Kisruh TVRI 4: Uang Honorr Karyawan Dibayarkan Telat, Sampai 6 bulan Oleh Helmy Yahya ?




DIA “DOSA-DOSA” HELMY YAHYA – Jilid 4

Bagi karyawan televisi di mana pun juga di republik ‘mBelgedes” ini, harapan semua karyawan produksi televisi itu, adalah honor produksi. Bukan gajian. Mengapa? Karena kalau uang gajih bulanan sudah terkirim ke rumah masing-masing, untuk kebutuhan bulanan keluarga karyawan produksi televisi. Namun, uang produksi setiap televisi memproduksi, adalah impian tiap harinya.
mBah Coco, saat sebagai pencipta sekaligus produser program sports di RCTI, yaitu “Planet Football”, pernah merasakan para karyawan produksi sports di RCTI tahun 1994-1995. Mereka, sering datang ke mBah Coco, hanya ingin seolah-olah akrab, dan juga berpesan jika ada produksi ‘Planet Football”, di luar kota atau di luar studio, mohon bisa diajak ikutan shooting. Harapannya hanya satu, karyawan produksi itu, bisa dapat uang kerja produksi harian, uang saku, uang makan dan uang transport lokal.

mBah Coco berpikir, apakah Helmy Yahya dan kawan-kawan selama menjadi direksi TVRI, memikirkan hal-hal tersebut? Apakah Helmy Yahya dan kawan-kawan bisa memanjakan para karyawan TVRI dengan memproduksi in-house sebanyak mungkin?

Jadi, pantas kalau karyawan TVRI ngamuk, murka dan protes. Karena, adanya mal-administrasi yang merugikan dan sudah kategori mendzholimi karyawan dalam hal keterlambatan pembayaran Satuan Kerabat Kerja (SKK), yang merupakan honor karyawan TVRI, sehingga mengganggu Kesejahteraan Karyawan. Keterlambatan SKK ini sudah berlangsung 4-5 kali dengan data sbb : A. Mei 2018. B. November 2018. C. Gagal Bayar 2018 SKK senilai Rp 7,6 milyar dan telat bayar baru di Maret 2019. D. Mei 2019, Oktober dan November 2019, sebesar Rp 7,6.

Versi mBah Coco, dana Rp 7,6 M itu, adalah SKK Honor Kayawan yang terhutang dari anggaran tahun 2018, yang baru dibayarkan di anggaran tahun 2019. Oleh sebab itu, proses WDP dan WTP di era Helmy Yahya, sebenarnya hasil dari direksi periode sebelum Helmy Yahya. Dan, diproses PP PNBP (penerimaan negara bukan pajak), yang merupakan salah satu pra syarat utama untuk mendapat WDP dan WTP. Jadi bukan karena prestasi Helmy Yahya, bro !

Jangan-jangan urusan disclaimer (penolakan), Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atau Wajar Tanpa pengecualian (WTP) itu hanya ukuran BPK. Namun, tidak ada urusan dengan korupsi. Apa benar BPK membuat aturan dan penilaian disclaimer, WDP dan WTP itu murni jujur dan tidak akal-akalan?
mBah Coco coba membedah anggaran LPP TVRI setiap tahunnya. Di media-media, sudah tertulis anggaran tahunan 2020 yang diberikan pemerintah lewat APBN kepada TVRI mencapai Rp1,1 triliun. Jumlah tersebut, kata Helmy Yahya, akan ditambah lagi sebesar Rp 224 miliar pada 2020, sehingga totalnya mencapai sekitar Rp1,3 triliun. Sedangkan, tahun 2019, anggaran TVRI, hanya sebesar Rp 950 miliar.

Yang digunakan untuk membayar karyawan dan operasional TVRI dengan jumlah karyawan
TVRI ada 4.300 orang, dan sekitar 1.800 pegawainya bekerja di Jakarta, sekitar 80% dari anggaran TVRI per tahun. Total, sekitar 2.500 karyawan TVRI berada di daerah, dan mereka hanya menggarap 20 persen tayangan dalam 22 jam. Di setiap daerah, jumlah karyawan antara 150 hingga 200 orang.
Kata Direktur Program dan Berita, Apni Jaya Putra, pemerintah harusnya, sudah memberi aba-aba bahwa jumlah pegawai sebesar itu, sudah tidak produktif lagi dan layak dirumahkan atau pensiun dini. Dan, ini sebuah pemborosan yang selalu berulang-ulang. Bagi mBah Coco, ini tuduhan yang sangat menjijikan.

Karena, menurut mBah Coco, mereka bukan tidak produktif. Melainkan mereka memang sudah dipasung oleh manajemen pusat. Direksi pusat tidak paham, tentang metode program, yang saling mengisi, antara pusat dan daerah. Padahal, jika diberi porsi, diberi program yang asyik-asyik, maka karyawan daerah pasti akan mengerjakan secara kreatif.

Jika dikaji soal anggaran 2019. Jika untuk anggaran gaji karyawan dan operasional secara teknis. Maka, sisa anggaran untuk berita dan membuat program, hanya sebesar Rp 120 miliar. Sedangkan, dari Rp 120 miliar ini, Helmy Yahya dan Apni Putra Jaya, mengambil 50%-nya. Mana cukup membuat program setahun, hanya dengan anggaran Rp 60 miliar, untuk mengisi acara TVRI dalam 365 hari, yang berdurasi 20 jam?

Pantas, kalau di semester dua musim 2019, karena anggaran Rp 120 miliar sudah habis. Maka, nyaris 60% program TVRI, isinya pengulangan dari program-program yang sudah ada. Sungguh memalukan, bukan?

Jika, anggaran Rp 120 miliar setiap tahun dibagi 27 Stadiun TVRI daerah, dan mereka diberi porsi pekerjaan mendokumentasi setiap daerahnya, dari semua produk politik, ekonomi, sosial, seni budaya dan olahraga, dengan porsi dan item-item dokumentasi. Membuat berita dan “Breaking News” tiap hari Maka, menurut mBah Coco, mereka pasti akan mengerjakannya. Karena, mereka sudah merasa terjamin hasil karya produksinya, dimuat per bulan atau per minggu.

Coba dilihat dari belanja program TVRI 2019, membeli hak siar Liga Inggris Rp 54 miliar setiap musim (brlangsung multiyears, 3 tahun). Beli hak siar Liga Italia Rp 2 miliar. Beli hak siar Oshin Rp 850 juta. Beli program Discovery Channel Rp 6.5 miliar. Beli hak siar BWF Bulutangkis Rp 8.4 miliar. Live in Mosque Rp 420 juta. Dan, masih banyak program dari PH luar.

Total anggaran membeli program dari luar, Rp 45.380.435.000. Tapi, total hutang anggaran 2019 sebesar Rp 81 miliar. Estimasi total anggaran membeli program dari luar tahun 2020, sebesar Rp72.380.435.000. Lha, kira-kira numpuk hutangnya bertambah berapa? Karena, menurut Helmy Yahya yang dikorscek ke Dewas, semua hutangnya dibebankan ke anggaran tahun berikutnya. Lha, kapan untungnya?

Contohnya, jadwal 13 – 19 Januari 2020 yang didapat mBah Coco, nyaris semua program TVRI tak ada satu pun program in-house. Bagaimana mereka bisa dapat uang saku harian pada bulan Januari 2020 lalu? Nyatanya, setiap bulan, semua program TVRI justru dibuat di luar TVRI. Dan, ini dilakukan Direktur Program dan Berita TVRI, Apni Jaya Putra, yang masih melakukan kordinasi dengan Helmy Yahya, yang sudah dipecat.

Apakah itu, bukan ‘Dosa-Dosa” Helmy Yahya?

Padahal, jika anggaran sebesar itu, bisa dimaksimalkan oleh Helmy Yahya, untuk memproduksi program nasional, atau memberdayakan TVRI Daerah yang bermanfaat untuk khalayak informasi ke pelosok Tanah Air, maka misi dan visi LPP TVRI yang sebenarnya, justru tercipta secara kreatif terus menerus.

Mengapa karyawan TVRI Daerah harus “dibunuh”? Jawabnya, karena Direktur Utama LPP TVRI dan jajaran direksi lainnya, rakus-rakus dan keblinger. Uang negara habisin saja, toh tahun depan ada lagi. Demikian otak para direksi LPP TVRI 2017 – 2022. (bersambung)

Sumber cocomeo

0/Post a Comment/Comments

Terima Kasih

Lebih baru Lebih lama