Kisruh TVRI 2 : Kata Helmy Yahya Liga Inggris Gratis, Kok Jadi Harus Bayar ?



INI DIA “DOSA-DOSA” HELMY YAHYA – Jilid 2

Premier League itu, program emas di semua televisi di manca negara. Bahkan, saat ini, tidak ada satu pun televisi negara di muka bumi ini, bisa bebas di udara secara teristerial. Makanya, hanya tivi-kabel yang mampu membelinya. Anehnya, di Indonesia justru TVRI merasa bisa siarkan Liga Inggris, yang kata Helmy Yahya, mendapat hibah alias gratis. Bahkan, saat Konperesni Pers 20 Januari 2020, diibaratkan sebagai hadiah anak soleh.

Ada apa dengan Liga Inggris?

mBah Coco menelusuri jejak-jejak yang sudah keluar di medsos, sejak 2019 lalu. Saat, Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI, Selasa 21 Januari 2020, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari, menegaskan bahwa yang disampaikan ke Komisi I oleh Helmy Yahya sebelumnya, adalah hak siar Liga Inggris gratis. "Liga Inggris katanya tidak bayar saat disampaikan kepada kami," cetusnya.

Anggota Dewas LPP TVRI, Pamungkas Trishadiatmoko, menjelaskan pembelian hak siar Liga Inggris sebesar US$ 9 juta atau Rp 126 miliar di luar pajak dan biaya lainnya untuk kontrak tiga sesi sepanjang 2019-2022. "Ini multiyears dan tidak ada permintaan tertulis kepada Dewas untuk membelanjakan program multiyears seperti ini," kata Pamungkas dalam rapat bersama Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen.

Untuk setiap sesi, biaya yang dihabiskan US$ 3 juta dengan kontrak 76 pertandingan. TVRI hanya menayangkan dua pertandingan per minggu (di luar highlights), dari sepuluh pertandingan per minggu. Sementara, delapan pertandingan lainnya berlangganan ke MolaTV. Lebih lanjut, dia menyampaikan tagihan invoice dari GMV Global Media Visual, atas nama Robert W. Suwanto, bermetarai Rp 6.000,- untuk Liga Inggris, sebesar Rp 27.261.882.353.00, per 31 Oktober 2019, yang jatuh tempo pada 15 November 2019. Sehingga, versi mBah Coco, TVRI gagal bayar per 31 Desember 2019. Dan, otomatis dihitung terhutang untuk dianggarkan periode berikutnya, tahun 2020. Ini jelas-jelas melanggar Pasal 24 Ayat 4 (1).

Padahal, data yang didapat mBah Coco, ternyata juga tidak ada mata anggaran pembayaran Liga Inggris 2019-20, dalam Rencana Kegiatan dan Anggaran Tahunan (RKAT) 2019 yang telah disahkan. Itu kemudian menjadi utang pada 2020. Namun, dalam RKAT 2020 pun tidak terdapat anggaran pembayaran tersebut. Nah...lho....piye jal?

Dari pencarian data-data tentang Premier League, mBah Coco memberi gambaran sebagai berikut. 1. Ada statment Dirut LPP TVRI, Helmy Yahya, Mei 2019, bahwa Liga Inggris di TVRI dengan mekanisme hibah alias gratis, tidak ada biaya. 2. Perjanjian standstill antara PT Global Media Visual bersama LPP TVRI, Direksi TVRI sudah ditandatangani kontraknya, 19 Juni 2019. Hanya saja, Dewan Pengawas tidak diberitahu.

3.Surat Dewas ke Direksi, tentang permintaan penjelasan penayangan Liga Inggris, terjadi 9 Juli 2019. 4. Rapat Dewas dan Direksi tentang Liga Inggris, 17 Juli 2019. Di situ akhirnya ada surat dari Dewas, 18 Juli 2019, soal tindak lanjut hasil rapat Liga Inggris 2019-20. A. Dewas meminta Direksi melaksanakan tertib administrasi pola acara dan anggaran TVRI sehubungan dengan penayangan Liga Inggris. B. Dirut TVRI tidak menunjukan surat persetujuan tertulis le Dewas dan tidak ada TOR kajian serta tidak ada rancangan anggaran.

5. Surat Direksi ke Dewas tentang rencana penayangan Liga Inggris, 19 Juli 2019, sbb: A.Harga hak siar USD 3 juta per musim. B. Sumber anggaran dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) TVRI. C. MolaTV akan memberikan iklan senilai Rp 11.7 miliar kepada TVRI.

6.Penayangan Premier League perdana, 10 Agustus 2019. 7.Surat Dewas ke Dirut, 12 November 2019, isinya permintaan dokumen kontrak Liga Inggris 2019-20. 8.Dewas menerima kontra standstill Liga Inggris dari Direksi, 5 Desember 2019.

9.Tagihan invoice Liga Inggris, Rp 27.261.882.353.00, tertanggal 31 Oktober 2019. Batas waktu bayar, 15 November 2019, dan gagal bayar 31 Desember 2019. Nyatanya, menjadi terhutang tahun anggaran 2020.

Dari data yang didapat mBah Coco, ada kejanggalan dalam patokan kurs dolar, jika terkait penjanjian antara PT Global Media Visual dengan TVRI, dengan nomor 002/GMV/LG/VI/2019 dan No 07/SPA/01/TVRI/2019, salah satu point-nya bahwa kurs 1 USD = Rp 16.552. Padahal, kurs USD ke rupiah, 28 oktober 2019, kurs jual (Mandiri) Rp 14.050, dan kurs beli (Mandiri) Rp 14.005, dan kurs TT counter (Mandiri) Rp 13.875. Di mana nilai biaya right hak siar dalam USD sebesar 1.500.000.
Disini, versi mBah Coco terhitung ada selisih kurs invoice No : GMVINV19100004, tertanggal 31 Oktober 2019, adalah Rp 16.522 – Rp 14.005 = Rp 2.517,-. Jika dikalikan Rp 1.500.000 USD = Rp 3.775.500.000. Pertanyaannya, kemana uang selisih nilai dolar, sebesar Rp 3.7 milaran ini?

mBah Coco, jadi teringat tentang kontrak MolaTV dengan MNC Group musim sebelumnya (2018), di mana nilainya 10 juta dolar. Saat itu, MNC Grup mendapatkan 10 pertandingan per minggu siaran langsungnya. Sedangkan, musim 2019 ditawarkan ke TVRI sebesar 3 juta dolar, per musim. Tapi, TVRI hanya dapat dua (2) pertandingan siaran langsung. Di situ, MolaTV sudah menaikan harga 1 juta dolar, dari tahun 2018 ke 2019. Apa benar 3 juta dolar?

Yang mBah Coco sedang investigasi dari “Dosa-Dosa” Helmy Yahya, berapa sih harga wajarnya? Bagaimana proses sejak awal negosiasinya? Bagaimana TOR dan pengadaaannya? Bagaimana mekanisme hak iklan TVRI dari MolaTV? Bagaimana mekanisme pemasangan iklan di TVRI? Apa logo MolaTV di TVRI sesuai dengan aturan mainnya? (bersambung 3)

Sumber FB Cocomeo

0/Post a Comment/Comments

Terima Kasih

Lebih baru Lebih lama