Kirsch TVRI 3 : DIREKSI Melakukan Mal Administration ?
INI DIA “DOSA-DOSA” HELMY YAHYA – Jilid 3
Dalam taktik dan strategi sepak bola moderen, ada yang namanya “counter attack”. Mungkin, pernah dipraktikan di tim PSIS Semarang 1987, dengan nama “Coming from behind”. Dari artikel ini, mBah Coco mencoba melakukan serangan balik ke Helmy Yahya, yang merasa sebagai public figure. Seolah-olah, kalau sudah terkenal, tidak boleh diberhentikan atau dipecat.
Ada point 4, 5 dan 6 dari Surat Pernyataan, tertanggal 27 November 2019, sebelum dilantik sebagai Direktur Utama LPP TVRI. Dan benar-benar dari kasat mata, Helmy Yahya telah melakukan pelanggaran dari point-point tersebut di atas. Coba kita baca sama-sama isinya, dari judul “Dosa-dosa” Helmy Yahya - Jilid 1, tertanggal 2 Maret 2020 yang ditulis mBah Coco.
4.Secara konsisten menerapkan dan melaksanakan prinsip-prinsip tata kelola lembaga yang baik (good corparate govermance. 5.Tidak melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. 6.Tidak memanfaatkan LPP TVRI, baik secara langsung mau pun tidak langsung untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongan tertentu.
Dari laporan Surat Keberatan Karyawan, kepada Dewas, Direksi TVRI. Cc Ombudsman, DPR RI Komisi 1, Sekneg, dan Kominfo, 20 Mei 2019, yang isinya, adalah bahwa :
Kami berupaya memperjuangkan kebenaran keadilan dan supaya orang kecil tidak dizholimi untuk menegakan “good governance” yang baik di TVRI.
Kami sudah melakukan beberapa upaya sebelumnya sbb : Yaitu, Forum Dialog dengan Dewas dan Direksi tentang komplein Karyawan ke direksi, terkait terlambat SKK di bulan Mei 2018, September 2018. Yaitu, A. Surat Somasi Karyawan. B. Surat terbuka Karyawan ke Komisi 1 DPR RI, tanggal 20 Mei 2019, dan C. Surat Karyawan Ke Ombudsman
Substansi dan intisari dari Surat Keberatan kami terhadap Dirut TVRI dan jajaran direksi TVRI adalah sbb :
1. Adanya fakta temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berupa pelanggaran dan Tuntutan Ganti Rugi (TGR) dalam program TVRI antara lain : A. Program Jelajah Kopi. B. Program dari Kementrian PDT Desa Tertinggal. C. Penyewaan Aset TVRI Resto Paparon Cafe
2. Adanya mal-administrasi yang merugikan dan sudah kategori mendzholimi karyawan dalam hal keterlambatan pembayaran Satuan Kerabat Kerja (SKK), yang merupakan honor karyawan TVRI, sehingga mengganggu Kesejahteraan Karyawan. Keterlambatan SKK ini sudah berlangsung 4-5 kali dengan data sbb : A. Mei 2018. B. November 2018. C. Gagal Bayar 2018 SKK senilai Rp 7,6 Milyar dan telat bayar baru di Maret 2019. D. Mei 2019, Oktober dan November 2019.
3. Terjadinya Pelanggaran aturan dan in-efisiensi dalam beberapa kegiatan antara lain : A. - HUT TVRI, 24 Agustus 2018 di Balai Sarbini, Jakarta yang menggunakan kru dan alat dari luar TVRI. B. Pelanggaran aturan dan in-efisiensi Mutasi dan Promosi Pejabat di lingkungan TVRI. C. Mutasi dan pemutusan kontrak karyawan yang melakukan protes ke direksi.
4. Pelanggaran Etika dan pakta Integritas direksi: A. Peminjaman uang di Koperasi TVRI oleh oknum Direksi untuk keperluan kantor. B. Pemakaian dua (2) mobil dinas milik TVRI oleh direktur umum, dimana satu (1) unit mobil ditempatkan di rumah pribadi dengan biaya BBM dari TVRI dan satu (1) unit mobil untuk operasional kantor.
5. Penyampaian berita ke karyawan TVRI, bahwa Tunjangan Kinerja sudah ditandatangani Presiden, ternyata belum pernah disampaikan informasinya. Sehingga, menimbulkan persepsi bahwa surat Tunjangan Kinerja TVRI tertunda, karena sedang diproses di lembaga Presiden.
Dari sini, terkesan oleh semua karyawan, bahwa TVRI sekarang sudah mulai menyimpang dari Tupoksi utama. Bahwa, tugas utama TVRI, menjadi saluran pemersatu bangsa, misi hiburan dan edukasi yang membawa budaya serta jadi diri bangsa sudah melenceng jauh.
Sekarang ini, baberapa program TVRI berasal dari luar negeri, olah raga dan kerjasama dengan pihak eksternal lebih dominan, sehingga kami tidak memiliki pekerjaan “day to day”, sebagai in-house..Otomatis, SDM berkurang honor SKK, serta kesejahteraannya dan alat serta studio tivi, tak lagi bisa kurang dimanfaatkan secara optimal.
Selain itu, jadwal acara belum ada perencanaan yang terpola dengan matang dan sering berubah-ubah. Juga anggaran orogram dan berita di TVRI sudah habis, sebelum akhir tahun.
Sehingga semester dua (2), tahun 2019, mulai banyak siaran ulang ditayangkan dan program dari internal TVRI jumlahnya sangat sedikit.
Direksi TVRI sepertinya lebih mementingkan “Kuis Siapa Berani” yang punya indikasi kroni nepotisme dari rekanan Helmy Yahya. “Kuis Siapa Berani”, menurut versi para karyawan TVRI, sangat terindikasi sebagai pelanggaran, tidak “good governance” dan in-efisiensi, dalam penunjukan production-house dan anggarannnya.
Versi mBah Coco, terkesan ada fakta, bahwa ada indikasi mal-administrasi. Khusunya, Dari Helmy Yahya, dan, Direktur Program dan Berita TVRI, Apni Jaya Putra. Lihat saja, ketika sejak awal 2020, hingga 24 Februari 2020. Di saat semua televisi swasta, siaran langsung setiap jam, tentang banjir ibukota. Justru, TVRI tayangkan program Discovery Channel, tentang pencairan kepiting di laut.
Bijimane, tanggungjawab TVRI? Sebagai TV Publik tidak mampu dijalankan. Bencana banjir
Jabodetabek hampir semua tivi siarkan “Breaking News”, tapi tivi Publik milik Negara, malah tidak terlihat. Justru disaat-saat seperti ini, masyarakat dari Sabang sampai Merauke butuh media publik untuk menyampaikan aspirasi dan kebutuhan mereka, kepada pengambil kebijakan. Tapi, karyawannya malah leyeh-leyeh tak bekerja, akibat tidak dapat instruksi dari Direktut Program dan Berita TVRI.
Bagi mBah Coco, TVRI terkesan tidak memiliki empati dan kepedulian kepada ribuan warga yang mengungsi, anak-anak yang kedinginan dan kelaparan, proses evakuasi yangg tidak berjalan mulus. Namun, tidak ada berita bersambung jam per jam dari TVRI. Sungguh memalukan. Seharusnya, TVRI kembalilah kepada khitah, sebagai TV Publik, bukan tivi polesan, mengejar profit. Seharusnya, sejak awal, TVRI tak lagi cari iklan, tapi wajib dibiayai pemerintah dan negara.
Makanya, mBah Coco mengejar “Dosa-Dosa” Helmy Yahya, hingga akhirnya memang patut dipecat. Salah satu yang dinilai oleh Dewas, bahwa dirut LPP TVRI, Helmy Yahya, sesuai dengan Surat Pernyataan, A. Patuh pada peraturan. B. Patuh pada Dewas. C. Tidak melakukan KKN. D. Tidak memanfaatkan untuk kepentingan pribadi.
Hasilnya, ketika “Kuis Siapa Berani” saat ditesururi mBah Coco, terkesan Helmy Yahya memang sangat terindikasi dengan KKN di atas. Data yang tersedia, tahun 2018 ada 100 eipsode. Tahun 2019 ada 50 episode, total 150 episode.
Data biaya yang didapat mBah Coco, rinciannya a. Biaya produksi setiap dua (2) episode Rp 146.533.00. B. Honor karyawan TVRI, Rp 10.655.00 (dibagi 84 kru TVRI). C. Jasa profesi Krakatoa (perusahaan teralifiasi dengan perusahaan Helmy Yahya), Rp 76.780.000. D. Konsumsi dan property, Rp 14.748.000. E. Belanja sewa alat, Rp 44.350.000.
Dari hasil penelusuran mBah Coco, Krakatoa itu, awalnya milik bertiga, yaitu Liem Siauw Bok (mantan atlet bola voli nasional), dan Reinhart R Tawas rekan bisnis Helmy sejak dulu saat sama-sama di PH Tri Warsana. Kata Helmy Yahya di konpres, bahwa dulu dirinya adalah komisaris Krakatoa. Namun, sejak jadi Dirut TVRI, Helmy mengundurkan diri. Namun, dari etika – Helmy sejatinya sudah melanggar moral hazard, conflic on interest dan melanggar pakta integritas, saat membuat Surat Penyataan.
Jadi, kalau akhirnya Dewan Pengawas LPP TVRI memecat Helmy Yahya, nggak usah nantang-nantang mau dibawa ke pengadilan. Dan, kalau memang Helmy Yahya bernyali, silahkan ke pengadilan. Nggak usah teriak-teriak, dan nggak usah cari teman di BPK, seperti Achsanul Qosasi, dan juga jangan cari pembela dari berbagai partai-partai di DPR RI, Komisi 1.
Ingat, pakai cara apa pun, keputusan Dewas TVRI memecat Dirut LPP TVRI Helmy Yahya itu sah, dan sulit dicari celahnya, kecuali di Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN). Beranikah, atau justru semakin dipermalukan? (bersambung)
Sumber FB Cocomeo
