Social Unrest Menghasilkan Chaos Politik Indonesia?

 

By Muhammad Rajesh Adam S.Sos.

Bagai petir di siang bolong, Dana Moneter Internasional (IMF) mengumumkan  resesi yang lebih dalam akan terjadi kawasan asia, dan memperingatkan akan terjadinya  kerusuhan sosial ketika ketidakadilan,  dan kemiskinan semakin dalam terjadi.

"Tingkat ketidakpastian yang luar biasa tinggi mengenai panjang pandemi dan dampaknya pada penutupan perusahaan, risiko penurunan yang dihasilkan (termasuk kerusuhan sosial dan ketidakstabilan politik), dan potensi volatilitas baru di pasar minyak global mendominasi prospek," kata IMF dalam laman terbarunya.

IMF mengatakan pendapatan minyak 2020 untuk kawasan itu akan menjadi $ 270 miliar kurang dari tahun lalu. Ekonomi  yang sangat bergantung pada ekspor energi telah terpukul oleh ajloknya harga minyak tahun ini, karena coronavirus, dan  perang harga minyak yang dimulai oleh Arab Saudi pada bulan Maret lalu.

Pusat Penelitian Globalisasi Queen Mary (CGR), melakukan penelitian di 24 negara, hasilnya menunjukkan bahwa kemungkinan kerusuhan, kekerasan terhadap warga sipil, konflik terkait makanan, dan penjarahan makanan akan meningkat .

Analisis ini mengamabil data georeferensi di  24 negara Afrika dengan data konflik  yang dilaporkan dalam Konflik Bersenjata dari Proyek Data Acara (ACLED) pada  Januari 2015 hingga awal Mei 2020.

Menurut penelitian, meskipun melakukan lockdown dan social distancing sudah diterapkan untuk menghambat penyebaran virus corona, tetapi akibatnya pengangguran bertambah yang  berpotensi adanya kerusuhan sosial karena hilangnya pekerjaan dan mata pencaharian secara tiba-tiba.

Penerapan protokol kesehatan yang lebih ketat, justru meningkatkan kemungkinan kerusuhan. Lalu bagaimanakah dengan di Indonesia ?

Saat ini kondisi  di Indonsia  yaitu ;

1.Naiknya angka kemiskinan , meningkatnya pengangguran (BPS 2020)

2. Proyek pembangunan yang mengakibatkan kesenjangan sosial  Seperti jalan Tol (Taher, 2017)

3. Terbelahnya rakyat  terkait dengan kebhinnekaan dan keagamaan (Saputri, 2017 )

4. Menggilanya  angka korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan (Hariyanto, 2017),

Menurut Pappas & O‟Malley (2004) 4 hal diatas  adalah beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya sebuah keresahan sosial di masyarakat.

Stevens & Tellings (2010) mendefinisikan keresahan dalam Bahasa Inggris dengan kata restlessness, upset, unrest, dan frustration. Unrest dalam konteks sosial, telah banyak ditemukan dalam berbagai penelitian dalam term social unrest.

Social unrest menjadi objek kajian sosioantropologi yang menitik beratkan pada fenomena protes yang dilakukan oleh warga negara kepada pemerintah yang berkuasa karena adanya ketidakpuasan terkait  hal tertentu (Archer, 2000).

Sedangkan  dalam kamus Oxford (2011) istilah unrest diartikan sebagai “political situation ini which people are angry and likely to fight or protest”.

Definisi di atas juga sesuai dengan Weinberg & Bakker (2015) yang mengatakan bahwa sosial unrest berkaitan dengan protes, kerusuhan, dan pemogokan pekerja yang disebabkan oleh berbagai hal seperti penghasilan rendah, kelangkaan sumber daya dan pemerintahan yang represif.

Social unrest tersebut,  memiliki potensi yang lebih untuk dapat melahirkan sebuah konflik dalam konteks sosial. Fenomena social unrest seperti yang dikatakan oleh Weinberg & Bakker (2015) menjadi sangat jelas jika melihat alasan berbagai aksi protes, kerusuhan dan demonstrasi yang dilakukan oleh para aktivis dari berbagai kalangan yang akhir-akhir ini terjadi, seperti demonstrasi menuntut  pemabtaaln RUU HIP, aksi menuntut penangkapan Harun Masiku , aksi solidaritas untuk konflik politik dan agama di Rohingnya, Uighur Dan Palestina.

Pada level psikologis, keresahan sosial tersebut dapat di lihat dalam konteks individual  Abraham Maslow  yang mewakili aliran humanistik menyatakan bahwa sumber kekuatan dari perilaku manusia adalah “needs”. “Needs” tersebut memiliki tingkatan-tingkatan yang membentuk sebuah hierarki berjenjang, yang pemenuhannya terjadi secara bertahap.

Maslow (2015) berargumentasi bahwa manusia tidak pernah berhenti dari membutuhkan sesuatu. Seseorang tidak akan pernah puas dalam arti sempurna, kecuali hanya dalam waktu yang singkat. Setelah itu manusia akan membutuhkan sesuatu yang lain yang lebih tinggi nilainya.

Dari teori Maslow bisa kaiat simpulkan bahwa manusia tidak akan pernah puas. Apalagi jika urusan perutnya tidak terpenuhi. Oleh karena pentingnya pemerintah melakukan cooling down, dari isue isue yang memecah belah umat, karena akan kontraproduktif dangan keadaan ekonomi saat ini yang berat.

Kondisi ekonomi yang sulit ditambah dengan  isue mayoritas yang di tekan akan memberikan efek seperti Api Disiram Bensin. Pada kondisi ekonomi rakyat yang smakin terpuruk,Ketiadakadilan dipertontonkan dengan nyata, RUU HIP dan lain nya, menyebabkan  Indonsia seperti api dalam sekam.....ngeri kaleeee.\

Penulis adalah mantan aktivis BEM Unviersitas Brawijaya Malang dan alumni antropologi Universitas Brawijaya


0/Post a Comment/Comments

Terima Kasih

Lebih baru Lebih lama