hasil dari persentase tarif cukai jika dikalikan dengan volume produksi karena sifatnya  spesifik. Dampaknya  akan terjadi kenaikan (penerimaan) 



Saat ini diketahui terdapat sepuluh golongan tarif cukai rokok yang terbagi berdasarkan proses produksinya serta jenis rokok yang diproduksi itu sendiri. Agus berpendapat agar dilakukan penyederhanaan terhadap penggolongan tarif cukai rokok tersebut. 
Di samping itu ia juga mengimbau pemerintah untuk menaikkan tarif cukai rokok ke angka yang lebih tinggi. Lebih lanjut Agus meyakini setiap tahunnya negara berpotensi kehilangan Rp 7 triliun rupiah dari kenaikan tarif yang tidak tepat sasaran.
Kenaikan cukai yang ideal saat ini yaitu inflasi 3,13% ditambah angka pertumbuhan ekonomi 5,2% kemudian dikali dua karena tahun kemarin tidak naik. Ditambah 10% lagi karena rokok bukan produk biasa, angka realnya 26,5% minimal untuk tiap-tiap jenis rokok.
 Pemerintah terlalu fokus terhadap penerimaan CHT yang besarnya tidak sebanding dengan pengeluaran yang ditanggung pemerintah. Padahal Kalau tidak dikendalikan, cuma untuk pemasukan saja, maka akibatnya pemasukan itu tidak akan balance dengan biaya yang ditanggung pemerintah untuk merehabilitasi atau mengobati melalui BPJS. 
Kelompok masyarakat kelas meneggah bawah  memiliki posisi  terbesar, harusnya dimanfaatkan untuk cukai itu bisa diberikan tapi ada insentif. karena jika  dibebankan cukai progresif 57%, maka akan tambah berat, dan bisa memberikan dampak pada sektor lain nya. Seperti coffe coffe. Oleh karena itu   harusnya harusnya hanya  20% sesuai dengan ke mampuan nya.
Hingga Agustus 2019, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan negara atas Cukai Hasil Tembakau sudah mencapai angka 48,9% atau sekitar Rp 77,7 trilun dari target Rp 158,9 triliun. DJBC pun optimis target tersebut dapat terpenuhi

0/Post a Comment/Comments

Terima Kasih

Lebih baru Lebih lama